Luh Yesi Candrika

Dari BASAbaliWiki
Lompat ke:navigasi, cari
Candrika.jpg
Nama lengkap
Luh Yesi Candrika
Nama Pena
Photograph by
Link to Photograph
Website for biography
Tempat
Related Music
Related Books
Related Scholars Articles


Tambahkan komentar
BASAbaliWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

Biodata


In English

In Balinese

In Indonesian

Contoh karya

Parum BASAbaliwiki Warsa 2020.jpg
BASAbaliWiki Menggelar Rapat Program Kerja Tahun 2020

Bertempat di Dharmanegara Alaya Denpasar

Mengawali tahun baru 2020, Yayasan BASAbaliWiki mengelar acara rapat program kerja tahun 2020 pada hari Sabtu, 11 januari 2020 yang bertempat di Gedung Dharmanegara Alaya Denpasar. Acara yang diketuai oleh Putu Eka Guna Yasa, S.S.,M.Hum tersebut dihadiri oleh para pembina dan para pengurus Yayasan BASAbaliWiki. Rapat yang dimulai pada pukul 09.00 wita sampai 15.00 wita tersebut membahas mengenai program kerja di masing-masing divisi yang terdapat dalam web BASAbaliWiki, di antaranya divisi Perpustakaan Virtual yang dikoordinatori oleh Ni Nyoman Clara Listya Dewi, divisi lontar miwah upacara oleh Ida Bagus Arya Lawa Manuaba, divisi Inisiatif Lingkungan oleh I Wayan Artha Dana, divisi Media Sosial oleh IGA Wiwin Rusma Windiyana Putri, divisi Gatra Milenial oleh I Made Agus Atseriawan Hadi Sutresna, divisi Buku Cerita Anak dan Cerita Rakyat oleh Made Sugianto, divisi Biografi olih I Wayan Jengki Sunarta, divisi Kamus Daring oilh Ida Wayan Eka Werdi Putra, serta divisi Sejarah Tempat dan Pelatihan olih I Kadek Juniantara. Seluruh divisi yang disiapkan dalam web BASAbaliWiki tersebut sebagai usaha untuk mengembangkan tradisi Bali (khususnya bahasa Bali dan kebudayaan Bali pada umumnya) di tengah-tengah interaksi global dengan sarana media digital. Ketua Yayasan BASAbaliWiki, Dr.Drs. I Wayan SUardiana, M.Hum dalam sambutannya menyatakan bahwa berbagai usaha yang sudah dilaksanakan oleh tim BASAbaliWiki pada setiap divisi sudah berjalan dengan baik. Lebih lanjut, beliau menytkn bahwa berbagai usaha yang telah dilakukan tersebut juga telah mendapatkan apresiasi yang baik dari dunia, salah satunya melalui penghargaan yang diberikan oleh Unesco serta apresiasi yang juga telah diberikan oleh pemerintah Provinsi Bali. “Yayasan BASAbaliWiki telah mendapatkan apresiasi yang baik dari dunia Internasional serta dari pemerintah Provinsi Bali. Untuk itu, program-program yang dilaksanakan di BASAbaliWiki agar memiliki korelasi atau acuan dengan program pemerintah Provinsi Bali yaitu “Nangun Sat Kertih Loka Bali”, yang berbasis bahasa, sastra, dan aksara Bali. Dengan demikian, maka budaya Bali dapat bertahan dan terus berkembang”.

Selanjutya, Ketua Dewan Pembina Yayasan BASAbaliWiki, Drs. I Gde Nala Antara, M.Hum juga memberikan sambutannya dalam rapat awal tahun tersebut. Beliau banyak memberikan nasihat dan motivasi kepada tim BASAbaliWIki agar tidak lekas jumawa terhadap prestasi yang sudah diterima. Selain itu, beliau juga berharap agar program-program yang ada di BASAbaliWiki dapat bermanfaat untuk seluruh lapisan masyarakat. “Janganlah cepat jumawa saat dengan apresiasi-apresiasi baik yang diberikan. Tim BASAbaliWiki agar senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam mengerjakan program-program yang nantinya dapat berguna untuk seluruh masyarakat, dari mulai generasi muda sampai generasi tua. Semua itu dapat terwujud apabila tim BASAbaliWiki senantiasa menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, instansi pemerintah, dan sekolah-sekolah yang ada di Bali”.

Salah satu pendiri BASAbaliWiki, Alissa Stern dalam sambutannya yang diwakili oleh Putu Eka Guna Yasa, S.S.,M.Hum menyampaikan pesannya agar keberadaan BASAbaliWiki dapat menjadi salah satu media digital yang senantiasa berupaya untuk melestarikan keberadaan bahasa Bali dalam era globalisasi saat ini. “Keberadaaan bahasa-bahasa daerah di dunia semakin terdesak keberadaannya bahkan terancam mengalami kepunahan. Hal ini yang patut diperhatikan dalam situasi zaman saat ini. Untuk itulah, melalui BASAbaliWiki yang menggunakan media bahasa Bali dalam media digital ini dapat menjadi contoh dalam usaha melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di wilayah Nusantara dan dunia Internasional” Selain Alissa Stern, pendiri BASAbaliWiki lainnya yang hadir pada acara rapat tersebut adalah I Putu Suasta. Beliau memberikan banyak masukan sekaligus motivasi kepada para pengurus BASAbaliWiki, berkiatan dengan usaha-usaha baru yang kreatif dan inovatif untuk dilaksanakan dalam menjalankan program-program kerja BASAbaliWiki.

