- Authors
- Illustrator
- Where does this book take place
- Related Ceremony or Holiday
- Related Env. Initatives
- ISBN
- —
- Original language
- English
- Link to Whole Story
- Words to Learn for this Book
Description
In English
Bali has taught me about the importance of gratitude. While living here, I’ve learned to become more grateful for everything I have. I’m grateful for the fact that I am able to call a place like Bali, home. Living in Bali has provided me with the opportunity to become more open-minded by living in a place rich in culture and unique traditions, ceremonies, and art. From holidays such as Nyepi where the Balinese people create enormous ogoh-ogohs that are extremely intricate and detailed to other ceremonies such as Galungan when the streets are lined with penjors and processions of Balinese in traditional attire.
I also always experience the kind, hospitable, and welcoming community provided by the people of Bali. They always greet me with a bright smile as I walk past, which always encourages me to try my best to become kinder towards others. One of my most meaningful experiences here includes my relationship with our pembantu and her family. Ibu Ketut has been working for my family for about 14 years now. Over time, I have come to see her as a cherished family member who has helped raise me since the day I was born. She treats me as if I were her own child, and has become my Balinese mother. From watching me take my first steps to teaching me Balinese, I’m grateful to have someone like her in my life.
I’m also always grateful for the natural environment of Bali. Every time I visit my home country, South Korea during school holidays, I see modern, urban cities that are constantly busy and bustling. When I’m there, I miss Bali. I miss the calm, spiritual atmosphere of Bali, from its breathtaking waterfalls, beaches, jungles, and rice fields to its welcoming, friendly community. From looking up to the sky in the afternoon and seeing all the young children flying their kites high in the sky.
Despite having lived in Bali my whole life, the beauty of Bali never seems to wear off or lose its novelty. Every morning I’m reminded of its magic - looking out the window and watching the sunrise, listening to the melodic sounds of birds chirping, and the resonating crow of roosters, Bali’s natural alarm clock. Every day ends with a sky full of amazing, mesmerizing colors, displaying a changing palette of colors, always different from the day before.
The place I call home. Where I was raised, where I go to school, and where I still am now. I'm grateful for Bali being the place I call home.
Thank you, terima kasih, matur suksma.In Balinese
Makejang anak dot ka Bali. Tiang makeneh-keneh. Kenapa anak dot teka mai? Anak pasti ngad n Bali ento suarga tongos malali. Nanging, Bali tuah kadi umah tiang , tongos tiang makatang pengalaman lan peplajahan. Bali ngajahin tiang rasa angayubagia. Dugas tiang nongos dini, tiang malajah caran marasa lega unduk apa an suba gelahang tiang ulian suecan Hyang Widhi. Tiang bagia krana Bali suba cara umah tiang padidi. Nongos di Bali ngemang tiang palajahan apang nyidang makeneh luung di tongos an sugih baan budaya lan tradisi, upacara, tur seni an unik. Uling hari raya Nyepi, krama Balin nga ogoh-ogoh an ged lan jenar pesan nganti upacara an l nan sakadi Galungan ri kala penjor majujuk di jalan-jalann tur krama Balin mapanganggo tradisional. Tiang masih nongos di wewidangan krama Bali an melah tur aj r. Kraman satata nyapatin tur makenyem ri kala tiang liwat, satata nyokong tiang apang nyidang lebih melah ka anak l nan. Sililh tunggil pengalaman an mabuat pisan di d w k tiang tuah paiketan pangayah tiang lan kulawargan tiang. Ibu K tut mirib suba 14 tiban maga ajak kulawargan tiang . Makelo-kelo, ipun sakadi kulawarga an banget sayangang tiang. Ipun miara tiang uli mara lekad cara pianaknyan padidi, ipun sakadi m m n tiang di Bali. Uling mara nyidang majalan nganti ngajahin tiang mabasa Bali, bagia keneh tiang ngelah m m buka k to di idup tiang . Tiang masih bagia unduk palemahan gumi Bali. Sabilang masan liburan sekolah, tiang mulih ka Korea Selatan, tiang nolih kota-kota urban modern an satata seek tur ram . Dugas tiang ditu, tiang kangen ajak Bali. Tiang kangen gumi Bali an santi tur mataksu, jrogjogan an ngulangunin, pasih, alas, lan carik, k to masih kraman an aj r. Tiang kangen mandreng langit nuju sanja tur nolih anak cerik-cerik ngeberang layang-layang. Diastun salantang tuuh tiang nongos di Bali, kaluihan gumi Bali tusing lakar ilang. Sabilang semengan tiang inget teken kaluihinn , nolih ka sisin jendelan tur nolih suryan endag, ningehang kedis nguci, lan siap makruyuk dadi alarm alami di Bali. Sabilang wai katutup baan langit an mawarna ngulangunin, muktiang warnan an satata maubah En suba an madan umah. Dini tiang kapiara kanti ged , masekolah, tur nganti jani. Tiang marasa bagia krana Bali dadi tongos an madan umah. Matur suksma.
