- Title (Other local language)
- Photograph by
- Komang Artha Susila
- Author(s)
- Reference for photograph
- Subject(s)
- covid-19
- Reference
- Related Places
- Event
- Related scholarly work
- Reference
Description
Youtube-Luh Yesi Candrika
In English
In Balinese
Mligbagang gering
In Indonesian
Ada pula anggapan yang didasarkan pada keyakinan kuna yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya mitos terkait dengan Betara Katon (Anak Agung Oka Geg). Saat masih hidup, konon beliau dapat mengatasi dan menghentikan wabah penyakit hanya dengan sarana mantra. Beliau berdoa di hadapan palinggih prajapati. “Apabila semua pengikut anda ambil, siapa yang akan menghaturkan yadnya di kemudian hari?”. Keyakinan masyarakat Bali yang sangat tipis membuat mereka semakin angkuh. Tuhan seolah-olah sulit memberikan anugerahnya kepada Bali. Berbagai yadnya telah dihaturkan kepada Tuhan untuk memohonkan ketentraman. Kemudian, hanya dengan membuat canang sari satu tanding dijadikan alat penyombong diri. Bagaikan telah mengetahui segalanya tentang hal yang buruk akan datang jika yadnya tersebut tidak lagi dihaturkan. Selain itu, masyarakat Bali lupa menginstropeksi diri dan merasa paling benar.
Kemajuan teknologi dan mudahnya memperoleh akses internet menambah kesan kengkuhan manusia Bali yang terburu-buru merasa paling tahu. Apa pun yang diperoleh dari media daring sangat mudah untuk dipercaya. Pemerolehan informasi yang begitu cepat mengenai Virus Corona hanyalah wabah biasa yang tidak akan mampu mengacaukan kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa terserang wabah demam berdarah, tipus, malaria, dan yang lainnya sangat mudah dipercaya.
Ada pula kabar bahwa Virus Corona tidak akan dapat hidup pada suatu tempat yang beriklim tropis seperti di Indonesia. Kabar yang demikian justru sangat cepat dipercaya oleh masyarakat. Akan tetapi, jika ada seseorang yang memberikan himbuan untuk memakai masker dan rajin mencuci tangan dengan sabun, malahan terkadang himbauan tersebut tidak dihiraukan dengan baik. Demikianlah sebagian perilaku masyarakat Bali saat ini. Mudah sekali percaya pada isu-isu yang tak pasti dan mengabaikan nilai-nilai kebenaran. Hidup mati ini malah dijadikan bahan candaan. Perilaku yang tidak waspada ini mungkin hanya sebagain kecil saja. Apabila diamati dengan baik, himbauan pemerintah mengenai aturan agar tidak ke luar rumah justru tidak terlalu dihiraukan. Seringkali masyarakat justru acuh dan tidak mengikuti instruksi-instruksi tersebut.
Saat masyarakat merasa semakin terdesak, banyak orang kemudian mengaku mendapatkan petunjuk mengenai yadnya yang hendaknya dihaturkan untuk memusnahkan wabah penyakit. Petunjuk-petunjuk tersebut diperoleh dari warga kesurupan yang terjadi di pasar-pasar, bahkan konon mendapatkan petunjuk di pura-pura. Tidak hanya demikian, banyak masyarakat yang mengaku mendapatkan petunjuk dari Tuhan agar sungsungan warga yang berupa tapakan tersebut turun menari (nglawang) sehingga dapat menghalau wabah penyakit. Menangapi petunjuk yang demikian, hendaknya masyarakat justru lebih cermat, bagaikan sudah tidak ada pilihan lain lagi. Ada saja rasa ragu, jika keputusan yang dilakukan pada akhirnya akan mendatangkan malapetaka.
Apabila salah dalam menjalankan upaya menanggulangi penyebaran Virus Corona, maka masyarakat yang hanya bisa mengkritik akan dengan sangat mudah untuk menyalahkan. Kemampuan yang rendah dalam menanggapi sesuatu, justru akan mendatangkan malapetaka, ibarat orang buta yang sedang menari. Akan tetapi, jika benar-benar wabah menyerang barulah rasa takut dan puja tiada henti dipersembahkan kepada Tuhan.