Rapat program kerja BASAbaliWiki tahun 2020 yang berjalan selama kurang lebih enam jam tersebut ditutup dengan acara kebersamaan yaitu dengan menuliskan berbagai mimpi atau harapan-harapan para pengurus BASAbaliWiki yang hadir, berkenaan dengan program-program kerja BASAbaliWIki dalam kurun waktu satu tahun dan diakhiri dengan dengan acara foto bersama. (@YesiCandrika BASAbaliWiki)
Pahlawan nasional bali.jpg
Bertepatan dengan momentum Hari Pahlawan Nasional pada bulan November tahun 2016 yang lalu, Bapak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu tokoh pemimpin yang sangat membanggakan masyarakat Bali, yaitu I Gusti Ngurah Made Agung. I Gusti Ngurah Made Agung atau Cokorda Mantuk Ring Rana merupakan Raja Badung yang memimpin puputan saat melawan penjajah Belanda pada tanggal 20 September 1906. Sosok seorang I Gusti Ngurah Made Agung tidak hanya sebagai pejuang dalam puputan, tetapi beliau juga merupakan refleksi pejuang literasi. Maksudnya, sebagai seorang pemimpin yang nyastra, beliau telah melahirkan sejumlah karya sastra, di antaranya Geguritan Nengah Jimbaran, Geguritan Niti Raja Sasana, Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Hrdaya Sastra, dan Geguritan Purwa Sanghara.
      Karya-karya sastra yang demikian hebatnya, tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa pembacaan karya sastra hebat lainnya dengan jumlah yang tentunya tidak sedikit. Misalnya pada salah satu karyanya, yaitu Geguritan Purwa Sanghara yang menguraikan tentang ciri-ciri atau awal (purwa) kehancuran zaman (sanghara). Untuk mengarang geguritan ini, I Gusti Ngurah Made Agung memetik cerita dari beberapa sastra di antaranya Adi Parwa, Mosala Parwa, dan Prasthanika Parwa untuk menyusun bagian pertama tentang hancurnya kerajaan Dwarawati dan Wangsa Yadu. Selanjutnya Kakawin Sutasoma digunakan untuk menyusun bagian kedua, yaitu mengenai pertempuran antara Sutasoma dan Purusadha. Serta Kitab Cantakaparwa digunakan untuk menyusun bagian ketiga yaitu pertempuran antara Suprasena dengan Rudradasa. 
      Berdasarkan sumber-sumber sastra yang dipetik oleh I Gusti Ngurah Made Agung dalam mengarang sebuah Geguritan Purwa Sanghara, kita mendapatkan kesan bahwa sebagai seorang raja, I Gusti Ngurah Made Agung memiliki ketertarikan yang  besar terhadap karya-karya sastra Jawa Kuna. Usaha yang terus-menerus untuk belajar dan mengisi diri yaitu dengan aktifitas membaca, menulis, dan melakoni nilai-nilai sastra dalam kehidupannya (sebagai seorang raja). Mungkin hal-hal tersebut yang menjadi alasan Ida Bagus Gede Agastia, salah satu peneliti sekaligus penulis essay-essay berbahasa Jawa Kuna menyebut beliau dengan sebutan Cokorda Mantuk Ring Rana, Pemimpin yang Nyastra.  
Kesadaran untuk bangkit dari kelisanan menuju keberaksaraan telah membuka periode baru dalam sejarah pemikiran manusia. Semangat memperjuangkan budaya literasi yang ditunjukkan oleh I Gusti Ngurah Made Agung melalui aktivitas membaca dan menulis, tentu memberikan petunjuk generasi-generasi selanjutnya untuk mengikuti jejak beliau. Selain kegiatan membaca dan menulis sebagai bentuk apresiasi terhadap karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung, kegiatan lainnya seperti menembangkan karya-karya beliau serta mendiskusikan bersama karya-karya beliau juga tidak kalah penting untuk dilakukan. Selain itu, apresiasi sastra lainnya juga dapat dilakukan dengan melalui adaptasi karya, dan lain sebagainya. Hal-hal demikian penting dilakukan dalam upaya mewujudkan suatu budaya literasi yang bermanfaat untuk mencerahkan hidup, mempertebal keluhuran budi, dan mempertahankan identitas dan jati diri sehingga tidak hanyut oleh arus zaman. Nyala semangat literasi yang dikobarkan oleh I Gusti Ngurah Made Agung untuk gemar membaca dan mendalami sastra diharapkan mampu mengarahkan kehidupan generasi muda pada hal-hal yang positif dan bermanfaat. (BASAbali Wiki @YesiCandrika).
Bahasa Bali sebagai bahasa ibu.jpg
Bahasa pertama yang diajarkan oleh seorang ibu kepada anaknya. Sejak berada di dalam kandungan, seorang ibu melakukan interaksi pada calon bayinya dengan menggunakan media bahasa. Suatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, tetapi konvensional, bahasa berperan sebagai sarana komunikasi dalam interaksi sosial dan budaya. Sebagian besar masyarakat Bali menggunakan bahasa Bali sebagai alat komunikasi yang pertama dan utama, sehingga bahasa Bali merupakan bahasa ibu. Intensitas pengunaan bahasa Bali sebagai bahasa utama untuk berkomunikasi masih banyak ditemukan di kalangan pedesaan. Namun, di kalangan perkotaan yang masyarakatnya heterogen seperti Kota Denpasar, intensitas penggunaan bahasa Bali terutama dikalangan keluarga semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya pernikahan antar kebudayaan yang berbeda, keperluan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia lebih tinggi dari bahasa Bali (terutama dalam ranah akademis dan formal), serta munculnya anggapan bahwa mempelajari maupun menekuni bidang ilmu bahasa Bali tidaklah begitu penting karena tidak dapat menghasilkan banyak uang jika dibandingkan dengan memiliki kemampuan bahasa asing.

Pada dimensi yang bersamaan, ancaman kepunahan bahasa terus menerus dapat terjadi. Seperti yang dimuat pada Koran Kompas beberapa bulan yang lalu, dinyatakan bahwa sebanyak sebelas bahasa daerah telah mengalami kepunahan karena tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi oleh penuturnya. Misalnya, di daerah Papua, Maluku, dan Maluku Utara. Kemudian, bagaimanakah nasib bahasa Bali apabila penuturnya juga enggan menggunakan bahasa ibunya sendiri? Keberadaan bahasa Bali tentu tidak luput dari ancaman kepunahan. Untuk itu, pemerintah daerah provinsi Bali melakukan upaya-upaya guna mencegah kepunahan bahasa Bali dengan dibentuknya tim penyuluh bahasa Bali yang telah ditugaskan ke seluruh desa yang ada di Bali. Sementara itu, upaya lainnya untuk mempertahankan penggunaan bahasa Bali di ruang-ruang formal, yaitu dengan menetapkan hari khusus berbahasa Bali (Wrhspati mabasa Bali). Selain itu, apabila diamati dari media daring, usaha untuk mengembangkan bahasa Bali nampak dari semakin banyaknya tersedia kamus-kamus daring berbahasa Bali, papan ketik(keyboard) beraksara Bali, serta sarana belajar lainnya berupa video, gambar, buku-buku pelajaran tentang bahasa Bali, dan satua berbahasa Bali yang kini sudah tersedia di media daring.

