How to reduce waste at school canteen? Post your comments here or propose a question.

Barong Brutuk

1599px-Tari barong brutuk.jpg
Type of Performance
Dance
Photo reference
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Tari_barong_brutuk.jpg
Genre
Tari Wali/Sakral
Place of origin
Trunyan
Instruments
Related Books
  • Book Balinese Dance
  • Drama & Music: A Guide to the Performing Arts of Bali
Related Holidays
  • Odalan Pura Ratu Pancering Jagat


Add your comment
BASAbaliWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

Videos

Description


In English

Barong Brutuk is the embodiment of Bhatara Ratu Pancaring Jagat in Trunyan village of which there are 21 people. The faces of the barongs resemble primitive masked faces with large white or brown eyes and are thought to be relics of pre-Hindu culture. Barong Brutuk is danced by male dancers taken from members of the truna sekaa in Trunyan village. Before dancing the sacred barongs, the cadets must go through a process of sacralization for 42 days. They lived in the vicinity of Bhatara Datonta and every day was tasked with cleaning the temple grounds and learning an ancient song called Kidung. During the sacralization process, the cadets were forbidden to have contact with the women in their village.

Another activity carried out during the purification process is collecting banana leaves from Pinggan village which are used as clothing for the Brutuk dance. The banana leaves are dried and then knitted with peeled rope (banana tree) into a kind of skirt that will be used by Brutuk dancers. Each dancer uses two or three sets of clothing made of banana leaves, some of which are hung around the waist and partly on the shoulders, under the neck. Brutuk dancers use panties which are also made from banana tree rope.

The Barong Brutuk performance is staged at noon just as the Odalan Day begins at Ratu Pancering Jagat Temple. Usually the Brutuk ceremony lasts for 3 days in a row starting at 12.00 noon and ending around 17.00 pm. The Brutuk dancers wear dried banana leaves and headdresses made of coconut leaves; One serves as King Brutuk, one functions as the Queen, one functions as Patih, one serves as the Queen's older brother, and the rest are regular members. The Brutuk dance illustrates the concept of a dichotomy in the life of the Trunyan community, namely two groups of people, men and women.

The Brutuk ceremony begins with the appearance of member-level embodiments. They circled the temple walls three times each while waving whips to the audience participating in the ceremony. The audience attending the ceremony began to approach the Brutuk dancers to pick up the loose banana leaves which they would use as a means of fertility. The spectators who managed to get the banana leaves from Brutuk's clothes would keep them at home and then spread them out in the rice fields when they started planting rice. They expect a successful harvest.

The last stage of the ritual performance begins in the evening, led by a pemangku (holy man), the women bring new offerings to be presented to the King and Queen Brutuk. When the offerings have been offered, the King and Queen dance together, while the other Brutuks and the audience just watch. A pair of Kings and Queens dance an ancient move, which imitates the behavior of a wild partridge. The King as keker (rooster) and the Queen dances as kiuh (hen). There are many wild partridges in the area around Trunyan. They pop their heads, swoop, peck and move their hips, claw at the ground and make sudden attacks on each other while flapping their wings. Movements such as cock fighting or flying. At the time of sandya kala, the dancers walk down to Lake Batur. Brutuk men with red masks, take a position by lining up behind the King, while masked dancers women line up opposite them, behind the Queen. The love dance of the King and Queen continued for about half an hour, while the male and female Brutuks continued to line up. Only the Patih and the brother of the Queen Brutuk remained active, they continuously whipped their whips at the audience.

The dance of the King and Queen Brutuk ends with the movement of the Queen flying and crossing a line marked with a banner. All Brutuk then cheered when the King flew trying to pounce on the Queen. The King immediately caught him and embraced the Queen. At that moment the youths who became Brutuk, cheered in unison, as they ran into the water and threw themselves. There they stripped the remnants of the banana leaves that became their clothes, swam and had fun unwinding. Their costumes were left afloat, while their masks were picked up by older members of the tribe who descended to the shore of the lake to provide assistance. After that the dancers and the audience separated for dinner after all the celebratory activities were over.

In Balinese

In Indonesian

Barong Brutuk merupakan unen – unen Bhatara Ratu Pancaring Jagat di desa Trunyan yang banyaknya adalah 21 orang. Wajah barong – barong itu menyerupai wajah-wajah topeng primitif yang matanya besar dengan warna putih atau coklat dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu. Barong Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota sekaa truna yang ada di desa Trunyan.

Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya.

Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari tali pohon pisang.

Pagelaran Barong Brutuk dipentaskan pada siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk menggunakan busana daun pisang kering dan hiasan kepala dari janur.; Seorang berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu, seorang berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.

Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton peserta upacara. . Penonton peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk untuk mengambil daun-daun pisang yang lepas yang akan mereka digunakan sebagai sarana kesuburan. Para penonton yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen.

Tahapan terakhir pertunjukan ritual dimulai pada petang hari, dipimpin pemangku, para wanita membawa sesajen baru dipersembahkan pada Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan, sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton hanya menyaksikannya. Sepasang Raja dan Ratu menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina). Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya. Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Pada saat sandya kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja, sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di belakang Ratu. Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap berbaris digarisnya. Hanya Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang tetap aktif, mereka terus menerus melecutkan cemeti kearah penonton.

Tarian Raja dan Ratu ini diakhiri dengan gerakan sang Ratu terbang dan melintas garis yang ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian bersorak ketika sang Raja terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja langsung menangkapnya dan merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang menjadi Brutuk, bersorak secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan menceburkan diri. Di situ mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya, berenang dan bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka dibiarkan terapung, sedangkan topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku yang lebih tua yang turun ke tepi danau untuk memberi bantuan. Setelah itu penari dan penonton berpisah untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.

In other local languages

Audios

Photos

Articles