Siat Taluh miwah Siat Lidi di Kayubihi
From BASAbaliWiki
Information about Holiday or Ceremony
Siat Taluh miwah Siat Lidi di Kayubihi
Where did this ceremony take place:
In English
In Balinese
In Indonesian
Diarta Wayan
Where did this ceremony take place:
This concept of masculine-feminine or lanang-wadon also influenced the local astrological knowledge system. The Kayubihi people recognize a bi-annual calendar system, which consists of a masculine year and a feminine year. This system is relatively the same as the astrological calendar system for the Bali Aga people in other areas. Therefore, major ceremonies such as Ngusaba Kelod are held every two years at Sasih Karo, around July.
The Ngusaba Kelod tradition has been out of action for almost 22 years due to various obstacles. Later, this ancient tradition was revived and has now become a cultural icon of the Kayubihi people. This Siat Taluh (Egg War) is one of the closing ceremonies in the Ngusaba Kelod ritual.
Siat Taluh does not mean that the participants are throwing eggs at each other, but a ball of coconut or palm leaf balls the size of a child’s fist. Before this ritual is carried out, village leaders and the youth leader pray at a special temple called Pura Pausa Temple in the east of the Banjar Kayubihi community hall. Then, the residents gather in front of the temple and are divided into two groups. When the male participants pray, the girls save the eggs to "incubate" symbolically. Again, this ritual seems to be closely related to fertility rituals that are commonly practiced by traditional agrarian societies. In the afternoon, there is also a stick war waged by the same participants. This stick is smashed to another participant's body. In this ritual there is no resentment or anger. There is only a rush of excitement and happiness.
This war ritual ends with a communal malukat (holy bathing, see entry “Malukat”) at Pura Pasiraman Pura Dalem Pingit Temple. Similar temples also exist in several Bali Aga villages in Bangli and usually have water springs.
After the malukat ceremony, some participants in the war again decorate themselves with coils of coconut leaves and cloth. They then distribute food to the widows in the village. This procession is called Ngejot Kawisan.
Konsep laki-perempuan atau lanang-wadon ini juga mempengaruhi sistem pengetahuan astrologi setempat. Masyarakat Kayubihi mengenal sistem kalender dua tahunan, yang terdiri dari tahun laki dan tahun perempuan. Sistem ini relatif sama dengan sistem kalender astrologi masyarakat Bali Aga di daerah lain. Karena itu, upacara-upacara besar seperti Ngusaba Kelod dilakukan dua tahun sekali pada Sasih Karo, sekitar bulan Juli.
Tradisi Ngusaba Kelod ini sudah tidak berjalan selama hampir 22 tahun karena berbagai kendala. Kemudian, tradisi kuno ini dihidupkan kembali dan kini menjadi ikon budaya masyarakat Kayubihi. Siat Taluh (Perang Telur) ini adalah salah satu upacara penutup dalam rangkaian Ngusaba Kelod.
Siat Taluh bukan berarti para peserta saling lempar telur, namun bola janur atau bola daun aren seukuran kepalan tangan anak-anak. Sebelum ritual ini dilakukan, para tetua adat serta ketua pemuda bersembahyang di sebuah pura khusus yang bernama Pura Pausa di timur Balai Banjar Kayubihi. Kemudian, warga berkumpul di depan pura dan dibagi menjadi dua kelompok. Saat peserta laki-laki bersembahyang, para gadis menyimpan telur-telur itu untuk ‘dierami’ secara simbolis. Lagi-lagi, ritual ini rupanya amat terkait dengan ritual kesuburan yang lazim dilakukan oleh masyarakat agraris. Sore harinya, ada pula perang lidi yang dilakukan oleh para peserta yang sama. Lidi ini disabetkan pada tubuh peserta lain. Dalam ritual ini tidak ada dendam atau amarah. Yang ada hanya luapan kegembiraan.
Ritual perang-perangan ini diakhiri dengan malukat bersama (lihat entri “Malukat”) di Pura Pasiraman Pura Dalem Pingit. Pura sejenis juga ada di beberapa desa Bali Aga di Bangli dan biasanya memiliki mata air atau pancuran.
Setelah malukat, beberapa peserta perang-perangan menghias dirinya dengan gelungan janur dan kain. Mereka lalu membagi-bagikan makanan kepada para janda di desa itu. Prosesi ini dinamai Ngejot Kawisan.
Diarta Wayan
Enable comment auto-refresher