UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK AT THE END OF MAY

Property:Description id

From BASAbaliWiki
Showing 100 pages using this property.
"
A
Salah satu sudut Antugan Farm yang memiliki +/- 150 jenis tanaman termasuk tanaman upakara  +
Lagu terbaru dari Widi Widiana rilis pada April 2022.  +
Arja merupakan seni teater yang sangat kompleks karena merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian yang hidup di Bali, seperti seni tari, seni drama, seni vokal, seni instrumentalia, puisi, seni peran, seni pantomime dan seni busana, Sesungguhnya Arja ini perpaduan antara dua pendukung teater, yaitu gagasan yang datang dari para pemain dengan penonton. Sehingga Arja adalah bentuk total teater yang komunikatif. Arja diduga berkembang sejak sekitar tahun 1814, yaitu pada pemerintahan I Dewa Gde Sakti di Puri Klungkung, saat diadakannya upacara Pelebon yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Karangasem. Upacara Pelebon besar-besaran ini dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk raja-raja seluruh Bali. Pada saat itu atas prakarsa I Dewa Agung Mangis asal Gianyar dan Dewa Agung Jambe digelarkan untuk pertama kalinya Arja. Tiga fase perkembangan Arja adalah: • Arja Doyong yaitu Arja tanpa iringan gamelan dan dimainkan secara solo atau oleh satu orang. • Arja Gaguntangan yaitu dengan memakai gamelan Gaguntangan dan jumlah pelaku lebih dari satu orang. • Arja Gede yang merupakan arja dengan struktur baku pertunjukan sekarang ini, dibawakan oleh banyak pelakon antara 10 orang sampai 15 orang. Menjelang berakhirnya abad 20 lahirlah Arja Muani, dimana semua pemainnya pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat, terutama karena menghadirkan komedi segar. Arja saat itu dikenal dengan nama Dadap dan lakon yang dipertunjukkan adalah Limbur. Dadap adalah nama sejenis pohon dan juga berarti perisai. Pohon Dadap adalah kayu sakti, sebagai lambang pembersihan atau alat penyucian yang harus ada dalam setiap upacara di Bali. Ceritera-ceritera Arja sangat beragam, dari Ceritera Panji, Ceritera Rakyat, Ceritera Mahabarata, Ramayana dan sebagainya berkembang sampai ceritera-ceritera keseharian, Pada tahun 1920-an sampai 1960-an, kesenian ini menemukan kejayaannya, dimana setiap pementasannya selalu dipadati penonton. Durasi Arja sangat panjang, yaitu sekitar 5-6 jam.Saat ini Arja telah kehilangan popularitasnya oleh drama gong ,ini karena drama gong tidak terlalu lama durasinya serta tidak banyak musik dan tarian sehingga lebih mudah dipahami oleh kalangan masyarakat. Nama Arja diduga berasal dari kata Reja (bahasa Sanskerta) yang berarti "keindahan". Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut "Gaguntangan" yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari. Berbeda dari kesenian tradisional Bali lainnya, ciri khas arja dalam setiap pementasannya terlihat kesenian arja ini disamping memiliki petuah ajaran kebaikan, lelucon, dagelan, tarian dan seni drama yang tidak kalah dengan kesenian bali lainnya, arja juga selalu menonjolkan nyanyian seperti kekawin atau kidung - kidung tradisional Bali dan juga busana yang digunakan pun pakaian adat Bali lengkap. Sedangkan musik atau gamelan sebagai pengiring dalam kesenian ini disebutkan dalam babad bali, arja pada mulanya Arja hanya menggunakan gamelan Geguntangan, namun kira-kira sejak beberapa tahun dalam perkembangan selanjutnya Arja diiringi dengan gamelan gong kebyar. Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal secara luas oleh masyarakat. Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana, Sampik Ingtai, Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing - masing terdiri dari Punta dan Kartala. Hampir semua daerah di Bali masih memiliki grup-grup Arja yang masih aktif. Kesenian Arja masih tetap dilestarikan di Bali. Disamping kesenian arja ini bersifat sakral dalam upacara yadnya sebagai warisan budaya Bali, sampai saat ini juga pementasannya sering terlihat dalam acara - acara hiburan dalam perayaan hari raya, acara - acara adat besar dan juga pesta kesenian Bali yang diadakan baik di Gedung Ksirarnawa maupun di Arda Chandra Art Center Denpasar Bali setiap tahun sekali.  
Arja adalah semacam opera khas Bali, merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Dramatari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat. Nama Arja diduga berasal dari kata Reja (bahasa Sanskerta) yang berarti "keindahan". Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut "Gaguntangan" yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari. Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820-an, pada masa pemerintahan Raja Klungkung, I Dewa Agung Sakti. Menjelang berakhirnya abad 20 lahirlah Arja Muani, dimana semua pemainnya pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat, terutama karena menghadirkan komedi segar.  +
B
⏤  +
Baleganjur Benen Mua adalah “re-fusion” (Wallach, 2018) dari “Fix Your Face” oleh DIllinger Escape Plan, untuk Gamelan Baleganjur. Disusun dan dikonsep ulang oleh Putu Tangkas Adi Hiranmayena untuk Denver, Gamelan Tunas Mekar Colorado, karya ini menggunakan idiom dari kepekaan baleganjur tradisional dan kontemporer. Ini ditayangkan perdana pada konferensi “Sounding Out the State of Indonesian Music” 2018 di Cornell University di Ithaca, NY. Niat Hiranmayena dalam menciptakan karya ini adalah untuk mengkritik keadaan musik gamelan global dan mempertanyakan atribusi nilai identitas masyarakat Bali.  +
Pemilahan sampah  +
pembagian beras kepada masyarakat yang menabung sampah  +
Penimbangan sampah oleh pengurus dan warga  +
Proses pemilahan sampah  +
Pengurus Bank Sampah Sapuh Wasita  +
Baris Bebedag adalah tari wali atau tari sakral yang dipentaskan pada saat upacara Dewa Yadnya di Desa Kayubihi. Baris ini ditarikan oleh empat orang lelaki atau lebih dengan gerakan-gerakan dinamis maskulin, tetapi ada juga beberapa gerakan yang terlihat jenaka. Pada saat menari, ada bagian dimana penari mengeliligi upakara persembahan berupa nasi, lauk-pauk dan minuman alkohol (tabuh). Pada akhir tarian, penari melakukan persembahyangan dan kemudian menikmati persembahan yang dihaturkan sebagai bagian dari prosesi dan rangkaian tarian/upacara.  +
Baris Demang Demung, adalah tarian sakral sebagai simbol pasukan menggempur Belambangan. Tarian ini wajib dipentaskan dalam pujawali di Pura Pemayun, Kelurahan Banjar Tegal, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Tarian yang hanya bisa dipentaskan di Pura Pemayun ini mengisahkan prajurit Ki Barak Panji Sakti yang berperang menggempur Kerajaan Blambangan  +
Tari Baris Gede merupakan salah satu dari berbagai jenis tarian baris yang ada di Bali. Tarian ini biasa dipentaskan saat adanya upacara di pura dan menjadi salah satu bagian pelengkap dari upacara. Tari Baris Gede masuk dalam kategori tari sakral yang dipentaskan di pura-pura. Tarian ini juga hampir tersebar di seluruh daerah di Bali. Tari Baris Gede diperkirakan telah ada sejak abad ke-8, namun sayang hingga kini tidak diketahui siapa penciptanya. Peneliti Tari dari Institut Seni Indonesia (ISI), Denpasar Prof. Wayan Dibia, menuturkan Tari Baris Gede merupakan jenis kelompok baris massal yang dapat dipentaskan dalam berbagai versi. Dimana tarian sakral ini ditarikan secara berkelompok dalam jumlah tertentu sesuai arti di masing-masing daerah. “Ada yang satu kelompok delapan penari, bahkan ada sampai 40 penari, ada yang diikat dengan simbul-simbul tertentu, misalnya ditarikan oleh 9 orang karena menggambarkan arah mata angin, senjata-senjatanya itu adalah senjata nawa sanga,” papar Prof. Wayan Dibia. Menurut Dibia, senjata yang biasanya dipakai dalam Baris Gede juga beragam, dimana ada yang menggunakan tombak, cakra atau tamiang (tameng). Hal ini karena Baris Gede menggambarkan Widyadara (pengawal) yang mengiringi para dewa atau menyambut kedatangan para dewa. Namun di sisi lain Baris Gede ini juga diartikan sebagai tarian prajurit perang. Baris Gede, tarian yang melengkapi tari Rejang, adalah sebuah tarian yang dipentaskan oleh sekelompok pria dewasa dalam rangkaian odalan di lingkungan desa yang bersangkutan. Baris Gede biasanya dipentaskan di siang hari beberapa saat sebelum atau sesudah pementasan tari Rejang, walaupun kedua bentuk tarian ini tidak sesalu berhubungan. Seperti halnya penari Rejang yang secara khusus mengenakan hiasan kepala bunga semi melingkar, Baris Gede dikenal dari mahkota berbentuk segitiga yang di pakai para penarinya, yang terdiri dari susunan keeping-keping kerang laut yang menunjuk ke atas seperti pyramid; yang disematkan pada pir-pir yang menyebabkannya bergetar seiring gerakan sang penari. Para penari Baris Gede dianggap sebagai pengawal para Dewa yang intuk sementara waktu akan menempati pretima. Para penari membawa senjata pusaka yang sacral seperti tombak, panah, tameng, keris atau di beberapa desa bahkan senapan. Setiap penari membawa senjata dengan jenis yang sama, dan tari Baris yang dibawakan identic dengan jenis senjata yang dibawa. Menurut Babad Bali, tari baris merupakan tarian pasukan perang. Baris, berasal dari kata “bebaris”, yang dapat diartikan sebagai pasukan. Oleh karena hal tersebut, maka tari baris menggambarkan ketangkasan prajurit. Keberadaan tari baris gede ini, masih terpelihara dengan baik, karena tari baris gede tergolong kedalam jenis seni sakral. Tari baris gede, diketahui keberadaannya sejak abad ke-8, namun sayangnya tidak diketahui, siapa gerangan yang menciptakan tarian ini. Baris Gede merupakan jenis tarian masal, yang dapat dipentaskan sesuai versi masing-masing daerah. Secara umum, tari baris gede difungsikan sebagai tari wali, untuk melengkapi sebuah upacara yadnya.. Selain menggambarkan ketangkasan prajurit, baris gede ini juga merupakan tari penyambutan, yang melukiskan para pengawal, sebagai pengiring para Dewa, atau dengan kata lain, untuk menyambut kehadiran para dewata.  
