Kapal village is one of the old villages in the heart of Badung Regency. This village has existed as a trading center and fortress of the Balinese kingdom during the late Warmadewa era to Mengwi. In the Kapal area, traders from the southern part of Bali met with farmers from the northern mountainous region, especially the Lesung-Sanghyang-Pohen spice route to exchange commodities.
In Kapal Village, there is a temple called Pura Puru Sada, which is commonly known as Pura Sada. This temple building is very old, possibly from the Warmadewa era in the thirteenth century when Singasari influence started to enter Bali. Kapal village became a geopolitical center of Balinese kings from time to time. Due to its dense population and strategic location (the meeting point of the Tabanan, Bedahulu and Sanur trade routes during the Warmadewa era), this village also had a large population during its time. As such, Kapal Village became a geopolitical fortress to protect the center of the kingdom, especially when the Kingdom of Mengwi was trying to reach their golden age in the 1700s.
However, the Siat Tipat Bantal tradition had been going on long before the Mengwi Kingdom was founded. Some say that the tradition of ketupat (rice cake) warfare and pillow snacks has existed since Kebo Iwa era in the fourteenth century. The goal is to invoke fertility. Tipat (ketupat, rice cake) is a symbol of feminism, and pillow snack is a symbol of masculinity. It seems that, based on the philosophy of this rite, the Siat Tipat Bantal tradition contains elements of tantrism that developed in the thirteenth century.
The true name of this ketupat war is Aci Tabuh Rah Pangangon, which is carried out routinely every full moon of Kapat on the road of Desa Kapal, around Pura Puru Sada. The residents are divided into two groups, and when the cue started, they throw the tipat and pillow snacks at each other. This procession is certainly very exciting and fun.
Of course, before the tipat war is carried out, the people of Kapal Village pray first at Pura Sada. According to the story, residents of Kapal Village are not allowed to build houses with red bricks. That said, this prohibition has been in effect since the time of King Astasura. Until now, residents of Kapal Village are subject to this prohibition. So, you won't find a house made of red bricks in Kapal Village, except for temple buildings and public halls.
Desa Kapal adalah salah satu desa tua di jantung Kabupaten Badung. Desa ini telah ada sebagai pusat perdagangan dan benteng pertahanan kerajaan Bali pada masa Warmadewa akhir hingga Mengwi. Di daerah Kapal, para pedagang dari wilayah Bali bagian selatan bertemu dengan para petani dari wilayah pegunungan utara, utamanya daerah jalur rempah Bukit Lesung-Sanghyang-Pohen untuk bertukar komoditas.
Di Desa Kapal, berdiri sebuah pura bernama Pura Puru Sada, yang lazim dikenal sebagai Pura Sada. Bangunan pura ini amat tua, kemungkinan dari zaman Warmadewa pada abad ketiga belas saat pengaruh Singasari mulai masuk ke Bali. Desa Kapal menjadi sentra geopolitik raja-raja Bali dari masa ke masa. Karena jumlah penduduknya padat dan letaknya strategis (pertemuan jalur perdagangan Tabanan, Bedahulu dan Sanur kala masa Warmadewa), desa ini juga memiliki jumlah penduduk yang besar pada masanya. Dengan demikian, Desa Kapal dijadikan benteng geopolitik untuk melindungi pusat kerajaan, utamanya ketika kekuasaan Mengwi berusaha meraih masa-masa emas pada tahun 1700-an.
Namun tradisi Siat Tipat Bantal sudah berlangsung jauh sebelum Kerajaan Mengwi berdiri. Ada yang mengatakan bahwa tradisi perang ketupat dan jajanan bantal ini telah ada sejak zaman Kebo Iwa pada abad keempat belas. Tujuannya adalah memohon kesuburan. Tipat (ketupat) adalah lambang feminisme, dan bantal sebagai simbol maskulinitas. Tampaknya, berdasarkan filosofi ritus ini, tradisi Siat Tipat Bantal ini mengandung unsur-unsur tantrisme yang berkembang pada abad ketiga belas.
Nama sejati dari perang ketupat ini adalah Aci Tabuh Rah Pangangon, yang dilakukan rutin setiap purnama Kapat di jalan Desa Kapal, di sekitaran Pura Puru Sada. Warga dibagi menjadi dua kelompok, dan tatkala aba-aba dimulai, mereka saling melempar ketupat dan jajanan bantal. Prosesi ini pastinya amat seru dan menyenangkan.
Tentunya, sebelum perang tipat bantal ini dilakukan, warga Desa Kapal bersembahyang terlebih dahulu di Pura Sada. Menurut cerita, warga Desa Kapal tidak boleh membangun bangunan rumah dengan bahan batu bata merah. Konon, larangan ini berlaku sejak zaman Raja Astasura. Hingga kini, warga Desa Kapal tunduk pada larangan ini. Jadi, Anda tidak akan menemukan rumah berbahan batu bata merah di Desa Kapal, kecuali bangunan pura dan balai umum.
Enable comment auto-refresher