Ngaga comes from the word 'gaga' which means rice grown on dry land. In the past, the people of Pedawa Village planted gaga rice as a staple food. This rice used to be harvested twice a year. Then, as new types of rice species were developed, the existence of this dry land paddy was slowly abandoned since the 1970s. Now, most people have switched to planting hybrid rice, which can be harvested three or four times a year.
In fact, the Pedawa people have an ancient tradition that is closely related to gaga rice. In every ceremony at the Puncak Sari Temple, they always use grains that come from gaga rice. These sacred seeds are known as "bijaratus". Because in their village there are no more people who plant gaga rice, the implementation of this sacred ceremony has experienced some hindrance. To fulfill the "bijaratus" grains, they get gaga rice seeds from various other regions, even importing them.
In order for this ceremony to continue and the characteristics of the Pedawa community also remain, starting in 2016, Gaga rice was replanted in Pedawa. This gaga rice planting ceremony is known as “Ngaga”, and is part of a sacred ceremony to honor Goddess Sri, the goddess of rice. In the Ngaga tradition, people plant gaga rice on one hectare of village land. This Ngaga ceremony had been stopped for about four decades. Luckily, the government paid attention to this and provided support for the preservation of ancient traditions in Buleleng.
Ngaga berasal dari kata ‘gaga’ yang berarti padi yang ditanam di lahan kering. Dahulu, masyarakat Pedawa menanam padi gaga sebagai bahan makanan pokok. Padi ini dipanen setahun dua kali. Kemudian, setelah padi jenis baru dikembangkan, keberadaan padi lahan kering ini perlahan-lahan ditinggalkan sejak 1970-an. Kini, kebanyakan masyarakat beralih menanam padi hibrida yang bisa dipanen tiga-empat kali setahun.
Padahal, masyarakat Pedawa memiliki tradisi kuno yang amat terkait dengan padi gaga. Dalam setiap upacara di Pura Puncak Sari, mereka selalu menggunakan biji-bijian yang berasal dari padi gaga. Biji-bijian sakral ini dikenal sebagai “bijaratus”. Karena di desa mereka tidak ada lagi masyarakat yang menanam padi gaga, pelaksanaan upacara sakral ini sempat mengalami hembatan. Untuk menggenapi bahan “bijaratus” itu, mereka mendapatkan biji padi gaga dari berbagai daerah lain, bahkan hingga mengimpor.
Agar upacara ini dapat terus berjalan dan ciri khas masyarakat Pedawa juga tetap eksis, mulai 2016 lalu, padi gaga ditanam kembali di Pedawa. Upacara menanam padi gaga ini disebut sebagai “Ngaga”, dan merupakan bagian dari upacara sakral untuk menghormati Dewi Sri, yang adalah dewi padi. Dalam tradisi Ngaga, masyarakat menanam padi gaga di lahan desa seluas satu hektar. Upacara Ngaga ini telah vakum selama kurang lebih empat dasawarsa. Beruntung, pemerintah memperhatikan hal ini dan memberikan dukungan terhadap pelestarian tradisi kuno di Buleleng.
Enable comment auto-refresher