Baris Jangkang adalah sejenis tari baris upacara yang terdapat di Dusun Pelilit, Pulau Nusa Penida Bali. Tari ini dipertunjukkan untuk mengiringi upacara keagamaan termasuk untuk membayar kaul (sesangi). Baris ini ditarikan oleh 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) orang pria yang memakai senjata tombak panjang. Pakaiannya sangat sederhana terdiri dari celana putih, kain putih dan saput kuning. Baris ini menari dengan setengah jongkok (jangkang) dengan diiringi gamelan. Baris jangkang merupakan tarian baris upacara yang usianya cukup tua, hal ini dapat dilihat dari segi gerakan tarinya maupun dari segi pakaian yang masih mencerminkan bentuk-bentuk kesederhanaan sebagaimana tari perang pada suku bangsa dimana tingkat kebudayaannya masih sederhana. Baris Jangkang dari Nusa Penida menari dengan bersenjatakan tombak, sedang pakaiannya tidak seperti pakaian baris pada umumnya melainkan lebih sederhana. Gamelan yang mengiringinya adalah gending batelan.  +
Tari baris jojor merupakan tarian yang ditarikan orang seorang penari atau tunggal yang penarinya adalah seorang laki – laki. Tari baris ini merupakan tai kepahlawanan yang mempertunjukan jiwa keprajuritan dan gerakan – gerakan tarian ini menunjukan kewibawaan seorang prajurit dalam setiap langkahnya yang tegap dan beribawa. Adapaun makna dari tarian ini adalah melambangkan atau mencerminkan seorang prajurit yang gagah berani di dalam medan perang pertempuran.  +
Tari Baris Pendet adalah tari wali/sakral yang ditarikan pada saat upacara Dewa Yadnya. Bari Pendet ditarikan dengan gerakan-gerakan yang mirip dengan tari baris gede, namun membawa canang rebong dan sarana upakara lainnya pada saat menari.  +
Tari Baris Presi adalah tari wali/sakral yang dipentaskan pada saat upacara Dewa Yadnya. Tari wali ini menjadi ciri khas dari Desa Sulahan, Susut, Bangli, meski tidak dipungkiri Baris Presi juga ada di desa-desa lain di Bali, namun dengan karakter dan gerakan yang berbeda-neda. Tarian ini ditarikan oleh penari laki-laki dengan gerakan-gerakan dinamis dan maskulin khas tari baris, penari juga membawa presi/perisai sebagai atribut tarian.  +
Barong Brutuk merupakan unen – unen Bhatara Ratu Pancaring Jagat di desa Trunyan yang banyaknya adalah 21 orang. Wajah barong – barong itu menyerupai wajah-wajah topeng primitif yang matanya besar dengan warna putih atau coklat dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu. Barong Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota sekaa truna yang ada di desa Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari tali pohon pisang. Pagelaran Barong Brutuk dipentaskan pada siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk menggunakan busana daun pisang kering dan hiasan kepala dari janur.; Seorang berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu, seorang berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan. Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton peserta upacara. . Penonton peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk untuk mengambil daun-daun pisang yang lepas yang akan mereka digunakan sebagai sarana kesuburan. Para penonton yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen. Tahapan terakhir pertunjukan ritual dimulai pada petang hari, dipimpin pemangku, para wanita membawa sesajen baru dipersembahkan pada Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan, sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton hanya menyaksikannya. Sepasang Raja dan Ratu menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina). Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya. Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Pada saat sandya kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja, sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di belakang Ratu. Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap berbaris digarisnya. Hanya Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang tetap aktif, mereka terus menerus melecutkan cemeti kearah penonton. Tarian Raja dan Ratu ini diakhiri dengan gerakan sang Ratu terbang dan melintas garis yang ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian bersorak ketika sang Raja terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja langsung menangkapnya dan merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang menjadi Brutuk, bersorak secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan menceburkan diri. Di situ mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya, berenang dan bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka dibiarkan terapung, sedangkan topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku yang lebih tua yang turun ke tepi danau untuk memberi bantuan. Setelah itu penari dan penonton berpisah untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.  
