Summary
In English
In Balinese
Kakul
Di
He buron
Yadiastun
I
Ningeh
Grimutan
Suud
Nepukin
I
Ningehang
I
Sing
Kacritayang jani
Ningeh
Mara
Kulawarga
Jani
Ritatkala gonge macegur, I
Caaang Kidang
I
In Indonesian
Di hutan Kopipahit, hidup beraneka jenis hewan. Katak, capung, burung semuanya riang bernyanyi. Namun, kedamaian Alas Kopipahit mendadak buyar akibat perilaku buruk Kijang. Dia mengaku-ngaku sebagai Raja Agung Sejagat. Hewan yang kalah lomba lari dengannya kini jadi rakyat. Semenjak punya rakyat, Kijang selalu memuji tanduknya yang runcing dan badannya yang gemulai. Larinya cepat laksana amunisi, mampu melompat sangat jauh. Merasa diri hebat dan lari cepat, Kijang semakin angkuh. Mengaku sebagai raja hutan.
Suatu hari, Kijang turun gunung. Setiba di persawahan, dia melihat sapi sedang makan rumput. Kijang pun menantang sapi untuk diajak adu cepat berlari. Namun Sapi acuhkan tantangan itu.
“He, kau binatang tinggi besar, tandukmu tajam dan panjang, tapi tak ada gunanya. Belum terbukti kau lebih hebat dariku. Jika kau benar kuat dan teguh, ayo kita adu cepat berlari ke puncak gunung. Agar kau tahu, aku adalah Kijang, raja hutan Kopipahit. Aku dinobatkan jadi raja karena aku yang terhebat dan tercepat berlari di Alas Kopipahit.”
Meski emosi mendengar perkataan Kijang, namun Sapi tak mengabulkan ajakan si Kijang. “Aku sedang lapar, jangan ganggu aku makan rumput!” jawab si Sapi. Sejurus kemudian si Sampi pergi untuk merumput ke tempat lain. “Kau binatang kecil, sekali tendang pastilah kau terjatuh ke jurang. Janganlah sombong!” gumam si Sapi . Si Kijang yang kecewa tak dapat lawan kemudian melanjutkan perjalanannya. Sepanjang perjalanan dia merasa bangga karena Sapi binatang tinggi besar tak berani padanya. “Sapi sudah kalah, walaupun binatang besar namun tak berani menandingiku. Apalagi binatang kecil, pastilah lari terbirit-birit. Pastilah aku akan banyak punya rakyat. Akulah Raja Sejagat. Hahahaha!”
Dikisahkan, perjalanan si Kijang sampai di hutan belantara. Di tengah hutan dia bertemu seekor ular. “He…. Binatang apa kau ini? Tubuhmu panjang dan silinder. Jika kau hebat, ayo ada kekuatan denganku,” kata si Kijang. Namun si Ular tidak menghiraukan ajakan itu, dia fokus mengincar mangsa di depannya. Melihat musuhnya acuh, si Kijang semakin emosi.
“He…. binatang bernyali kecil, ayo lawan aku. Aku menantangmu adu cepat berlari sampai di puncak gunung. Agar kau tahu siapa aku, akulah Kijang, raja hutan. Belum ada yang mampu mengalahkanku berlari. Ayo kita berlomba, jika aku kalah, aku akan menghamba padamu. Tetapi jika kau yang kalah, kau adalah hambaku!”
Mendengar perkataan si Kijang yang pedas, si Ular menjawab sambil melihat ke tempat binatang bertanduk itu berdiri. “Aku tak ingin jadi raja. Justru aku takut jika mengaku raja akan ditangkap polisi. Lebih baik jadi binatang biasa saja.”
Emosi si Kijang memuncak mendengar jawaban si Ular seperti itu. “Kurang ajar perkataanmu itu. Agar kau ketahui, si Sapi sudah menyerah kalah. Dia sudah menghamba padaku. Lancang sekali kau dengan Raja Agung Sejagat. Tunjukkan kesaktianmu, lawanlah aku si Kijang yang tangguh!” sahut si Kijang dengan ketus.
“Sudahlah, aku tak ada waktu meladeni tangtanganmu. Walaupun kau raja, mampu mengalahkan sapi, aku tak perduli. Mohon jangan ganggu aku, aku lagi mengintai Katak. Perutku lapar, aku lebih mementingkan makan dibandingkan mimpi jadi raja dengan melawanmu adu cepat berlari.”
Setelah itu, si Ular berlalu pergi. Sesungguhnya ia marah mendengar perkataan Kijang yang sombong. “Kupatuk sekali, kau pasti binasa. Kau tidak tahu, aku adalah hewan berbisa. Siapa pun yang kena racunku, hukumnya mati, apalagi kau Kijang yang lemah!” desis si Ular berlalu sambil memburu katak.
Melihat si Ular berlalu dan masuk hutan, si Kijang tertawa terbahak-bahak. Dia mengiri si Ular ketakutan. Riang sekali hatinya sebab banya hewan sudah dikalahkannya. Si Kijang kemudian berjalan menyusuri pematang sawah. Tanpa dinyana, dia berjumpa dengan Siput sawah. Melihat jalan si Siput pelan dan merayap, si Kijang mendadak pasang aksi galak. Melihat si Siput sawah ketakutan, semakin sombong perkataan si Kijang. “He, kau hewan tak bertulang, badannya bundar dan kecil, namun kau takut dengan terang. Lihatlah rajamu ini berdiri di pematang sawah!” ucap si Kijang mempermainkan si Siput sawah.