Masyarakat Bali hendaknya menyadari bahwa, baik itu bahasa Bali dan aksara Bali keduanya merupakan identitas dari kebudayaan Bali. Terkait dengan hal tersebut, salah satu guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Prof. I Gusti Ngurah Bagus (alm) pernah mewacanakan bahwa bahasa adalah mahkota dari sastra. Kemudian wacana tersebut kembali dilanjutkan oleh salah satu budayawan Bali yang sekaligus pinisepuh Sanggar Mahabajrasandhi, Ida Wayan Oka Granoka yang mengatakan bahwa aksara Bali adalah mahkota kebudayaan Bali dan akal budi adalah mahkota bagi manusia itu sendiri. Maka, hubungan antara bahasa, sastra, dan aksara jika mengacu pada wacana kedua ahli tersebut, yaitu bahasa adalah mahkotanya sastra, aksara adalah mahkota budaya, dan akal budi adalah mahkota manusia. Lebih lanjut, mengacu pada pendapat para ahil tersebut dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa, untuk mencetak dan membentuk manusia yang berakal budi atau dalam hal ini berkarakter, maka nilai kelokalan melalui bahasa dan aksara Bali sangat penting ditanamkan sejak dini. Dalam hal ini, keluarga memiliki peranan penting. Oleh sebab itu, peran orang tua atau keluarga merupakan benteng utama pemertahanan kebudayaan Bali dengan menanamkan nilai lokal yang adi luhung untuk membentuk pendidikan karakter  anak sekaligus karakter Bangsa.

Pendidikan karakter merupakan suatu usaha mendidik anak (generasi muda) untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan, menggali dan mengembangkan potensi anak sesuai dengan minat dan kemampuannya, serta menanamkan rasa empati terhadap lingkungan di sekitarnya. Untuk itu, pendidikan karakter haruslah dimulai dari tingkat keluarga, terutama peranan orang tua dalam memberikan pemahaman, pengetahuan, dan contoh perilaku yang dapat diteladani oleh anak dalam masa pertumbuhannya. Tujuan dari pendidikan karakter adalah membangun jati diri anak sehingga dapat menentukan baik dan buruk dalam kehidupan, memiliki budi pekerti atau dasar etika yang kuat, dan dapat mengenali minat yang dicita-citakannya.

Bahasa Bali merupakan akar pendidikan karakter dalam kaitannya dengan budaya Bali. Alasannya karena bahasa Bali sebagai suatu sistem memiliki tata etika berbahasa yang disebut dengan anggah-ungguh basa Bali yang mengajarkan tentang norma kasantunan. Itulah yang juga membuat sistem anggah-ungguh basa Bali merupakan keunikan dari bahasa Bali. Selain itu, keunikan bahasa Bali lainnya yaitu memiliki aksara Bali. Keberadaan aksara Bali untuk menstanakan bahasa Bali menunjukkan peradaban kebudayaan Bali yang tinggi. Lebih lanjut, keunikan lainnya dari bahasa Bali, yaitu memiliki kosa kata yang kaya. Misalnya, untuk menerjemahkan sebuah kata seperti kata ‘makan’ bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali menjadi ‘neda’, ‘ngamah’, ‘ngaleklek’, ‘madaran’, ‘nunas’, ‘ngajeng’, ‘ngrayunang’. Untuk itulah, membangun kecintaan generasi muda terhadap bahasa daerah (dalam kaitannya bahasa Bali sebagai bahasa ibu) merupakan langkah pertamal untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Bali.
Demo.jpg
Pasca unjuk rasa UU Cipta Kerja yang terjadi pada awal bulan Oktober tahun 2020 yang lalu, berbagai media menyoroti bahwa tidak sedikit para remaja ikut serta dalam demo yang tidak hanya terjadi di ibu kota negara, tetapi berlangsung pula di sejumlah daerah lainnya. Lebih lanjut, dalam interogasi yang dilakukan pihak kepolisian kepada beberapa remaja usai demonstrasi, mereka mengaku tidak tahu secara pasti mengenai persoalan yang tengah diperjuangkan dalam unjuk rasa tersebut. Mengamati fenomena ini, tentu banyak masyarakat yang menganggap bahwa para remaja yang tidak bisa mengendalikan dirinya cenderung hanya ikut-ikutan atau bahkan memanfaatkan momen unjuk rasa ini sebagai pelepas penat dalam situasi pandemi yang tak kunjung berhenti. Apalagi perilaku yang reaktif, gegabah, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan gemar mencoba hal yang baru senantiasa melekat pada kaum remaja. Sementara itu, unjuk rasa yang diharapkan dapat dilakukan secara damai dan kooperatif itu pun, justru berakhir dengan ricuh dan rusaknya fasilitas-fasilitas publik yang merugikan negara.

Perilaku remaja dalam peristiwa di atas menjadi catatan penting untuk generasi muda bangsa Indonesia. Sebagiamana yang termuat dalam kisah hancurnya Kerajaan Dwarawati dalam pustaka kuna Mosala Parwa yaitu parwa yang terpendek dalam Astadasaparwa (delapan belas parwa). Sebagaimana kisah mengenai kehancuran kerajaan Dwarawati dalam parwa ke-enam tersebut, yaitu diawali dengan ulah dua orang remaja Wangsa Yadu, Arya Samba dan Sang Wabru yang berpura-pura menjadi sepasang suami istri saat menyambut kedatangan tiga orang wiku ke Dwarawati. Ketiga wiku tersebut yaitu Resi Wiswamitra, Resi Kanwa, dan Dang Hyang Naradha. Akibat dari rasa ingin tahu yang tinggi terhadap kesaktian (kasidhian) dari seorang wiku, Sang Arya Samba berpura-pura menyamar sebagai pengantin wanita dan Sang Wabru sebagai suaminya. Dengan penuh keangkuhan, para remaja Wangsa Yadu ini berpikir bahwa apa yang dilakukan akan mendapatkan pengampunan karena telah sering menolong para pendeta. Saat para wiku telah tiba di Dwarawati, mereka menghadap para pendeta dengan alasan memohon belas kasihan agar bisa mempunyai anak. Dengan gelagat yang mencurigakan, akhirnya penyamaran pengantin ini diketahui sang pendeta. Betapa marahnya sang pendeta karena dihina dan ditipu oleh Sang Samba seorang putra Prabu Kresna yang bijaksana.

Kutukan dari seorang wiku sangatlah luar biasa saktinya. Apa yang diucapkan pasti akan terjadi (sidi mantra atau sidi ucap). Wangsa Yadu di Kerajaan Dwarawati mengalami kehancuran akibat perilaku yang tidak baik dari para remajanya. Kutukan pun dilontarkan oleh sang wiku, yaitu agar kelak kandungan hasil penyamaran Arya Samba benar-benar lahir berupa palu besi atau tongkat besi yang dapat menghancurkan seluruh wangsa Yadu, kecuali pada Prabu Kresna dan Baladewa yang tidak terkena kutukan dari sang wiku. Prabhu Kresna dan Baladewa pun menyadari bahwa kekacuan yang diakibatkan oleh para remaja Wangsa Yadu tersebut tidak dapat dihindari. Mereka pun tidak berkeinginan untuk mengubah kutukan sang wiku.