Demen Meplalianan Setata Liang Pakedek Pakenyung Yening Murka, buinkejep ngidang ngesap.lebian kedek ne .lebian liang ne. Jujur ken dewek tur solahne ngaenang tantrem hati. Ia I Rare. Kual ye ia, jemet ye ia, lugu je ia. Demen pesan mecanda. Gendang gending setata liang neduhin hati. Mihhhhh.. solahne Sajeee "BAYUN RARE" Kali Jani I rare nu masi meplalianan Sing nawang peteng lemah, Jani nawang rasane Nyeh hati kalahine ajak I Ratih Nanging ade tresna ane nguatin tur neduhin hati.  +
⏤  +
menasehati teman untuk membuang sampah pada tempatnya  +
Buru adalah karya tari kontemporer dari seniman Dewa Ayu Eka Putri dan I Putu Tangkas Adi Hiranmayena, keduanya membuat sebuah team duo experimental yang dikenal dengan nama ghOstMiSt. Buru adalah salah satu karya mereka di tahun 2021, karya ini terinspirasi dari novel seorang penulis legendaris Indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru. Meski dalam karya tari ini lebih menyorot mengenai perasaan terisolasi, terasing, kemampuan untuk melawan dan bertahan dari perburuan perasaan cemas, takut dan kematian, ketika para tahanan politik dibuang di Pulau Buru.  +
C
COMA (Composting Around) merupakan sebuah aksi pengomposan yang dilakukan oleh anak-anak muda dari lingkungan sekolah yang selanjutnya bergerak ke masyarakat dengan latar belakang sampah organik yang merusak lingkungan jika tidak diolah dengan baik. Aksi COMA diawali dengan pelaksanaan sosialisasi berupa edukasi berupa pengetahuan dan praktek tentang pengomposan secara berkala kepada anak-anak muda di sekolah seperti SMA. Setelah diberikan edukasi, siswa melaksanakan praktek pengomposan langsung di lingkungan sekolah, dan kemampuan pengomposan ini selanjutnya diterapkan di rumah masing-masing yang secara tidak langsung diterapkan pada skala masyarakat, di mana masyarakat merupakan sumber terbesar sampah organik.  +
Tabuh Caru Wara gubahan dari komposer I Dewa Ketut Alit yang berasal dari Banjar Pengosekan, Desa Mas, Ubud. Dewa Alit lahir dari keluarga seniman di Bali. Sebagai komposer, ia dikenal memiliki pendekatan "avant garde" namun tetap mempertimbangkan nilai-nilai tradisi. Dewa Alit kerap diundang untuk mengajar dan membuat komposisi gamelan Bali di luar negeri, diantaranya: Boston, Massachusetts, New York, Munich, Frankfurt, dan lain-lain. Pada tahun 2007, Dewa Alit mendirikan Gamelan Salukat dan telah melakukan tur ke Amerika pada tahun 2009 dan 2010. Tabuh Caru Wara diciptakan pada tahun 2005 yang memiliki makna mengharmonikan dinamika yang kompleks dari nilai-nilai, gesekan, benturan, konflik, arah yang berlawanan, konsep saling mengisi dan kerumitan yang terkandung dalam perputaran hari-hari berdasarkan kalendar Bali.  +
⏤  +
Tari Cendrawasih terinspirasi dari burung khas Tanah Papua, dan di Bali sendiri burung ini dipercaya sebagai burung Dewata atau burung para dewa. Tarian ini menggambarkan percintaan burung Cendrawasih pada masa “mengawan” (musim kawin). Tari Cendrawasih disajikan oleh dua penari perempuan untuk memerankan burung jantan dan burung betina. Untuk mengilustrasikan ritual perkawinan khas Cendrawasih yang mana pejantan membutuhkan persiapan dan latihan, penari burung jantan akan menari terlebih dahulu, kemudian disusul penari burung betina dan keduanya pun menari bersama. Masa-masa mengawan burung Cendrawasih di pegunungan Irian Jaya digambarkan penuh keceriaan. Tarian ini menunjukan bagaimana kegirangan burung-burung tersebut, bermain dan saling mengejar. Secara ekspresif, sang jantan memamerkan bulu-bulu indahnya yang kaya warna pada sang betina yang memang bulu-bulunya tak seindah burung jantan. Cikal bakal tarian ini diciptakan oleh seniman besar I Gede Manik pada tahun 1920-an yang berasal dari Buleleng, Singaraja. Kemudian tarian ini diinterpretasikan kembali oleh N. L. N. Swasthi Wijaya Bandem pada tahun 1988, versi ini lebih dikenal dan lebih umum dipentaskan.  +
Tiba-tiba angin berhembus kencang di kamar 21. Buku yang sedang dibaca Luh Ayu Manik dengan teman-temannya tiba-tiba bergetar dan terbang. Dari buku yang kotor, rusak, dan robek itu keluar raksasa-raksasa yang wajahnya seram. Semua hendak lari, tetapi hanya bisa diam tanpa bisa bergerak seperti patung. I Wayan dan I Made ingin berteriak keluar. Namun, bibir mereka terkatup tidak mampu bicara.  +
Saat berjalan pulang setelah menonton ogoh-ogoh, Luh Ayu Manik dan Putu Nita terkejut melihat para muda-mudi lari tunggang langgang, dan berteriak ketakutan sembari meminta pertolongan. "Tolong-tolong..." Demikian Wayan berteriak-teriak. Ada ogoh-ogoh bisa berjalan. Badannya tinggi besar dan terbuat dari segala macam plastik dan gabus. Seketika Luh Ayu Manik ingat dengan perbuatan I Wayan dan I Made yang membuang sampah sisa saat membuat ogoh-ogoh ke sungai tadi pagi.  +
Hutan telah gundul. Pohon-pohon kayu habis dibabat. Luh Ayu Manik dan teman-temannya sedih melihat hutan yang rusak. Di tengah hutan ada pos polisi, tapi tetap ada penjahat yang mencuri kayu. Luh Ayu Manik dan teman-temannya bersepakat untuk menangkap pencuri tersebut. Celakanya, akal-akalan mereka ketahuan. Para pencuri mengejar mereka sembari mengacungkan gergaji mesin. Bagaimana jadinya Luh Ayu Manik dan teman-temannya?  +
D
⏤  +
Sendratari Dewi Kunti - Suluh Ibu Sejati disarikan dari cerita epik pewayangan Maha Barata di mana peran Dewi Kunti diangkat sebagai suluh dan tauladan dari seorang ibu tunggal yang berhasil membesarkan, mendidik dan membimbing ke 5 Putra Pandawa menjadi ksatria yang berbudi luhur, rendah hati, mengabdi kepada rakyat dan berbakthi kepada orang tua, ibunda terkasih Dewi Kunti. Sendratari Dewi Kunti - Suluh Ibu Sejati diciptakan dan diproduksi oleh Deniek G. Sukarya sebagai penggagas ide, sutradara, penulis naskah dan jalan ceritra. Sendratari ini juga untuk pertama kali memanfaat kayonan sebagai simbol perjalanan dan pergantian waktu untuk pertunjukan di panggung dengan ditarikan dinamis oleh 5 penari. Untuk pertama kali juga, Palawakia yang menjelaskan tentang kisah cerita ini dibawakan dalam dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali kuno yang biasa dipakai dalam pewayangan hingga bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Sendratari ini telah dipentaskan di 3 acara spesial: Dharma Shanti Propinsi Banten 2012 di Serang, rangkaian acara HUT Taman Mini Indonesia Indah untuk mewakili Anjungan Bali, dan pementasan khusus dengan dinner masakan Bali di Garden the Sultan Hotel Jakarta.  +
Musik-musik Navicula dipengaruhi genre alternatif rock era 90 an, yang dipopulerkan oleh band Nirvana, Pearl Jam, Sound Garden dan Alice in Chains. Secara musikalitas Navicula menggabungkan musiknya dengan warna lain seperti psikedelia, progresif, balada, funk, dan musik etnik-tradisional (world music). Lagu Dinasti Matahari berkolaborasi dengan Kitapoleng yang mengangkat kembali tarian Sanghyang Jaran, Barong Brutuk, dan beberapa tarian dari budaya suku Nias, Badui, Minahasa dan Papua. Lagu ini adalah bentuk ucap syukur atas apa yang sudah tersedia di alam bagi kehidupan manusia di Indonesia yang diibaratkan sebagai anak-anak matahari. Lagu ini diluncurkan sebagai perayaan ulang tahun Navicula yang ke 25 tahun dengan formasi band diperkuat oleh Gede Robi (vokal), Dadang Pranoto (gitar), Palel Atmoko (drum), Krisnandha Adipurba (bass) dan dilengkapi lantunan vokal Ida Bagus Subawa. Lagu ini juga melibatkan kolaborasi para produser direktur seperti Sandrina Malakiano, Dibal Ranuh, Jasmine Okubo dan Gede Robi. "Dinasti Matahari" ini bukan hanya membawa nama Navicula, tapi juga membawa nama Indonesia dengan ragam kekayaan alam dan suku budaya yang tentunya harus dijaga kelestariannya untuk generasi pewaris.  +