Pada awalnya, banyak desa pakraman memberikan pengarahan yang berbeda-beda mengenai upakara yang akan dihaturkan kepada Sang Pencipta. Ada pula yang tidak mendapatkan pengarahan apa pun. Bahkan, sering kali masyarakat yang tidak mendapatkan pengarahan hanya ikut-ikutan menjalankan pengarahang yang diperolehnya dari desa lain. Jika tidak demikian, sering kali informasi didapatkan dengan menghandalkan media sosial. Oleh karena itu, pada masing-masing perumahan dipasang sarana penangkal wabah penyakit.
Walapun sulit memperoleh pemasukan, masyarakat dengan ikhlas membagi penghasilannya untuk membeli sarana upakara. Menghadapi persoalan yang demikian, pemrintah mengirimkan surat kepda Bendesa Agung dan juga kepada para kepala desa di seluruh Bali. Adapun isi suratnya yaitu agar para kepala desa dapat menghimbau masyarakat agar menghaturkan upakara (pajati) dan kelapa kuning (bungkak) untuk dihaturkan sampai wabah penyakit ini pergi. Sementara itu, untuk upakara yang dihaturkan pada Buta adalah berupa nasi wong-wongan dengan ulam, berwarna, dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Akan tetapi, banyak juga masyarakat yang menganggap nasi-wong-wongan tersebut sebagai suatu hal yang aneh. Mungkin saja karena warnanya dianggap lucu, apalagi saat di unggah di media sosial. Pada akhirnya, nasi wong-wongan yang disarankan tersebut hanya menjadi bahan candaan. Bahkan, tidak sedikit orang yang mencemooh.
Sementara itu, pasca perayaan Nyepi tahun ini, banyak pemuda-pemudi yang membicarakan mengenai batalnya pengarakan ogoh-ogoh pada Pangrupukan. Reaksinya beragam, di antaranya ada yang membakar ogoh-ogoh langsung di tempat mereka memajangnya. Pemerintah kemudian dituding tidak menghargai seni budaya. Apabila diamati kembali, para pemuda saat pangrupukan tidak memaknai ogoh-ogoh tersebut ibarat memusnahkan musuh di dalam diri. Justru banyak pemuda yang hanya ingin mabuk-mabukan, menghidupkan musik terlalu keras, dan menjadi ajang unjuk kekuatan saat bersorak mengarak ogoh-ogoh. Pada akhirnya hanya akan menciptakan keributan dan perkelahian.
Umumnya, perilaku masyarakat khususnya para pemuda tidaklah banyak berubah pasca ogoh-ogoh tersebut di bakar. Warga lainnya justru merasa sedih karena ada aturan jika tidak diperkenankan membuat yadnya dengan beramai-ramai atau berkerumun. Pada saat upacara piodalan, para umat yang ingin sembahyang ke pura-pura dibatasi dan berbagai upacara besar dibatalkan. Walapun ada saja yang melakukan pelanggaran dengan tetap melakukan upacara seperti biasanya, maka tidak diperkenankan untuk membawa gawai. Tujuannya agar upacara yang tetap digelar dalam keramaian tersebut tidak sampai tersiar ke desa lain. Apabila ada kematian, mayat terebut diupacara dengan upakara yang sederhana. Demikian pula, untuk acara pernikahan hanya boleh dihadiri oleh keluarga inti dari kedua belah pihak saja. Banyak orang yang beranggapan bahwa menikah di masa seperti sekarang ini merupakan perilaku yang cerdik. Keinginan yang kurang menyetujui pelaksanaan yadnya pada masa pandemik seperti saat ini mencirikan, bahwa banyaknya manusia Bali yang belum terbiasa menjalankan inti sari dari pelaksanaan yadnya. Seringkali justru merasa terbebani untuk urusan di dunia. Upacara yang dibuat dengan cara yang nista (paling sederhana) sehingga seringkali disebut miskin. Banyak yang belum memahami bahwa kata nista berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu ista berarti inti. Ada juga rencana dari salah instruksi dari instansi pemerintah agar masyarakat Bali melaksanakan nyipeng pada sasih kadasa. Instansi terkait yang memberikan instruksi tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan nyipeng ini didasarkan dengan berbagai pertimbangan sehingga upaya ini secara sakala dapat memutus penularan wabah penyakit. Sementara itu, secara niskala masyarakat hendaknya menyucikan perumahan masing-msing dan menghaturkan yadnya untuk para Buta. Berbagai usaha yang dilakukan tentu akan mendatangkan tanggapan yang positif dan ada pula yang menanggapinya secara negatif.