In Indonesian
Bali telah mengajari saya tentang pentingnya rasa syukur. Selama tinggal di sini, saya belajar untuk lebih bersyukur atas semua yang saya miliki. Saya bersyukur atas kenyataan bahwa saya bisa menyebut Bali sebagai rumah. Tinggal di Bali telah memberi saya kesempatan untuk menjadi lebih berpikiran terbuka dengan tinggal di tempat yang kaya akan budaya dan tradisi, upacara, dan seni yang unik. Dari hari raya seperti Nyepi di mana orang Bali membuat ogoh-ogoh yang sangat besar dan mendetail hingga upacara lain seperti Galungan ketika jalan-jalan dipenuhi penjor dan prosesi orang Bali dalam pakaian tradisional mereka. Saya juga berada dalam lingkungan yang baik dan ramah dalam masyarakat Bali. Mereka selalu menyapa saya dengan senyum lebar saat saya lewat, yang selalu mendorong saya untuk terus berusaha menjadi lebih baik pada orang lain. Salah satu pengalaman yang paling berarti buat saya yaitu hubungan saya dengan pembantu kami dan keluarganya. Ibu Ketut sudah bekerja untuk keluarga saya selama kurang lebih 14 tahun. Seiring waktu, saya menganggapnya sebagai anggota keluarga yang saya sayangi. Dia telah membantu membesarkan saya sejak saya lahir. Dia memperlakukan saya seolah-olah saya adalah anaknya sendiri, dan telah menjadi ibu Bali saya. Dari melihat saya mulai bisa berjalan sampai mengajari saya bahasa Bali, saya bersyukur memiliki seseorang seperti dia dalam hidup saya. Saya juga selalu bersyukur dengan lingkungan alam Bali. Setiap kali saya mengunjungi negara asal saya, Korea Selatan selama liburan sekolah, saya melihat kota-kota urban modern yang selalu sibuk dan ramai. Ketika saya di sana, saya merindukan Bali. Saya merindukan suasana Bali yang tenang dan spiritual, dari air terjunnya yang menakjubkan, pantai, hutan, dan sawah hingga orang-orangnya yang ramah dan bersahabat. Saya rindu menatap langit di sore hari dan melihat anak-anak kecil menerbangkan layang-layang mereka tinggi di langit. Meski seumur hidup saya telah tinggal di Bali, keindahan Bali sepertinya tidak pernah luntur atau kehilangan kesegarannya. Setiap pagi saya teringat akan keajaibannya—melihat ke luar jendela dan menyaksikan matahari terbit, mendengarkan kicauan burung yang merdu, dan gema kokok ayam jantan yang menjadi jam alarm alami Bali. Setiap hari diakhiri dengan langit penuh dengan warna-warni yang memukau, menampilkan warna-warni yang berubah-ubah, senantiasa berbeda dari hari sebelumnya. Inilah tempat yang saya sebut rumah. Di sini saya dibesarkan, bersekolah, dan masih tinggal hingga sekarang. Saya bersyukur Bali menjadi tempat yang saya sebut rumah.
Terima kasih, matur suksma.Reviews
(change interface language in upper right corner to see reviews in other languages)No reviews added yet.
Videos
Nothing was added yet.
Enable comment auto-refresher