⏤  +
F
G
Gambuh adalah teater dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali. Diperkirakan Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Gambuh dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya. Gambuh Panji mengisahkan percintaan Prabu Lasem dengan Diah Rangke Sari yang merupakan seorang putri Kerajaan Daha.  +
Gong kebyar adalah salah satu barungan gamelan Bali berlaras pelog lima nada yang melahirkan ungkapan musikal benuansa kebyar. Gong kebyar menyajikan “tabuh-tabuh kekebyaran” dengan bentuk komposisi yang memainkan seluruh alat gamelan secara serentak dalam aksentuasi yang poliritmik, dinamis dan harmonis. Secara musikal gamelan Gong Kebyar menurut Sugiartha (2008 : 51), adalah sebuah orkestra tradisional Bali yang memiliki perangai keras (coarse sounding ensamble). Konstruksi harmonis yang melahirkan kesatuan perangkat gamelan Gong Kebyar didominasi oleh alat-alat perkusi, ditambah dengan beberapa alat tiup dan gesek. Sebagai gamelan yang berfungsi menyajikan gending-gending pategak (instrumental), mengiringi berbagai jenis tarian maupun dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, Gong Kebyar telah dikenal dan menjadi populer dengan begitu cepat dan mampu menggugah semangat para pencinta gamelan Bali yang menyebar hampir di berbagai belahan dunia. Gong Kebyar yang diduga muncul pada tahun 1915, memang sudah umum dikenal oleh masyarakat Bali bahkan kini telah dimiliki hampir oleh setiap banjar dan desa di Bali, yang memfungsikan barungan gamelan ini untuk berbagai kepentingan, dari pentas seni yang bersifat presentasi estetik murni, hingga untuk mengiringi upacara ritual keagamaan. I Wayan Rai (2008:7-8) menyebutkan di Bali telah tercatat tidak kurang dari 1.600 barung gamelan Gong Kebyar tentu jumlah ini kian bertambah. Gamelan ini ada yang milik banjar, desa, lembaga formal, maupun perseorangan. Jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan banyaknya barungan gamelan Gong Kebyar yang tersebar diberbagai kota di Indonesia dan manca negara. Di luar negeri, Gong Kebyar mula-mula dikenal lewat literatur dan rekaman. Salah satu rekaman itu adalah yang dihasilkan oleh Odeon dan Beka yang telah merekam gending-gending Gong Kebyar, seperti Kebyar Ding Sempati di Belaluan (Badung). Pada tahun 1931 Sekaa Gong Kebyar Peliatan mengadakan pertunjukan dalam rangkan Colonial Exposition di Paris. Lawatan sekaa ini dilanjutkan lagi tahun 1952 – 1953 ke Amerika Serikat. Kedua tour ini sudah tentu semakin menguatkan eksistensi gamelan Gong Kebyar di mata dunia. Sampai dewasa ini Gong Kebyar selalu menjadi salah satu media dari diplomasi kebudayaan Indonesia. Adanya group kesenian dan gamelan Gong Kebyar yang dikirim dan ditempatkan di kedutaan negara sahabat mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara-negara di dunia. Gamelan Gong Kebyar dapat berkembang dengan cepat serta mendapat apresiasi yang positif sampai dewasa ini, karena Gong Kebyar merupakan sebuah barungan yang praktis dan memiliki fleksibelitas yang tinggi. Penyajian Gong Kebyar memberikan ruang yang tidak terbatas bagi para pemainnya (seperti sekaa gong : anak-anak, wanita, remaja, remaja campuran, dewasa termasuk para werdha) untuk berkreasi, yang dapat memberikan sentuhan atraktif dengan penampilan yang lebih hidup dan dinamis. Kelengkapan instrumen dalam satu barungan untuk gamelan Gong Kebyar tidak semuanya sama. Gong Kebyar dengan instrument yang paling lengkap disebut dengan Gong Kebyar Barungan Jangkep (Barungan Ageng) yang terdiri dari 21 jenis alat, masing-masing memiliki nama tersendiri dan fungsi tertentu terhadap barungannya, yaitu: 1. satu tungguh trompong, memakai 10 pencon 2. satu tungguh reyong, memakai 12 pencon 3. sepasang giying, memakai 10 bilah 4. dua pasang pemade, memakai 10 bilah 5. dua pasang kantil, memakai 10 bilah 6. sepasang kenyur, memakai 7 bilah 7. sepasang calung, memakai 5 bilah 8. sepasang jegogan, memakai 5 bilah 9. satu pasang kendang cedugan 10. satu pasang kendang gupekan 11. satu pasang kendang krumpungan 12. sebuah kajar 13. sebuah kempur 14. sebuah bende 15. sebuah kemong 16. sebuah kempli 17. satu pasang gong lanang-wadon 18. satu pangkon cengceng gecek 19. delapan cakep cengceng kopyak 20. dua buah suling kecil dan delapan buah suling besar 21. sebuah rebab Secara musikal gamelan Gong Kebyar menggunakan sistem pelog lima nada, sama dengan sistem pelog lima nada pada jenis gamelan Bali yang lain, seperti gamelan Gong Gede, Gong Kebyar dan Palegongan, dengan urutan nada-nada seperti : nding, ndong, ndeng, ndung, dan ndang. Selain itu di dalam sistem pelarasan gamelan Bali ada istilah ngumbang-ngisep. Ngumbang-ngisep adalah dua buah nada yang sama, secara sengaja dibuat dengan selisih frekuensi yang sedikit berbeda. Kalau kedua nada pangumbang dan pangisep dimainkan secara bersamaan maka akan timbul ombak suara yang secara estetika dalam karawitan Bali merupakan salah satu wujud keindahan. Di dalam Gong Kebyar juga dikenal konsep keseimbangan yaitu sikap hidup yang berorientasi pada “dualisme” baik dan buruk atau yang mencakup persamaan dan perbedaan. Konsep ini dapat dilihat dalam tema-tema kesenian Bali yang sebagian besar berangkat dari dualisme tersebut, sehingga muncul norma dan etika yang kuat dan menjadi bagian dari pertunjukan kesenian. Konsep keseimbangan yang berdimensi dua dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan Rwa Bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula semangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan dan kompetisi mewujudkan interaksi dan persaingan. Keseimbangan dalam dimensi dua menjadi salah satu konsep dasar dalam musik Bali termasuk gamelan Gong Kebyar. Hal ini tercermin dalam instrumen-instrumen Gong Kebyar umumnya dibuat dalam bentuk berpasangan ; lanang – wadon atau laki perempuan, istilah ini dipakai dalam penamaan kendang dan gong. Sistem laras ngumbang – ngisep ; nada yang sama namun dengan frekuensi yang berbeda. Unsur jalinan nada-nada atau suara dengan istilah yang bervariasi, seperti : kotekan, cecandetan, tetorekan dan ubit-ubitan. Teknik bermain kotekan ; menggunakan pukulan sangsih (yang jatuh diantara ketukan) dan pukulan polos (yang jatuh pada ketukan). Semuanya ini mengingatkan adanya unsur-unsur dalam keseimbangan yang tidak selamanya sejajar, tetapi dalam interaksi yang bersifat kompetitif. Secara umum dapat diamati, bahwa struktur gending-gending Gong Kebyar terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu : kawitan, pangawak dan pangecet. Kawitan diibaratkan sebagai kepala, pangawak diibaratkan sebagai badan, dan pangecet diibaratkan sebagai kaki. Bagian-bagian ini diporsikan secara seimbang, dimana unsur rwa bhineda selalu tertanam didalamnya guna mewujudkan keharmonisan pada masing- masing bagian atau keharmonisan antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Secara konseptual, kedua elemen ini menjadi dualisme yang selalu tercermin dalam aktivitas seni di Bali.  