Mengacu pada perilaku atau sikap yang ditunjukkan oleh tokoh Arya Samba dan Sang Wabru dalam cerita, memiliki nilai penting mengenai perilaku hidup untuk generasi muda dalam menghadapi tantangan zaman saat ini. Kata muda dalam bahasa Jawa Kuna berarti bodoh, sehingga tatanan dan tuntunan sangat diperlukan untuk membentuk laku hidup. Salah satunya, yaitu sikap untuk menghargai dan menghormati orang yang lebih tua, terlebih lagi orang suci. Keangkuhan pada masa remaja adalah salah satu musuh yang patut diatasi. Arya Samba dan Sang Wabru pada akhirnya gagal menaklukkan musuh yang ada dalam dirinya, hingga kemudian harus menikmati karma dari hasil perbuatannya yang dengan sengaja menipu kaum brahmana. Hal tersebut merupakan perbuatan tercela karena telah mencela brahmana (orang suci). Nitisastra menjelaskan bahwa perbuatan mencela brahmana, buku-buku, atau mencela guru akan mendatangkan kesengsaraan bahkan hingga kematian.

Pada kasus keterlibatan remaja dalam demontrasi yang ricuh tersebut, peran guru terutama orang tua (guru rupaka) dan pemerintah (guru wisesa) tengah diuji. Dalam situasi yang demikian, para orang tua diharapkan memiliki kemampuan mendidik sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada anak sehingga dapat terbebas dari kesengsaraan. Lebih lanjut, Nitisastra sesungguhnya telah menerangkan ajaran pada anak sesuai dengan usianya, yaitu sutasasana (untuk anak bermur lima tahun) bahwa perlakukan anak seperti raja, saptangwarsa (anak berumur tujuh tahun) latih anak agar menurut, sapuluhing tahun (anak berumur sanaepuluh tahun) anak diajar membaca, sodasawarsa (enam belas tahun) anak diperlakukan sebagai sahabat serta berhati-hati menunjukkan kesalahannya, wus putra suputra (anak telah berputra) mengamati perilaku anak dan memberikan isyarat dan contoh sebagai bentuk pengajaran. Mendidik anak dimulai dari tinggat keluarga, bukanlah hal yang mudah. Sadar akan tumbuh kembang, kebutuhan, dan kemampuan seorang anak dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan anak, hingga akhirnya ia siap menjadi bagian dari masyarakat dengan berbagai tantangannya.

Remaja atau dalam konteks ini seorang anak, diharapkan menjadi sosok yang sadu gunawan (baik dan bijaksana) oleh kedua orang tuanya. Berbicara mengenai putra yang suputra atau sadu gunawan, maka sosok remaja yang dapat dijadikan teladan dalam kisah Mahabaratha, yaitu Abimanyu putra dari Arjuna dan Subadra. Abimanyu menghabiskan masa anak-anaknya dalam asuhan pamannya, yaitu Krisna sehingga nilai-nilai kebenaran tertanam dalam dirinya. Pada saat dalam kandungan Abimanyu pun telah mendapatkan pendidikan prenatal dari ayahnya, Arjuna. Dalam garba Subadra, Abimanyu telah dialiri pengetahuan mengenai cara menembus formasi perang Cakrabyuha. Namun, dalam usahanya membela negara dan kebenaran, ia pun akhirnya gugur di medan perang Kuruksetra pada usianya yang baru enam belas tahun. Walaupun pada akhirnya Abiamanyu berkalang tanah, ia tidak pernah mundur dari medan perang Kurusksetra, menunjukan keberanian seorang ksatria. Pengetahuan yang diberikan oleh orang tua sejak dalam kandungan merupakan salah satu cara untuk melahirkan anak dengan kwalitas yang baik. Lahirnya anak-anak yang berkwalitas dan mendapatkan pendidikan ditingkat keluarga yang baik, niscaya keberhasilan suatu negara dapat terwujud.
Ekalawya.jpg
Tantangan hidup di zaman kali ini tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan keadaan alam dapat mempengaruhi perilaku manusia yang merupakan isi dari alam. Konon, manusia yang hidup di zaman ini akan menghadapi berbagai penderitaan. Namun, kebenaran dan kebijaksanaan tetap ada mendampingi, walaupun dapat pula dipengaruhi oleh segala bentuk kekotoran dunia, seperti penghinaan, rasa iri hati, loba, suka menyakiti, dan hasrat untuk mencelakai orang lain.K ata kali dalam bahasa Sansekerta berarti nama yuga atau zaman dunia yang keempat. Pada kehidupan saat ini, pengaruh dari zaman kali dapat dirasakan oleh siapa pun. Misalnya dalam beberapa kasus yang terjadi, seperti menyebarkan berita bohong (hoax), uajaran kebencian di media-media sosial, kasus korupsi, maupun perilaku kekerasan fisik hingga mental. Jika dilihat dari permasalahan yang ada, mentalitas manusia merupakan akar permasalahannya. Usaha untuk mencegah segala kemungkinan buruk dalam tatanan kehidupan sosial, maka generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa Indonesia merupakan target utama dalam upaya menata perilaku sosial untuk menghadapi tantangan zaman semenjak dini.

Untuk dapat menghadapi tantangan zaman, diperlukan usaha-usaha yang mampu menempatkan seseorang dapat beradaptasi dalam suatu situasi yang terus berubah. Pada awal tahun 2020 yang lalu, terdapat suatu gebrakan baru dalam dunia pendidikan yang digagas oleh Bapak Menteri Republik Indonesia Nadiem Makarim, mengenai konsep “merdeka belajar”. Konsep ini memiliki esensi kemerdekaan berpikir kepada para guru atau tenaga pendidik dalam hal sistem pengajaran dan kepada siswa dalam hal memperoleh ilmu pengetahuan. Mengacu pada konsep ini, memiliki tujuan yang baik dan utama, yaitu Bangsa Indonesia tengah berupaya mencetak generasi-generasi emas yang cerdas, berkarakter, kompeten, serta memiliki keluhuran budi.

