- Nama lengkap
- Gde Hariwangsa
- Nama Pena
- Hartanto
- Photograph by
- Link to Photograph
- Website for biography
- Tempat
- Related Music
- Related Books
- Related Scholars Articles
Biodata
In English
In Balinese
Hartanto alias Gde Hariwangsa embas ring Surakarta, warsa 1958. Sampun meneng ring Bali saking warsa 1980-an. Dan sampun nyurat puisi saking SD. Kakawiannyan kawedar ring Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Tempo, Hai, Ceria, Basis, Femina, Wanita Indonesia, miwah Jurnal Kebudayaan CAK. Buku puisi tunggalnyan mamurda Ladrang 1995 . Puisinnyan taler kapupulang ring buku Dendang Denpasar, Nyiur Sanur 2012 , Ibunda Tercinta 2021 . Dan taler nyurat buku seni rupa, minakadi Arie Smit Memburu Cahaya Bali 2000 , Siluhet Perempuan 2000 , Tree of Life 2018 . San dumun makarya dados wartawan ring majalah Matra. Raris ida dados petani ring Bali utara.
In Indonesian
Contoh karya
Elegi Sebuah Kedai
Dingin senja di jalan Wang Fu Jing
serasa menusuk tulang tualangku.
sayup, kudengar nyanyian misa di gereja tua
dilapis riuh kanak-kanak yang bermain
gasing nasib, seirama putaran rembulan.
Di kedai perempuan cantik, bir tak mampu
menghangatkan tubuh dan ruh
meski pendiangan hanya sedepa di sisiku
dan gerimis kembali menyentuh ingatanku
tentang gereja tua yang terhimpit
keriuhan para pejalan dan masa silam
“Ni hao ma”, sapa dan senyum manis Gadis penjaja bir buyarkan lamunan dan angananku yang mengembara di altar tanpa jiwa, tanpa darah penebusan. Hujan memacu malam, dan jiwa-jiwa kian membeku di dingin alam. Siapa sembunyi di remang lampu ketika kudengar derit bambu milik para dinasti yang beranjang di singgasana sunyi.
Di mata beningmu, tergurat nganga luka dari kuil di desamu yang roboh dilanda air bah sebab, rahib dan para pemuja kesunyian kehilangan jejak perjalanan silam. Cahaya bulan malam ini semburat jadi simponi pemandu hati ketika kau memuja Sun Yat Sen dari serpihan duka purbamu.
Mari bersulang, melupakan perang kemarin petang ketika candu mengkoyak rumpun suku. Kudengar lirih gemertak gigi rapimu di tengah malam kian kelam. Ada yang meleleh dari kelopak matamu Itu bukan air mata, tapi perih dan rintih Yang mengkristal di putaran waktu
Di sini, aku mendengar suara seruling
yang menyayat hati, dilapis keluh lapar
dari orang-orang terkapar.
Dan aku hanyut dalam keriuhan
gumam yang tak kupahami maknanya
namun, aku bisa merasakan rintih lirih
para kurcaci yang sembunyi di bilik jantungku.
Darahku mengalir deras
ketika terik matahari membakar aspal jalanan
tak bisa kubedakan derap sepatu lars
dan cerita tentang peradaban keindahan.
Aku hanya ingat seorang gadis kecil
menaruh seikat mawar putih di tengah jalan
mungkin bunga itu untuk kita
yang memahami bahwa kebenaran
bisa terbaca pada kematian
yang tertera di kelam awan
atau meredupnya pelangi senja hari
Aktifkan pemuatan ulang komentar otomatis