Garapan ini diciptakan pada tahun 2020 dalam rangka festival Ubud Performing Arts oleh dua seniman muda Dewa Ayu Eka Putri dan Ni Nyoman Srayamurtikanti. Garba nenjadi awal terciptanya kehidupan. Sebuah ruang dimana semesta mikro terbentuk. Rahim perempuan tak lain adalah Brahman itu sendiri, Sang Pencipta semesta. Garapan ini dipersembahkan pada seluruh rahim di semesta. Serta pada semua perempuan hebat di dunia.  +
The Garuda Wisnu Kencana tells about the struggle of Lord Vishnu (Dewa Wisnu) who is assisted by the Garuda bird as his mount to seize Tirta Amerta (water of life) against the power of giants. Through a very deadly war, Tirta Amerta can be seized by The Lord Vishnu. The Tirta Amerta then is used to maintaining life.  +
Gen merupakan pewarisan oleh satu individu kepada keturunannya melalui suatu proses penciptaan. Samahalnya dengan aksara menciptakan kata dan kata menjadi cikal bakal untuk menciptakan sebuah karya. Dari sinilah kelompok Bumi Bajra mengambil satu sisi pewarisan aksara, yaitu tradisi leluhur tentang mendongeng, menulis lontar dan tradisi lainnya yang dikemas menjadi teatrikal seni tari, musik dan vokal (kidung).  +
Sekar Gadung merupakan salah satu gending yang begitu familiar dan populer di antara gending-gending lainnya dalam repertoar Selonding Tenganan. Sekar Gadung merupakan gending yang menjadi basic dalam mempelajari Selonding Tenganan. Gending ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Bagian pertama orkestrasi dengan tempo lambat dengan irama 1/8 dan bagian ke dua dengan tempo sedang dengan irama 1/16 atau ngucek. Gamelan Selonding adalah alat musik tradisional Bali yang usianya lebih tua dibandingkan dengan gamelan-gamelan lainnya yang kini populer dalam kesenian maupun yang digunakan dalam upacara adat dan agama. Gamelan ini merupakan gamelan sakral yang digunakan untuk melengkapi upacara keagamaan (Hindu) di Bali. Persebaran Gamelan Selonding di Kabupaten Karangasem dapat ditemui di beberapa desa tua seperti Bugbug, Prasi, Seraya, Tenganan Pegringsingan, Timbrah, Asak, Bungaya, Ngis, Bebandem, Besakih, Selat. Dalam konteksnya dengan Desa Adat tersebut Gamelan Selonding ini digunakan untuk mengiringi prosesi upacara besar seperti Usaba Dangsil, Usaba Sumbu, Usaba Sri, Usaba Manggung dan lain sebagainya. Kata Selonding diduga berasal dari kata “Salon” dan “Ning” yang berarti tempat suci. Karena dilihat dari fungsinya adalah sebuah gamelan yang dikeramatkan atau disucikan. Mengenai sejarah munculnya gamelan Selonding belum bisa dipastikan namun ada sebuah mitologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dahulu orang-orang Tenganan Pegringsingan mendengar suara gemuruh dari angkasa dan datang suara secara bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun di Bungaya (sebelah Timur laut Tenganan) dan gelombang kedua turun di Tenganan Pegringsingan. Gamelan Selonding terbuat dari bilah-bilah besi yang diletakkan dengan pengunci secukupnya diatas badan gamelan tanpa bilah resonan (bambu resonan). Suara yang ditimbulkan dari alat musik ini pun sangat khas dan klasik yakni gamelan berlaras pelog sapta nada (tujuh nada). Selonding biasanya disuarakan untuk mengiringi pelaksanaan upacara-upacara sakral dengan jenis gending yang berbeda, seperti Gending Geguron pada upacara sakral yakni : Ranggatating, Kulkul Badung, Kebogerit, Blegude, Ranggawuni.  
Genggong adalah salah satu instrumen yang unik dan langka dalam karawitan Bali. Instrumen ini dikatakan unik karena terbuat dari pelapah enau (bhs. Bali pugpug). Di Bali penyebaran Genggong tidak sebanyak gamelan gong kebyar atau jenis gamelan lainnya, jumlah barungan Genggong di Bali yang saat ini diketahui adalah satu barung di Kabupaten Buleleng, tujuh barung di Kabupaten Gianyar, serta satu barung di Kabupaten Karangasem. Dalam dunia musik, jenis instrumen ini dikenal dengan nama Jew’ s Harp. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Russia, India, Italia, serta Inggris, memiliki jenis instrumen yang mirip. Ada yang terbuat dari kayu, logam, bambu, dan perak. Selain di luar negeri, instrumen yang menyerupai Genggong juga terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Setidaknya tercatat lima daerah yang mempunyai alat menyerupai Genggong. Di daerah Yogyakarta disebut dengan Rinding, di Sulawesi Tengah disebut Embit, di Madura dan Bali disebut Genggong, sedangkan di Papua (khususnya di Suku Dani) disebut dengan Pikon.Genggong yang hidup di masing-masing daerah tersebut dimainkan secara solo maupun berkelompok. Ritme serta melodi yang disajikan disesuaikan dengan cara pandang musik di daerah budaya setempat. Di Bali Genggong memiliki laras selendro. Meskipun nada-nada yang dihasilkan tidak sejernih dan sejelas nada yang dihasilkan seperti pada instrumen suling, namun rasa yang diciptakan masih bernuansa selendro. Genggong termasuk alat musik idiofon yang menggunakan tenggorokan manusia sebagai resonatornya. Pengaturan nada dilakukan dengan cara mengatur ruang dalam tenggorokan. Salah satu desa di Gianyar yang memiliki group Genggong yang masih aktif adalah Desa Batuan. Saat ini Genggong telah mengalami perubahann dari instrumen tunggal (dimainkan untuk sendiri) menjadi musik kelompok (barungan). Perkembangan Genggong dari musik individu menjadi sebuah barungan gamelan tidak bisa dilepaskan dari perubahan konteks musiknya. Jika dahulu hanya digunakan sebagai alat untuk menghibur diri sendiri, kemudian berkembang menjadi ensamble untuk mengiringi sebuah bentuk pertunjukan. Sebagai sebuah seni pertunjukan, terdapat beberapa sajian dalam pementasan Genggong. Struktur pertunjukan Genggong terdiri dari tabuh pategak, tari Sisia Pengleb, tari Onang Ocing, dan dramatari Godogan. Dari struktur pertunjukan tersebut, dapat dilihat bahwa gending-gending Genggong dapat dibagi menjadi dua, yaitu gending instrumentalia dan gending iringan tari. Gending instrumentalia atau disebut juga dengan gending pategak adalah lagu-lagu yang biasanya dimainkan pada awal pertunjukan dan tidak terikat dengan tarian. Dalam pertunjukan Genggong di Batuan, terdapat beberapa jenis gending pategak, di antaranya Tabuh Telu, Angklung, Sekar Sandat, Sekar Sungsang, Sekar Gendot, Katak Ngongkek, dan Kecipir. Jenis-jenis gending yang dimainkan juga mendapat pengaruh dari barungan gamelan Angklung. Gending-gending yang terdapat pada gamelan angklung di transformasikan melalui media Genggong. Hal ini masuk akal sebab antara Angklung dengan Genggong memiliki kesamaan laras, yaitu berlaras slendro. Oleh karena itu, terdapat juga beberapa gending Genggong yang diambil dari gending Angklung. Bahkan pada awal pembentukan ensamble Genggong, kendang yang digunakan adalah kendang Angklung. Jenis kendang berubah seiring dengan semakin kompleksnya tarian. Gending-gending iringan tari dimainkan untuk mengiringi tari Sisia Pengleb, Onang Ocing, dan Dramatari Godogan. Cerita ini mengisahkan tentang Raja Jenggala yang jatuh cinta kepada putri Daha. Hingga saat ini, tidak diketahui sejarah pasti mengenai munculnya Genggong di Bali dan Batuan secara khusus. Menurut Pak Made Djimat (seorang maestro tari dari Batuan), berdasarkan cerita oral yang diturunkan kepadanya, disebut bahwa yang membuat Genggong adalah Tapak Mada (nama Mahapatih Gajah Mada ketika belum diangkat sebagai Mahapatih). Ketika Tapak Mada sedang berada di suatu hutan untuk membuat bendungan air, dibuatlah alat musik Genggong dan suling untuk mengisi waktu istirahatnya. Tapak Mada melihat sebuah pohon enau, kemudian dibentuk menjadi Genggong. Seiring dengan perjalanannya keliling Nusantara, Tapak Mada membawa kesenian ini ke Bali, begitu pula halnya dengan kesenian Gambuh. Namun, tidak diketahui secara pasti kapan Genggong muncul di Desa Batuan. Cerita ini didapatkan Djimat dari para sesepuhnya yang sering dipentaskan pada pertunjukan Topeng dan Prembon. Saat ini I Nyoman Suwida adalah salah satu seniman asal Batuan yang paling getol dalam melestarikan kesenian genggong. Nyoman Suwida biasa memainkan instrument getar ini bersama penabuh lain yang tergabung dalam Komunitas Genggong Kutus miliknya. Komunitas seni ini, memiliki jadwal pentas yang padat, baik di desa tempat tinggalnya atau di luar daerah bahkan luar negeri. Jika pentas, paling tidak ada 3 jenis gending Genggong selalu dimainkan oleh Komunitas yang memiliki 15 anggota itu. Ketiga jenis gending itu, yaitu macepetan, sangkep enggung dan magenggongan. Masing-masing dari gending ini memiliki kekhasan, sehingga selalu menarik ketika dipentaskan.  