Apabila mengacu pada konsep merdeka belajar yang merujuk pada siswa dalam hal kebebasan berpikir untuk mengembangkan kompetensi diri, maka kisah Ekalawya dalam teks Adiparwa dapat dijadikan contoh bagi seorang yang tengah belajar. Dalam karya sastra ini, kita diberikan sajian cerita bahwa Ekalawya yang merupakan putra dari Sang Hiranyadhanuh sangat besar keinginannya untuk belajar memanah dan berguru pada Guru Drona. Ia tahu bahwa Guru Drona merupakan pengajar pemanah terbaik yang berguru langsung pada Ramaparasu. Akan tetapi, Ekalawya tidak diterima sebagai murid Drona karena ia berasal dari kasta Nisada atau pemburu (Hana ta sang Ekalawya ngaranya, anak sang Hiranyadhanuh, ya tahyun mangajya ri Dang Hyang Drona, ndatan tinanggap nirapan Nisadaputra).

Sementara itu, keinginan besar Ekalawya untuk berguru menjadi semakin tidak mendapatkan secercah harapan ketika guru Drona sudah diminta menjadi guru bagi para ksatria Hastina. Akan tetapi, dengan nyala semangat yang tinggi, Ekalawya membuat patung Drona lalu dengan cara berkonsentrasi pada patung itu dan informasi lisan yang ia dengarkan memberikan tuntunan tentang berbagai ajaran ilmu memanah. Hingga membuatnya benar-benar pandai karena baktinya yang sungguh-sungguh kepada seorang guru (Mgawe ta ya Drona pratima, manggalanyan pangabhyasa dhanurweda. Mogha ta widagdha de ning bhatinya ring guru). Bagian kisah ini, menunjukan adanya usaha untuk merdeka belajar yang dilakukan oleh Ekalawya dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi dirinya. Ekalawya sadar dengan bakat yang ia miliki kemudian dengan sungguh-sungguh belajar dari gurunya dalam simbol sebuah patung yang telah menuntunnya sehingga memiliki kemampuan ilmu memanah yang hebat. Konon, orang yang terbiasa melatih pikiran (manah) dengan cara fokus dan berkonsentrasi penuh, maka ia akan mendapatkan sesuatu yang ia harapkan.

Persoalan belajar bukan hanya ditentukan oleh ruang dan waktu. Sama halnya dalam situasi seperti sekarang ini, yaitu saat pandemi atau wabah virus corona yang tak kunjung berhenti membuat para pelajar tidak pergi ke sekolah dan belajar sesuai dengan waktu belajar yang ditetapkan di sekolah. Anjuran untuk megurangi aktifitas berkerumun (social distancing), membuat para pelajar harus belajar dari rumah mereka masing-masing. Dalam keadaan seperti itu, apabila kita berkaca dari kisah Ekalawya, seorang pelajar dituntut untuk memiliki etos belajar yang tinggi dengan segala keterbatasan yang ada. Ekalawya dapat membaca dengan baik kemampuan dan minat diri sehingga ia memiliki kesadaran bahwa seseorang memiliki kebebasan dalam belajar sebagai bentuk merdeka belajar untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi diri (nincapang guna gina ring angga). Dalam situasi ini, pembelajaran jarak jauh atau tidak tatap muka dengan guru hendaknya menjadi tantangan tersendiri untuk menguji kedisiplinan dan ketekunan seorang murid. Tentu para murid di zaman ini masih lebih beruntung dari Ekalawya. Para pelajar masih dapat bertatapan langsung dengan guru-guru di sekolah melalui media daring sehingga memperoleh ajarannya secara langsung, tanpa harus membuat patung guru sebagai simbol yang memberi tuntunan layaknya Ekalawya.