Si Kijang juga menantang si Siput sawah adu cepat berlari ke puncak gunung. Untuk kau ketahui, aku si Kijang belum terkalahkan adu cepat berlari.”
Mendengar perkataan si Kijang seperti itu, si Siput sawah gemetar karena merasa binatang kecil tak berguna. Waktu itu, burung bangau, cetrung, dan burung lainnya beterbangan karena takut mendengar perkataan si Kijang yang keras menggelegar.
Si Siput sawah tak menyahut. Si Kijang terus-terusan menghina. Si Siput sawah pun tersulut emosinya. “He Kijang, aku terima tantanganmu. Namun berilah aku waktu beberapa hari lagi untuk menentukan hari baik perlombaan ini!”
Riang sekali si Kijang mendengar jawaban si Siput sawah. Baru kali ini ia mendapatkan perlawanan. Apalagi musuh yang akan dihadapinya kecil dan jalannya sangat pelan. Si Kijang pun merasa di atas angin. Kemenangan sudah di tangan. Si Kijang ingin sekali mengundang hewan-hewa yang ada di sawah dan hutan untuk diajak merayakan kemenangannya sebagai juara lomba lari di Alas Kopi Pahit.
Dikisahkan, pada tengah malam warga Siput sawah berkumpul membahas tantangan si Kijang. “Kamu cari gara-gara saja, kenapa kau ladeni tantangan si Kijang. Dia itu binatang yang larinya cepat. Karena kau memenuhi tantangan si Kijang, maka tujuh keturunan keluarga kita akan menderita. Kita pasti kalah. Itu semua karena sikapmu yang sombong berani menandingi si Kijang. Pokoknya kamu harus minta maaf dan mengaku kalah melawan si Kijang,” ucap ketua marah.
Mendengar perkataan ketua seperti itu, gemetarlah si Siput sawah. Semuanya terdiam, tidak ada yang berani bersuara. Kaki Lingsir berikan pertimbangan. “Tut, jangan terlalu di ambil hati perkataan ketua kita. Jika Kaki yang ditantang, pastilah Kaki juga melawan. Keputusanmu itu sudah benar. Jangan takut. Benar jika kita berlomba lari dengan si kijang pastilah kita kalah. Demi harga diri, kita harus beri dia pelajaran. Kita hentikan kesombongannya. Begini caranya jika ingin menang, kita lawan dengan siasat jitu,” ucap Kaki Lingsir berikan solusi.
Semua warga Siput sawah tenang mendengar wejangan Kaki Lingsir. “Siasat seperti apa yang kita jalankan untuk mengalahkan si Kijang?” tanya ketua.
Semuanya setuju melawan si Kijang adu cepat berlari. Kaki Lingsir bagikan tugas kepada warga Siput sawah. Mereka siap siaga di sepanjang arena perlombaan hingga di puncak gunung. Ada ditugaskan di bawah, di pinggang gunung, lambung gunung, dan pucak gunung.
Tibalah saatnya hari perlombaan. Si Kijang dan si Siput sawah sudah siap sedia. Duh, ramai sekali yang menonton pertandingan itu. Ada anjing, kambing, gajah, harimau, dan hewan lainnya. Burung dan serangga juga semuanya menyaksikan perlombaan antara si Kijang melawan si Siput sawah.
Gong pun dipukul, si Kijang melesat. Penonton bersorak tiada henti, bergemuruh seperti suara guntur. Sepanjang arena perlombaan, keluarga Siput sawah siaga. Si Kijang melesat bak peluru, dia sudah tiba di kaki gunung. Dia pun memanggil-manggil Siput sawah. “Kuuuuulll”. Suara si Kijang lantang menggema, penuh keyakinan sebagai pemenang. Dia mengira Siput sawah tertinggal jauh. “Hadir,” jawab Siput sawah. Si Kijang terkejut kemudian berlari sekencang-kencangnya. Setiba di punggung gunung, dia kembali memanggil si Siput sawah. “Kuuulll, kalah kau Kuull!” Siput sawah menjawab, “aku di sini, Kijang!”
Kembali si Kijang terkejut mendengar jawaban itu. Sekuat tenaga dia memacu larinya. Bagaikan peluru yang lepas dia berlari dengan cepat. Tibalah dia di puncak gunung. Si Kijang sudah merasa sebagai pemenangnya. “Kul, lihatlah, aku sudah sampai di pucak gunung. Akulah rajanya lari. Mulai dari sekarang, akulah raja Kopipahit. Hahahaha.” “Kul, dimana kau?” “He Kijang, aku sudah dari tadi duduk di sini. Peluhku sudah mengering menunggu kedatanganmu. Kau baru tiba di sini namun sudah menyombongkan diri dan mengaku sebagai raja Kopipahit. Lho, kamu kok kalah melawan aku yang kecil ini?”
Kijang sungguh terkejut melihat Siput sawah yang kecil itu duduk bersila di puncak gunung. Si Kijang yang terkejut langsung lemas terkulai. Melihat si Kijang tumbang, para penonton bersorak gembira. Si Kijang yang sombong kalah melawan Siput sawah yang kecil.
Enable comment auto-refresher
Anonymous user #1
Permalink |