Tari Genjek di Bali adalah tarian tradisional yang memadukan unsur seni vokal dan gerak dan masih berkembang lestari sampai saat ini di Kabupaten Karangasem, perkembangan hampir di seluruh wilayah kabupaten tersebut, yang cukup pesat di wilayah pesisir Timur diantaranya desa Jasri, Ujung, Seraya, Culik dan Tianyar. Tari tradisional Bali ini lebih menonjolkan paduan suara kemudian diiringi dengan musik vokal yang meniru suara alat gamelan dikenal dengan toreng dan cipak, kemudian dipadu dengan gerak para penarinya, namun dalam perkembangannya diiringi juga oleh sejumlah alat musik, sehingga nilai estetika juga lebih menonjol. Perpaduan oleh vokal dan gerak ini memang cukup menarik dan menghibur, para penarinya bisa menghibur dirinya sendiri termasuk juga orang lain yang menyaksikan. Genjek atau megenjekan berasal dari kata gonna yang berarti gegonjakan, candaan atau senda gurau. Sejarah atau awal mulai dari tarian Genjek di Bali ini, tentunya berbeda dengan tari tradisional lainnya yang diciptakan oleh maestro seni. Megenjekan ini berawal dari acara kumpul-kumpul setelah beraktifitas kemudian ditemani dengan tuak sejenis minuman beralkohol yang dihasilkan dari pohon lontar, kelapa ataupun enau. Yang mana kawasan Bali Timur ini merupakan penghasil minuman tuak terbesar di Bali dan memiliki mutu terbaik, termasuk dalam perkembangannya sekarang ini tuak juga diolah menjadi arak dengan konsentrasi alkohol yang cukup tinggi. Kumpul bersama sambil minum alkohol sejenis tuak ini dikenal warga sebagai tradisi “metuakan” tentunya kebiasaan seperti ini dilakukan oleh kaum laki-laki saja, semakin lama tentunya semakin hilang kesadaran alias mabuk, mereka mulai bernyanyi meluapkan kegembiraannya, diikuti oleh teman lainnya. Akhirnya kebiasaan metuakan ini hampir pasti dibarengi dengan megenjekan atau tarian genjek tersebut, metuakan tanpa genjek terasa kurang pas. Akhirnya munculah grup-grup genjek menciptakan gending (nyanyian) dan akhirnya digunakan saat acara metuakan. Beberapa group genjek juga menciptakan album genjek yang bisa didengarkan dan ditiru oleh setiap orang, sehingga nantinya bisa ditiru dalam setiap acara minum bersama dan tanpa dikomando akan diikuti oleh teman lainnya. Tari tradisional Genjek di Bali merupakan tari pergaulan, sangat universal, sangat menyesuaikan dengan suasana dan perkembangan terkini, tidak terpaku pada gerakan atau olah vokal yang baku, mereka bebas berkreasi, seorang pembawa lagu (gending) bahkan bebas secara spontan menciptakan lagu sendiri atau mengenalkan lagu baru. Tentunya menuntut kemahiran teman lainnya untuk mengikutinya dengan suara vokal yang sesuai termasuk kekompakan vokal pengiring. Dan sebuah kebanggaan jika mereka sanggup dan bisa kompak dalam mengiringi lagu yang dibawakan oleh pembawa lagu. Tema lagu yang dibawakan biasanya berisi nasehat, rayuan, kritik, motivasi, pujian bahkan sindiran yang sangat komunikatif. Dalam tari tradisional Genjek atau megenjekan iringan suara dan kekompakan vokal pengiring ini terasa lebih menonjol, terdengar saling bersahutan dengan ritme yang sesuai, kadang tinggi dan rendah, olah vokal pengiring ini sekilas seperti dalam tari Kecak ataupun Janger. Tetapi dalam tari Genjek, tidak hanya menirukan suara “cak” saja tetapi olah vokal pengiring dikombinasikan dengan suara vokal menirukan alat gamelan lainnya. Dari ritme yang diperdengarkan mengungkapkan kegembiraan dan memacu adrenalin setiap pesertanya untuk mendorong menari mengikuti irama dari suara genjek tersebut sehingga muncullah pertunjukan tari Genjek. Tarian Genjek di masyarakat ini dimainkan oleh orang-orang yang suka minum, ditujukan lebih untuk menghibur diri mereka sendiri ketimbang untuk orang lain. Acara minum atau lebih dikenal dengan metuakan walaupun yang mereka minum adalah bir atau sejenis alkohol lainnya dilakukan saat ada hajatan seperti acara pernikahan, acara 3 bulanan anak ataupun lainnya, lebih ke nuansa semarak dan pesta pora. Minuman alkohol sejenis tuak adalah minuman yang sangat terjangkau bagi masyarakat kecil, yang efek mabuknya lebih keras dibandingkan minuman sejenis bir, sehingga tuak atau nama hitsnya adalah “lau” tidak bisa terlepas dari kehidupan para peminum. Dalam perkembanganya tari tradisional Genjek di Bali ini berkembang cukup pesat, para penari genjek tidak harus mabuk terlebih dahulu dan tidak hanya oleh laki-laki saja, mereka juga memasukkan unsur wanita didalamnya sebagai pembawa lagu bersahut-sahutan dengan laki-laki, serta dipadu dengan iringan alat musik. Sangat menonjolkan estetika dan juga etika, sehingga sangat menarik untuk dinikmati oleh orang lain atau yang mendengarkan, tidak seperti saat mabuk yang rentan hilang kendali lebih mengutamakan kesenangan sendiri. Untuk melestarikan tari Genjek di Bali, kesenian tradisional ini juga kerap ditampilkan di Pesta Kesenian Bali di Art Center, salah satunya oleh Sekaa Genjek Kadung Iseng dari Desa Sraya Karangasem pada tahun 2018.  
Gong Raja Due adalah seperangkat orkestra kuno yang disimpan di Pura Puseh Bale Agung Desa Adat Sepang, Kecamatan Busung Biu, Kabupaten Buleleng, Bali. Asal-usul gambelan ini tidak diketahui, tetapi gambelan ini telah dipentaskan pada saat karya tahunan di Pura Puseh sejak dahulu kala. Gambelan kuno ini hanya boleh dibunyikan ketika odalan oleh hanya delapan belas orang pilihan yang disebut Sekaa Gemblung. Orkestra sakral Gong Raja Due ini terdiri atas sepasang kendang, sepasang gong, terompet kuno, dan sebuah alat dari besi yang diketuk untuk menentukan ketukan musik. Ada delapan belas jenis musik yang dimainkan dalam orkestra kuno ini. Delapan belas jenis musik itu sepintas terdengar sama, tetapi dapat dibedakan jelas dari suara terompet dan ketukan kendangnya. Orkestra ini dipercaya dapat menghubungkan alam manusia dengan alam tak kasat mata, yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai alam wong samar. Tak hanya itu, orkestra ini juga dipercaya sebagai perwujudan dari dewata yang berstana di Pura Puseh, sehingga sebelum gong ini dimainkan, sebuah upacara penyucian harus dilakukan baik terhadap alat-alat musiknya maupun terhadap kedelapan belas orang pilihan yang bertugas memainkannya.  +
H
Sampah yang kami kumpulkan selanjutnya akan dibawa ke pengepul untuk disalurkan ke perusahaan daur ulang.  +
Komposisi musik Himpit lahir dari imaji dan kegelisahan dari komposer muda Mang Sraya. Karya ini hadir sebagai respon dari situasi terhimpit/terdesak yang dirasakan Mang Sraya ketika pandemi covid melanda dunia. Karya yang tergolong dalam musik kontemporer ini dimainkan secara solo dan mengandung banyak unsur improvisasi dari komposer.  +
⏤  +
I
⏤  +
⏤  +
J
Tari Jauk Manis merupakan salah satu tari Bali yang masuk kategori tari balih-balihan. Tari balih-balihan adalah jenis tarian yang bersifat non-religius dan cenderung menghibur, sehingga tari ini sering ditarikan dalam acara penyambutan, festival, pertunjukan, dan acara lainnya. Selain sebagai tari balih-balihan, tari jauk manis juga termasuk tari tunggal yakni sebuah tarian yang ditarikan secara individu atau perorangan. Tari Jauk Manis diciptakan oleh seniman tari I Nyoman Kaler. Tarian ini menggambarkan seorang raja yang sedang berkelana, sehingga tarian ini memiliki gerakan yang beringas, berwibawa, lemah lembut dan fleksibel. Tari Jauk Manis memakai kostum seperti tari Baris, hanya saja penari Jauk Manis menggunakan topeng yang berwarna putih, gelungan (mahkota raja), dan sarung tangan dengan kuku yang panjang. Secara lengkap buasana yang digunakan dalam pementasan tari Jauk Manis yakni celana panjang berwarna putih, stewel, kamben putih, baju, srimping, keris, awiran, lamak, badong, gelungan, dan topeng berwarna putih. Tari Jauk Manis memiliki makna bahwa seorang raja atau pemimpin harus mampu melindungi rakyatnya, di mana seorang raja bisa belaku beringas (tegas) sehingga ditakui oleh musuh-musuhnya dan berlaku lemah lembut sehingga dihormati dan dikagumi oleh rakyatnya. Hal ini dapat lihat gerakan tari Jauk Manis itu sendiri, kadang-kadang beringas dan kadang-kadang lemah lembut. Biasanya seorang penari Jauk Manis, sudah memiliki teknik tari Bali yang mumpuni, karena dalam tarian ini terdapat banyak improvisasi gerak, selain itu penari juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup mengenai gamelan, sehingga ketika menari ada keseimbangan dan harmoni yang luar biasa antara penari jauk yang memakai tapel (topeng) dengan pemain gamelannya, terutama kendang.  +