Dengan demikian, ada tiga hal yang mesti dicatat dan dimaknai dari kisah Ekalawya dalam hal merdeka belajar. Pertama, pembelajaran mandiri yang ia lakukan di bawah tuntunan maya dari Guru Drona menjadikannya pemanah yang sangat unggul. Kedua, dari kisah ini kita melihat bahwa etos belajar yang tinggi memang mesti terbit dari lubuk hati siswa sendiri. Pembelajaran yang bertumpu pada siswa atau (student center learning) seperti Ekalawya terbukti berhasil. Ketiga, ada semangat guru bakti “guru susrusa” dari Ekalawya yang kita bisa ikuti di zaman ini. Dari bakti kepada guru itulah jernih aliran pengetahuan senantiasa didapatkan sebagai penerang kehidupan. Walaupun dalam kisah Mahabarata, Arjunalah yang dikenal sebagai ksatria pemanah terbaik, tetapi para pembaca yang membaca karys sastra ini akan tetap mengingat bahwa Ekalawya merupakan sosok pelajar terbaik yang salampah lakunya akan tetap dikenang (@YesiCandrika BASAbali WIki)
Wikithon.jpg
Pada saat para pelajar melaksanakan anjuran pemerintah mengenai pembatasan sosial (social distancing) karena wabah Virus Corona (Covid-19) yang terjadi hampir di seluruh dunia, BASAbali Wiki mengisi waktu tersebut dengan mengadakan Wikithon. Wikithon merupakan lomba membuat kalimat berbahasa Bali pada kamus daring BASAbali Wiki. Lomba yang dilaksanakan untuk kedua kalinya semenjak tahun 2019 ini, dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 29 Maret 2020. Acara yang dimulai dari pukul 08.30 pagi hingga pukul 22.30, dibagi menjadi enam sesi. Lomba ini diikuti oleh 133 peserta pelajar dari mulai tingkat smp, sma, perguruan tinggi, hingga masyarakat umum. Para peserta berasal dari beberapa wilayah kabupaten/kota di Bali, di antaranya Denpasar, Badung, Tabanan, Karangasem, Klungkung, Buleleng, dan Gianyar. Selain itu, ada pula peserta asal Bali yang berdomisili di Thailand mengikuti lomba ini. Sebanyak 1.971 kalimat berbahasa Bali berhasil diunggah berkat acara Wikithon ini.
      Sebelum acara ini dimulai, Ketua Dewan Pembina Yayasan BASAbali Wiki yaitu DRs. I Gede Nala Antara, M.Hum. memberikan sambutannya kepada seluruh peserta melalui media daring. Beliau mengungkapkan rasa syukur dan bahagia atas banyaknya partisipasi dari para peserta untuk mengikuti acara Wikithon. Pada kesempatan itu pula, ketua dewan pembina Yayasan BASAbali Wiki juga memiliki harapan agar lomba membuat dan memasukkan kalimat-kalimat berbahasa Bali pada kamus BASAbali Wiki, keberadaaan bahasa Bali dapat terus dipertahankan, lestari, dan terus digunakan seiring dengan kemajuan saman. 
      Ketua panitia lomba Wikithon tahun 2020, I Kadek Widiantana, S.Pd.,M.Pd. juga berharap agar semakin banyak masyarakat Bali yang menanamkan rasa kecintaannya terhadap bahasa Bali sebagai bahasa ibu masyarakat Bali. Selain itu, melalui lomba Wikithon yang mneggunakan media digital atau daring, bahasa Bali diharapkan dapat semakin dekat dengan generasi muda, serta harapannya bahasa Bali senantiasa dapat digunakan sebagai sarana berkomunikasi. Harapan lainnya melalui acara ini, kata dan kalimat berbahasa Bali yang diunggah melalui media daring dapat menjadi sarana dokumentasi digital sehingga bahasa Bali dapat tetap bertahan selamanya. Tidak lupa juga beliau menjelaskan bahwa lomba Wikithon ini dapat berjalan karena bantuan dari para sponsor, di antaranya Waterboom, Sorga Bali Chocolate, United in Diversity, Matt’s Burger, Italian Riviera Restaurant and Bar, Taco Beach Grill, dan Puri Konveksi.
      Wikithon yang dilaksanakan tahun 2020 ini dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama, secara kuantitas para pemenang merupakan peserta yang menulis kalimat paling banyak disetiap sesinya dan secara kualitas para peserta mampu membuat kalimat dengan penggunaan ejaan penulisan yang tepat, baik dalam penggunaan tata bahasa, dan anggah-ungguh bahasa Bali yang baik. Para pemenang untuk kategori ini yaitu Dharma (saking Badung), Krismantara (saking Denpasar), Weda (saking Singaraja), Dharma (saking Badung), Ayumi (saking Denpasar), dan Jayanta (saking Singaraja). Sementara itu, untuk kategori yang kedua, merupakan para peserta yang secara kuantitas paling banyak mengunggah kalimat dalam setiap sesinya. Para pemenang untuk kategori ini yaitu Dharma (saking Denpasar), Bayu (saking Tabanan), Indah (saking Singaraja), Krismayanti (saking Badung), Weda (saking Singaraja), dan Krisna (saking Denpasar). 
      Salah satu mahasiswa Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya  Universitas Udayana yang merupakan salah satu pemenang lomba Wikithon tahun 2020 ini yaitu I Made Adi Krismantara mengatakan, lomba ini sangat bermanfaat. Dengan adanya lomba ini, dapat mengisi waktu belajar di rumah, sesuai dengan anjuran pemerintah untuk mencegah penularan wabah Virus Corona dengan membatasi kegiatan di luar rumah. Selain itu, dengan adanya lomba ini menjadi kesempatan yang baik untuk meningkatkan kemampuan bahasa Bali, terutama mengenai ejaan, tata bahasa, dan anggah-ungguh bahasa Bali. Semenara itu, lomba ini telah memberikan kesempatan belajar untuk lebih disiplin dan tepat waktu menulis dan mengunggah kalimat ke dalam kamus daring BASAbali Wiki. Mahasiswa yang baru duduk di semester enam ini juga berharap agar lomba Wikithon dapat diadakan setiap tahunnya.
Acara lomba Wikithon BASAbali Wiki yang diadakan selam sehari ini ditutup dengan penyerahan hadiah kepada para pemenang berupa uang, voucher, dan kenang-kenangan lainnya. Melalui acara ini, kita dapat memaknai usaha untuk melestarikan bahasa Bali dewasa ini dan sangat baik jika bersinergi dengan teknologi digital. (@YesiCandrika BASAbali Wiki)
Tumpek kandang (wewalungan).jpg
Para ahli dibidang kesehatan masih berpacu mencari dan menciptakan vaksin untuk menghentikan penyebaran virus Corona atau Covid-19. Sementara itu, merebaknya virus ini, mengakibatkan banyak korban meninggal dunia dan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Dampaknya, tentu saja tidak hanya pada masalah kesehatan. Namun, hampir semua lini kehidupan terkena pengaruh. Sebut saja dalam bidang ekonomi, pariwisata, pendidikan, dan lainya.

Penyebab dari merebaknya virus Corona atau Covid-19 sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Sementara itu, banyaknya pengaruh atau dampak yang ditimbulkan oleh virus ini terhadap kehidupan manusia, membuat banyak orang berlomba-lomba ingin menemukan penyebab dari bencana ini. Salah satunya yaitu melibatkan binatang sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Beberapa artikel di media daring menyebutkan bahwa para ahli berpacu menemukan hewan yang menjadi sumber penyebar Virus Corona. Salah satunya kelelawar liar yang santer diberitakan sebagai sumber penyakit. Tidak hanya itu, bahkan ular dan trenggiling juga sempat disebut-sebut sebagai penyebar virus yang menyerang pernafasan manusia tersebut.

Berbagai jenis binatang yang disebutkan di atas belakangan ini tentu saja menjadi sorotan di masyarakat di tengah-tengah pandemi. Sementara itu, agama Hindu di Bali sejak dulu telah memiliki cara tersendiri untuk memuliakan binatang, khususnya hewan ternak yang sering disebut dengan ingon-ingon (peliharaan) seperti segala jenis unggas (ayam, bebek, burung, dan angsa), babi, sapi, kerbau, kuda, gajah, dan babi. Hewan-hewan tersebut didoakan pada hari suci dan dibuatkan sesejen yang diperingati setiap enam bulan sekali yaitu pada Saniscara Klion Uye. Sejauh ini, yang perlu dihayati dari pelaksanaan Tumpek Kandang atau Tumpek Uye secara komperhensip telah dijelaskan dalam teks Lontar Sundarigama yaitu untuk mendokan keselamatan para hewan dan memohon keselamatan kepada Sang Hyang Rare Angon (astawakna ring sanggar, mangarcana ring Sang Hyang Rare Angon). Mengapa pemujaan ditujukan pada Sang Hyang Rare Angon? Lebih lanjut, makna dari pemujaan tersebut yaitu manusia diperkenankan memohon sisa persembahan kepada Sang Hyang Rare Angon, sesuai kodrati manusia itu sendiri bahwa unggas, ikan, dan binatang bisa dicari di dalam diri manusia. Raga manusia dibangun oleh tulang belulang (wewalungan) yang pada hakikatnya adalah manifestasi Sang Hyang Rare Angon yang menjelma dalam diri manusia (rikang wang wěnang mamarid ring Sang Hyang Rare Angon, twi tatwayan ing manusa, ikang paksi sato mina ring raganta kapraktyaksaknanta, apan raganta walungan ing śarīra twi tatwaya Sang Hyang Rare Angon, sira umawak uttama ning śarīranta). Mengacu pada ulasan teks Lontar Sundarigama jelas disebutkan bahwa pelaksanaan Tumpek Kandang atau Tumpek Uye mendudukkan bintang atau hewan sangat penting dalam kehidupan manusia. Terutama memberikan manfaat dari unsur (hewani) yang dibutuhkan untuk tubuh manusia.