Adapun masyarakat yang menanggapi positif dan membenarkan instruksi tersebut adalah kebanyakan orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Walaupun tidak ke luar dari rumah, tetapi tetap mendapatkan gaji. Namun, sebaliknya bagi masyarakat yang bekerja hanya dengan mengandalkan upah harian. Apabila tidak ke luar rumah untuk bekerja, maka tidak akan mendapatkan gajih. Anggapan masyarakat yang bertolak belakang demikian mencirikan manusia Bali masih bingung membedakan usaha secara sekala dan niskala dalam mengatasi wabah virus corona. Dalam pustaka-pustaka kuna memang disebutkan bahwa hal-hal yang bersifat nyata di dunia juga didasari oleh hal-hal yang bersifat maya. Untuk itulah, baik secara sekala maupun niskala hendaknya dijalankan secara seimbang yang dimulai dari antisipasi secara sekala. Seperti memperoleh air bersih yang bersumber dari tanah, maka perlu untuk menggalinya terlebih dahulu. Hal ini terkait dengan peristiwa sejarah, saat Presiden Soekarno mulai menggali Pancasila (pada 1 Juni 1945), yang mengarah pada keyakinan metafisik (niskala) yaitu ‘Ke-Tuhanan yang berkebudayaan’ diletakkan dibagian akhir. Urutan yang demikian tidak lah keliru karena apabila belum tuntas pada hal-hal di dunia, maka akan menjadi cukup sulit untuk menuntaskan hal-hal yang bersifat keyakinan atau metafisik (niskala). Seperti kondisi saat ini, banyak sekali masalah yang perlu diatasi. Contoh sederhanyanya yaitu saat melakukan penyemprotan disinfektan yang justru banyak terjadi kekeliruan. Masih banyak petugas yang menyemprotkan disinfektan hingga mengenai kulit dan terkadang hingga terciprat ke bagian wajah. Konon disinfektan tersebut justru dapat menimbulkan penyakit lainnya, apabila mengenai tubuh. Demikian pula, dengan penyemprotan yang asal-asalan. Misalnya saja menyemprot disinfektan ke aspal dan juga semak belukar.
Masyarakat yang mengeluh karena merasa interaksi sosialnya dibatasi karena aturan pemerintah, sebaliknya justru memutuskan hubungan karena percaya dengan isu-isu yang tersebar. Misalnya, sanak saudara yang baru kembali dari luar negeri dianggap membawa dan dapat menularkan virus corona. Bahkan yang memprihatinkan yaitu masyarakat yang akan berobat justru dihadang di jalan. Hal ini sangat menyedihkan, pasalnya sebagian orang hanya bisa mengusir dan menghalangi orang yang terkena wabah, tetapi urung memberikan bantuan dan jalan ke luar yang baik. Rasa persaudaraan tersebut hendaknya dipelihara dengan meningkatkan rasa peduli terhadap orang lain. Orang yang berkecukupan hendaknya berbagi dengan saudara yang kurang mampu. Bukan justru sebaliknya, orang yang mampu justru menjadi kikir, bahkan menjadi serakah. Banyak para pekerja pemerintahan yang tidak ikhlas ketika ada wacana bahwa gaji para pekerja akan dipotong sebagian untuk mengatasi wabah. Demikian pula dengan beberapa pekerja yang melakukan kebohongan dengan berpura-pura miskin, sehingga mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Adanya bencan wabah penyakit ini hendaknya dijadikan momentum untuk kembali merenung tentang diri sendiri. Keangkuhan karena memiliki limpahan harta dan kekayaan hendaknya dihilangkan. Dunia sekala yang sudah dicemari dengan perbuatan-perbuatan tidak baik harus segera dibenahi agar kembali bersih. Dengan demikian, maka dunia niskala dapat mengusir bencana wabah penyakit.
Enable comment auto-refresher