⏤  +
⏤  +
K
⏤  +
⏤  +
Lagu kanggoang luh bertemakan menasehati dan memberi pengertian kepada istri untuk bergaya pola hidup sederhana di masa new normal pasca covid 19 ini! Dimana ekonomi masyarakat yang belum pulih! Sehingga kita benar-benar harus mengencangkan ikat pinggang dalam menjalani hidup dimasa sekarang ini! Lirik yang sederhana dan dikemas dengan musik gitar akustik semoga bisa memberi warna dalam belantika musik pop bali!  +
Apresiasi terhadap karya seni patung Bapak I Wayan Winten diangkat menjadi sebuah karya tari Palegongan Kreasi. Lekuk liuk bentuk tubuh patung membangkitkan rasa dan jiwa untuk menari.  +
⏤  +
Tarian Kebyar Duduk diciptakan oleh maestro tari I Ketut Mario pada tahun 1925, menjadi satu tarian repertoar Bali yang secara teknis paling menantang, gerakannya terinspirasi oleh alam dan menghubungkan penari dengan Bumi. Dijiwai dengan elemen kehalusan, ketepatan dan kekuatan yang luar biasa, tarian ini merupakan cerminan dari jalan kemanusiaan kita sendiri yang mencari keseimbangan antara maskulin / feminin; kekuatan / kelembutan; keberanian / kehati-hatian. Kemampuan penari solo untuk mencocokkan dan mengimbangi bahkan melebihi musik yang kuat dari gamelan lengkap adalah salah satu aspek yang paling menuntut dan mengesankan dari tarian ini.  +
Tari kebyar Goak Macok menggambarkan seekor burung goak atau gagak yang melayang-layang di udara dan terkadang menukik ke darat untuk memangsa binatang buruannya. Pada awalnya gending/musik dari tarian ini merupakan tabuh petegak untuk mengawali sebuah pementasan, namun gending ini kemudian direspon dengan gerak-gerak tari yang luwes tapi tajam oleh Ida Bagus Oka Wirjana Tarian ini ditarikan pertama kali oleh beliau pada upacara di Desa Blahbatuh pada tahun 1970an. Selanjutnya tarian ini ditarikan oleh murid-murid beliau, salah satunya oleh I Wayan Purwanto.  +
Lagu "Kembali ke Akar" berbicara tentang pentingnya manusia untuk memahami jati diri. Navicula mencoba mengajak pendengarnya untuk merenung dan kembali memaknai kearifan yang ditinggalkan oleh para leluhur. "...Kita lupa daratan, air, dan udara / di tanah yang dipijak dan langit di atasnya/ Kembali ke akar... Siapa diri kita, jangan sampai lupa / Apa yang kita punya, itulah yang kita jaga/ Kembali ke akar..."  +
Tari ‘Kenapa Legong’ Japatwan adalah karya koreografer perempuan Bali yang begitu luar biasa Ida Ayu Wayan Arya Satyani. Karya ini diciptakan sebagai wujud kekagumannya pada penciptaan tari legong, baik pada kerumitan tekniknya atau pada kelanggengan yang ditawarkan oleh tarian legong yang kekal. Karya tari Japatwan sekaligus menjadi jalan Dayu Ani untuk bertanya kembali pada proses penciptaan yang telah dilalui. Sekaligus jalan untuk merealisasikan impian tentang jelajah tubuh. Sejauh mana penjelajahan tubuh dapat dilakukan, bagaimana tubuh menghormati jiwa dan raganya, mengarungi keharuan atau menyikapi belenggu, mempertanyakan tradisi ataukah modern, tak menilai gender laki-laki ataukah perempuan, karena menari itu bukan tentang gender, tapi dia adalah jiwa. Jiwa yang tampil melalui tubuh, entah dia lelaki, perempuan, untuk membawakan karakter yang sebenarnya. Japatwan terinspirasi dari geguritan teks Japatwan yang mengisahkan petualangan Gagak Turas dan Japatwan saat menyusul Ratnaningrat ke Siwa Loka, Japatwan pun menjabarkan hakekat sastra dalam kehidupan manusia. Pengetahuan (jnana) yang patut dibadankan agar senantiasa bertemu karma baik. Awal kisah perjalanan itu adalah rasa kehilangan Japatwan yang ditinggalkan oleh Ratnaningrat, istrinya tercinta "sakeng ngredani". Ratnaningrat adalah anugrah dari Dewa Indra yang rupanya diutus untuk menguji kepandaian Japatwan dalam melaksanakan kemampuan dan pengetahuannya mengenai “keluar masuknya jiwa dalam tubuh, jalan menuju kamoksan (pembebasan)”. Dalam hitungan tujuh hari setelah masa sukacita pernikahan, Ratnaningrat kembali ke Indraloka, konon untuk ngayah ngelegong. Dalam lantunan gaguritan, dan nuansa musik kendang palegongan, semoga tarian sederhana ini mendapat setetes keindahan dari kemahaindahan kisahnya yang telah dituangkan oleh para sastrawan dalam naskah-naskah gaguritan.  +
Sosialisasi kepada STT di desa Siangan  +
Pelepasan benih ikan di sungai Desa Siangan  +
Clean Up di Desa Siangan  +
Bank sampah sekolah  +
Ingin memperlihatkan cara lain menikmati karya tari, karya ini diciptakan khusus dalam Seni Photography. Menampilkan koreografi pose yang bercerita tentang COVID19 dalam teologi Hindu. Koreografi pose yang dimaksud adalah ilustrasi foto atau penggambaran hasil visualisasi dari suatu tulisan dengan teknik pengambilan fotografi yang menekankan hubungan objek foto dan tulisan yang dimaksud. Dalam teologi Hindu, tidak ada kebencian Hyang Widhi. Tidak ada kutuk. Yang ada adalah siklus. Siklus musim, siklus berbunga sampai berbuah, siklus yang membuat kehidupan dan semesta bergerak. Hyang Widhi mengatur semua siklus dan tatanan kosmik lewat kecerdasan di balik gerak alam semesta ini, disebut dengan rta. Rta adalah "kesadaran maha tinggi" yang mengatur detak jantung semesta, tarikan nafas manusia, hewan, fotosintesa tumbuhan, sampai munculnya virus dan segala jenis kuman yang hadir sebagai bagian dari kelengkapan alam semesta raya. Karya ini pertama kali dicetuskan oleh seniman tari akademik bernama Ni Km. Ayu Anantha Putri S.SN.,M.Sn yang sengaja mencipta karya tari yang dinikmati melalui kolase foto bercerita. Seorang yang berhasil merealisasikan karya ini ke dalam bentuk karya photography adalah seorang photografer akademik bernama Adhitya Pratama S.Tr.Sn, hasil jepretan foto yang tajam dan sepintas mirip lukisan memang sengaja dibuat untuk memberikan kesan lebih artistik dan mengutamakan ketajaman warna. Karya ini tidak hanya berisikan kolase foto yang bergerak namun juga diiringi oleh musik pengiring yang diciptakan langsung dengan seorang musisi akademik bernama Komang Srayamurtikanti S.Sn. Semoga karya ini mendapatkan apresiasi positif dari para pencinta seni pertunjukan dan mampu memberikan tontonan baru yang menghibur dan menginspirasi. Karya ini ditampilkan oleh 18 orang perempuan dengan latar belakang penari profesional. Karya ini langsung dibuat 1 hari saat proses pengambilan gambar saja. Tidak ada biaya kostum yg dikeluarkan, hanya menggunakan kain batik khas Indonesia, selendang batik dan selendang berwarna hitam yang sudah dimiliki masing masing penari. Lokasi shoot yaitu di Puri Lukisan Ubud, Gianyar, Bali. Tidak ada proses latihan, mengingat Covid19 sangat membatasi kegiatan masyarakat. Karya ini sudah dicetus 1 bulan sebelum proses pengambilan gambar. Para penari yang sudah mendukung karya ini telah menjalani proses karantina mandiri sejak akhir Maret hingga Juni 2020, sehingga kesehatan para penari sangat diutamakan.  