Berbagai jenis binatang, baik yang dikategorikan sebagai hewan ternak, peliharaan, satwa lindung, maupun hewan liar sekali pun memiliki perannya masing-masing untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Singa misalnya, memiliki peran sebagai rajanya hutan. Ia bertugas menjaga hutan sehingga tidak mudah dirusak oleh manusia. Seperti yang termuat dalam Kakawin Nitisastra, singhā raksakaning halas halas ikāngrakṣakeng hari nityaśa/ singhā mwang wana tan patūt paḍa wirodhāngdoh tikang keśari/ rug brāṣṭa ng wana denikang jana tinor wrěkṣanya śirņāpadang/ singhānghöt ri jurang nikiang těgal ayūn sāmpun dinon durbala//(singa adalah penjaga hutan, akan tetapi selalu dijaga oleh hutan, hutannya akan dirusak oleh manusia, pohon-pohonnya semua ditebang, singa lari bersembunyi dalam jurang, di tengah-tengah ladang diserbu orang dan dibinasakan).

Sementara itu, ular dengan bisanya selain dapat mendatangkan kematian (mreta). Akan tetapi, di sisi lain ia juga dapat memberikan kehidupan (amreta) bagi kehidupan manusia. Dalam kisah Adi Parwa ketika para ular (naga) hendak meminum amrta yang telah diperoleh oleh Garuda, mereka pergi mandi terlebih dahulu. Akan tetapi, sesampainya di tempat mengambil amrta, Sang Hyang Indra telah mengambil amrta tersebut. Saat amrta itu diterbangkan, ada titik yang tertinggal pada puncak daun rumput (alalang). Itulah yang kemudian dijilat oleh para naga. Lidahnya tersayat oleh tajamnya daun alalang itu sehingga sampai sekarang dwijihwa lidahnya berbelah dua (siwak ta ya liḍahnya de ni tikṣņa ning alalang, matang yan katêka mangke dwijihwa krama nāga, maparwa ilatnya). 

Kisah ular dalam petikan Adi Parwa di atas mengingatkan manusia mengenai betapa pentingnya menghargai dan menjaga hubungan baik setiap mahluk ciptaan-Nya. Untuk itu, ada satu kisah menarik lainnya yang menjelaskan bagaimana hubungan ini dapat terus berlangsung. Dalam salah satu kisah yang termuat dalam cerita Tantri Kamandaka terdapat kisah tentang seorang brahmana yang bernama Sadnyadarma dan pandai besi yang bernama Suwarnangkara. Bagian menarik dari kisah ini yaitu saat sang pandai besi yaitu Suwarnangkara tidak membalas budi baik sang Brahmana yang telah menolongnya saat terjatuh ke sumur bersama dengan dua binatang lainnya yaitu seekor ular dan harimau. Ular dan harimau yang juga telah ditolong oleh sang brahmana, justru menyelamatkan hidup sang brahmana. Sementara itu, sang pandai besi justru hampir membuat nyawa sang brahmana dalam ancaman kematian. Terdapat ungkapan menarik yang dapat dipetik dari cerita ini. Ketika sang pendeta merenungkan lima macam sengsara (lima macam penjelmaan dalam rangka lahir kembali ke dunia fana), yaitu lebih baik berkasih sayang kepada binatang daripada kepada manusia jahat dan tidak baik pula jika tidak mengindahkan nasihat sahabat karena dapat mendatangkan bencana (Ika lěhěng masiha ring satwa, syapadi masiha ring nīca, muwah anala ning tan mangiḍěpa warah ning mitranya, bwat maněmu duḥka).

Dengan demikian, memaknai hari suci Tumpek Kandang pada situasi seperti saat ini menjadi hal yang sangat penting dan bermanfaat, sebagai suatu usaha untuk menjalin hubungan cinta kasih antara manusia dan binatang sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Untuk itu, keseimbangan ekosistem pun dapat tetap terjaga.
Tedung jagat.jpg
Wibisana tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, saat mengetahui kakak tertuanya Rahwana telah gugur di medan perang. Sekali pun Rahwana berada dalam jalan ketidak benaran, Wibisana merasa bersedih hati, meratapi kepergian saudara kandungnya itu. Pada saat itu juga, Rama pun hadir menghibur hati Wibisana yang sedang diliputi mendung kedukaan. Rama memuji Rahwana sebagai seorang yang terpuji melakukan tapa dan terkenal sebagai raja besar dunia yang tidak gentar gugur di medan perang. Setiap orang yang gugur dalam pertempuran mendapatkan sorga (prasasta sira nguni sampun tapa, gahan ta sira cakrawartting jagat, pejah sir ataman surud ring rana, asing mati mamuk ya moksatmaka).. Demikianlah sang maha bijaksana, senantiasa memberikan keteduhan dan memberikan kesejukan dalam setiap kata-katanya. Kemenangannya atas kekalahan Rahwana tidak menjadikan Sang Rama jumawa. Ia justru menempatkan dirinya dalam suasana kedukaan di Kerajaan Alengka. Kemudian, Rama pun meminta Wibisana yang memiliki perilaku susila dan patuh pada ajaran agama untuk memimpin kerajaan. Selanjutnya, nasihat-nasihat Rama itu pun dialirkannya pada Wibisana.

Salah satu fragmen dalam Kakawin Ramayana di atas, memberikan wawasan yang penting mengenai persoalan pemimpin (orang yang memimpin) dan kepemimpinan (cara memimpin), yang dapat dipelajari dalam konteks kehidupan saat ini. Pemimpin sering kali menjadi figur keteladan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin atau raja hendaknya berperilaku baik dan mendidik sehingga layak dijadikan contoh. Kakawin Nitisastra telah mempertegas hal tersebut bahwa kewajiban seorang raja memberi pelajaran kepada segenap rakyatnya, dari golongan utama, madya, nista sekalipun. Pemimpin harus mendidik mereka berkelakuan baik (tingkahnikang prabhu sumiksa ri bhretya sanggya, sakwehnya kottama kamadhya lawan kanista, yeka warah warahaneka ya karma yukti). Untuk itu, penjadi pemimpin tidaklah mudah sehingga ada istilah bahwa sebelum memimpin orang lain, hendaknya terlebih dahulu belajar memimpin diri sendiri. Hal ini pun dinasehatkan Rama kepada Wibisana bahwa diri pribadi hendaknya dinasihati terlebih dahulu dengan inti kebenaran. Kemudian, setelah yakin berpegang dan melaksanakan ajaran agama, maka para hulubalang dan menteri pun akan mengikuti (awakta rumuhun warah ring hayu, telas ta mapageh magom agama, teke rikang amatya mantra tumut).

