Lukat geni is a purification ceremony using fire, carried out at the Catuspata (village crossroad) of Paksebali, Dawan, Klungkung. Sometimes, this ceremony is performed in front of Merajan Agung Puri Satria Kawan, an old palace that has become one of the important icons of Paksebali Village.
Lukat means 'holy bath', but in the Lukat Geni ceremony, what is used for 'bathing' is fire ignited from 36 dried coconut leaves (called danyuh: see dictionary 'danyuh'). This ceremony also uses 33 torches which symbolize the power of the gods in every cardinal direction. These thirty-three torches are placed in five cardinal directions according to the “urip” (numbers associated with gods in Balinese numerology), namely five in the east, nine in the south, seven in the west, four in the north and eight in the center of the ceremonial arena.
This ceremony is followed by young men at dusk of Pangerupukan day (Tawur Agung Kasanga: see the entry). After a long absence, in 2019 this tradition began to be reactivated and became an inseparable part of the classic Paksebali culture, Klungkung in order to welcome the Saka new year.
Lukat geni adalah upacara penyucian dengan sarana api yang dilakukan di Catuspata (perempatan desa) Paksebali, Dawan, Klungkung. Kadang-kadang, upacara ini dilakukan di depan Merajan Agung Puri Satria Kawan, sebuah istana tua yang menjadi salah satu ikon penting Desa Paksebali.
Lukat berarti ‘mandi suci’, namun dalam upacara Lukat Geni, yang dipakai ‘mandi’ adalah api yang disulut dari 36 lembar daun kelapa kering (disebut danyuh: lihat kamus ‘danyuh’). Dalam upacara ini digunakan juga 33 obor yang melambangkan kekuatan para dewa di setiap penjuru mata angin. Ketiga puluh tiga obor ini dibagi dalam lima arah mata angin sesuai dengan urip (jumlah angka dalam numerologi Bali), yaitu lima di timur, sembilan di selatan, tujuh di barat, empat di utara dan delapan di tengah arena upacara.
Upacara ini diikuti oleh para laki-laki muda pada senja hari Pangerupukan (Tawur Agung Kesanga: lihat entri). Setelah sekian lama tidak dilakukan, pada 2019 lalu tradisi ini mulai diaktifkan kembali dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya klasik Paksebali, Klungkung dalam rangka menyambut tahun baru Saka.
Enable comment auto-refresher