L
dokumentasi pada tanggal 13 september 2021 di SMA Negeri Bali Mandara,pada pembuatan saat itu kami masih dalam proses pembuatan alas dari lampu menggunakan sampah plastic dan kardus .  +
Puji-pujian kepada Dewi Laksmi dari Kitab Suci Rigweda Samhita, semoga Beliau memberikan karunia kesejahteraan dan kemakmuran.  +
Tari Legong Bapang Saba diciptakan pada tahun 30-an oleh I Gusti Ngurah Djelantik di Puri Saba, Desa Saba, Blahbatuh, Gianyar. Tarian ini mengisahkan tentang Dewi Supraba, gerakan-gerakan tarian ini begitu dinamis, cepat dan mengikuti tempo gamelan pengiringnya. Tarian ini biasanya ditarikan oleh dua orang penari atau lebih dengan berpasangan.  +
Tarian ini didasarkan pada kisah dua bersaudara, Raja – Subali dan Sugriwa, yang berubah menjadi kera. Keduanya hidup dalam damai hingga keduanya menginginkan ilmu hitam yang dibawa oleh Dewi Anjani. Ayah Dewi Anjani melemparkan sihir ini ke sungai yang mengubah manusia menjadi kera. Subali dan Sugriwa tidak menyadarinya melompat ke sungai dan menjelma menjadi kera. Tidak saling mengenal, mereka berkelahi. Tidak ada saudara yang memenangkan pertarungan tetapi akhirnya mereka saling mengenali dan diliputi kesedihan.  +
Legong ini merupakan karya tari baru yang mengambil esensi dari kembang ura yang terdapat pada tari Topeng Sidhakarya. Kembang ura ini adalah simbol kedermawanan dan simbol medana-dana (bersedekah). Makna dari kembang ura adalah kasih sayang pada seluruh semesta agar kesejahteraan dapat terus terjalin dan terjaga dengan baik, hal ini sama dengan Ida Dalem Sidhakarya yang memiliki kasih sayang tak terbatas pada umatnya.  +
Nama Legong berasal dari bahasa Bali, Leg (gerak yang luwes) dan gong (gamelan) yang menyatu menjadi Legong yang berarti gerak-gerak luwes yang diiringi gamelan. Tari Legong Keraton muncul sekitar awal abad ke-19 M. Tarian ini muncul dari ide seorang Raja Sukawati bernama I Dewa Agung Made Karna. Awalnya tarian ini bersifat sakral. Tarian ini hanya dipentaskan di pura untuk mengiringi upacara-upacara agama Hindu. Pada tahun 1928, Raja mengijinkan tarian ini dipentaskan di luar istana agar dapat dinikmati oleh rakyat. Pada tahun 1931 tarian ini mulai ditampilkan secara luas untuk mendukung pariwisata. Banyak hotel di Bali yang mementaskan tarian ini untuk menghibur wisatawan. Salah satu puri atau istana yang memiliki dan memelihara tari Legong Keraton adalah Puri Agung Peliatan. Puri ini dulunya sering mementaskan tari Legong Keraton pada acara-acara tertentu, seperti upacara agama Hindu. Sebuah pentasan Legong Keraton selalu membawa cerita sejarah. Salah satu cerita yang paling populer adalah Lasem yang menceritakan kisah percintaan Prabu Lasem kepada Putri Rankesari. Penari yang tampil pertama adalah Condong (emban) yang menggunakan kostum dominan warna merah. Kemudian disusul oleh dua penari Legong yang menggunakan kostum berwarna hijau. Dalam kisah Prabu Lasem yang diangkat dari cerita Panji/Malat, kedua Legong ini masing-masing memerankan Prabu Lasem dan Putri Langkesari. Tari Legong Keraton ditetapkan sebagai warisan budaya dunia non benda oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2015. Tari Legong Keraton adalah salah satu dari sembilan tarian Bali yang mendapat penghargaan serupa disamping Tari Barong Ket, Tari Rejang, Tari Joged Bumbung, Drama Tari Wayang Wong, Drama Tari Gambuh, Topeng Sidha Karya, Tari Bari Upacara dan Tari Sang Hyang Dedari.  +
Tarian ini didasarkan pada kisah dua bersaudara, Raja – Subali dan Sugriwa, yang berubah menjadi kera. Sebelumnya Subali dan Sugriwa memiliki nama Arya Bang dan Arya Kuning serta seorang adik perempuan bernama Dewi Anjani. Suatu hari ayahnya memberikan gelang kepada masing-masing Arya Bang dan Arya Kuning serta cupu manik (sebuah cermin sakti yang bisa memperlihatkan masa lalu, masa kini dan masa depan) kepada Dewi Anjani. Mereka hidup dalam damai hingga keduanya menginginkan cupu manik yang dimiliki oleh Dewi Anjani. Keduanya memperebutkan cupu manik, dan merampas dengan paksa. Melihat kejadian tersebut ayahnya menjadi sangat marah kepada kedua putranya dan melemparkan cupu manik hingga ke dasar kolam. Akhirnya kedua putra tersebut berebut untuk menyelam dan mencari cupu manik tersebut hingga ke dasar kolam namun akhirnya gagal. Tapi apa yang terjadi, setelah mereka berdua keluar dari dasar kolam wajah kedua putranya tersebut berubah menjadi kera.  +
Legong Kuntul termasuk ke dalam jenis Legong nondramatic yang menggambarkan keanggunan dan keindahan burung bangau di tengah sawah. Gerakan-gerakannya indah dan klasik, mecoba mengimitasi gerakan burung bangau dan dibawakan dengan anggun oleh para penarinya.  +
Legong Kupu-Kupu Tarum adalah Sebuah tarian Legong dengan pakem asli dari Desa Bedulu yaitu jenis tarian klasik yang sudah berusia ratusan tahun. Tarian ini menggambarkan siklus kehidupan seekor kupu-kupu mulai dari kepompong hingga akhir hidupnya.  +
Tarian yang diciptakan oleh salah satu koreografer muda asal Ubud Gede Agus Krisna Dwipayana atau lebih akrab disapa Gede Krisna mengisahkan tentang perjalanan spiritual dari Rsi Markandeya ke tanah Bali.  +
Garapan ini diciptakan oleh koreografer I Nyoman Cerita dan komposer I Dewa Putu Berata di Sanggar Seni Çudamani. Pawisik sebuah isyarat yang dibisikkan semesta pada manusia tentang sesuatu yang telah, sedang atau akan terjadi. Pawisik memberi kesempatan pada manusia untuk memahami dan mengerti alam sekitarnya. Sebuah pengetahuan yang apabila mampu dipahami akan membuat manusia sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil dari alam semesta. Bahwa segalanya terikat dan terjalin antara satu dan lainnya.  +
Legong Pelayon Peliatan merupakan tari legong klasik yang mencerminkan Dewa Siwa sebagai dewanya penari dengan karakter kuat, tegas tetapi ada sisi baik dan murah rati. Hal tersebut yang diwujudkan pada Legong Pelayon sehingga memiliki bagian gerakan aktif (enerjik) dan halus.  +
Tari Legong Raja Cina lahir dari sejarah panjang akulturasi antara budaya Bali dan budaya Cina.Tarian ini merupakan reaktualisasi cerita legendaris Perkawinan Raja Jayapangus dengan Putri Cina Kang Ching Wei yang kemudian dipersonifikasi sebagai Barong Landung dalam masyarakat Bali. Tari Legong Raja Cina ditampilkan dalam kolaborasi gerak tari Legong dengan gerak tari Barong Landung sebagai identitas budaya Cina. Kekhasan gerak tari Barong Landung dapat diidentifikasi sebagai penanda adanya gerak-gerak tari Cina dalam tari Legong.  +