Lebih lanjut, selain Kakawin Ramayana dan Kakawin Nitisastra yang telah diungkapkan di atas, ajaran-ajaran kepimimpinan yang tersimpan dalam karya sastra lainnya sebagai dokumen intelektual sangat baik untuk dibaca, direnungkan, dan diamalkan. Misalnya, dalam teks Kakawin Sutasoma yang menekankan cinta kasih dalam kepemimpinan, Geguritan Niti Raja Sasana yang memuat tentang nilai-nilai dari seorang pemimpin, Udyogaparya, Arjunawiwaha, dan lain sebagainya. Teks-teks ini memberikan rujukan penting untuk para pemimpin dalam memangku tanggung jawabnya. Hanya saja, sejauh mana kegiatan literasi dilakukan oleh seorang pemimpin? Jika tidak melalui aktifitas literasi dengan kegiatan membaca salah satunya, lalu dari manakah sumber pengetahuan seorang pemimpin itu? Apalagi pemimpin yang hendak dijadikan panutan oleh masyarakat?

Sejauh ini, dalam catatan sejarah sosok pemimpin Bali yang dikenal kepemimpinannya, yaitu I Gusti Ngurah Made Agung atau Cokorda Denpasar. Raja Badung yang juga dikenal dengan sebutan Cokorda Mantuk Rinng Rana memimpin perang puputan saat melawan penjajah Belanda pada tanggal 20 September 1906. Sementara itu, kepemimpinan I Gusti Ngurah made Agung sebagai raja Badung, memiliki kekuasaan yang tidak hanya dirasakan di Badung, tetapi juga di Bali pada umumnya. Konsentrasi Belanda yang menganggap raja Badung adalah representasi kekuatan Bali yang menyebabkan Belanda mengarahkan perhatiannya ke wilayah ini.

I Gusti Ngurah Made Agung sebagai seorang pemimpin yang bersenjatakan keris, juga mempersenjatai dirinya dengan pisau tulis. Maksudnya, beliau melakukan aktifitas literasi dengan mengarang sejumlah karya sastra. Untuk itu, beliau juga disebut sebagai pemimpin yang bertongkatkan sastra. Sejumlah karya sastra yang beliau tulis seperti, Geguritan Loda, Niti Raja Sasana, Hredaya Sastra, Dharma Sasana, Nengah Jimbaran, dan Purwa Sanghara (Agastia, 2006: 7). Kemampuan mengolah rasa dan bahasa yang dimiliki oleh I Gusti Ngurah Made Agung sangat luar biasa. Misalnya dalam salah satu karyanya yang berjudul Geguritan Dharma Sasana, beliau menunjukkan kemampuannya dalam menggunakan bahasa Jawa-Mlayu (Basa cara Jawa Mlayu). Selain itu pada Geguritan Cara Mlayu (Geguritan Nengah Jimbaran), I Gusti Ngurah Made Agung menunjukkan kemampuannya dalam menggunakan bahasa Mlayu. Sementara itu, pada geguritan yang terpanjang dan terbesar yang beliau tulis, yaitu Geguritan Purwa Sanghara menggunakan bahasa Bali dengan jenis tembang ala Surakarta (nanging tembang cara Surakarta/ basa Bali pangikete). Demikianlan seorang pemimpin yang bersastra, mampu menuntun rakyatnya pada jalan kebenaran.

Pemimpin yang mampu menuntun jika diumpamakan dalam sebuah banawa (kapal), maka seorang pemimpin adalah nahkodanya. Seorang nahkoda di sebuah kapal, memiliki peranan sebagai penyelamat atau dapat pula menjadi penyebab atas kematian dan kesengsaraan para penumpangnya saat badai besar menyerang. Pemimpin yang dapat menjadi payung peneduh (catraning jagad), yaitu melindungi dan mengayomi seluruh rakyatnya secara adil sehingga mewujudkan kesejahteraan hidup.
WhatsApp Image 2020-04-09 at 11.48.42 PM.jpeg
Salah satu usaha masyarakat Hindu di Bali untuk menangkal pengaruh buruk dari unsur-unsur negatif (Buta) pada diri yaitu dengan menggelar upacara taur ketika waktu senjakala yang jatuh pada Tilem Kasanga. Upaya tersebut dilakukan dengan menghaturkan sesajen, segehan, maupun caru. Setelah melaksanakan taur atau yang disebut juga dengan Taur Agung Kasanga, maka dilanjutkan dengan acara ngrupuk yang bermakna memulangkan Bhuta Kala ke tempat asalnya masiing-masing dengan menggunakan sarana api dan dilanjutkan dengan tradisi mengarak Ogoh-Ogoh (simbol Buta) keliling desa. Demikian usaha umat Hindu di Bali untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari bahaya dan pengaruh buruk. Selanjutnya, pada keesokan harinya masyarakat me-Nyepi selama sehari penuh.

Bagi masyarakat Hindu di Bali bahkan warga dunia, pelaksanaan hari suci Nyepi tahun 2020 (Saka 1940) ini menjadi sedikit berbeda. Ada hal yang lebih menakutkan dan menyeramkan dari pada sosok Buta yang dapat mendatangkan pengaruh buruk bagi kehidupan manusia. Merebaknya wabah (sasab merana) yang disebut dengan Corona atau Covid-19 di sejumlah daerah membuat masyarakat Hindu di Bali melakukan kegiatan menyepi di rumah masing-masing lebih awal dari waktu datangnya Hari Suci Nyepi (sosial distancing). Masyarakat diharapkan melakukan kegiatan di rumah masing-masing dan mengurangi aktifitas di luar rumah. Secara etimologi kata taur berarti membayar dan arti lainnya yaitu kurban. Selanjutnya kata agung merujuk pada arti kata besar dalam kaitannya dengan semesta atau kosmos (Bhuana Agung). Sementara itu, kata kasanga berarti bulan (sasih) kesembilan dalam perhitungan kalender masehi. Dengan demikian, makna dari upacara Tawur Agung Kesanga adalah upacara atau yadnya yang dipersembahkan kepada alam semesta pada bulan kesembilan tepatnya pada Tilem Kasanga. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa sebelum upacara taur dilakukan, masyarakat Hindu diharapkan membuat upacara Bhutayajnya berupa caru dimulai dari desa-desa hingga setiap rumah dengan tingkatan yang paling nista hingga utama. Lebih lanjut, dijelaskan dalam lontar Sundarigama bahwa pada waktu Tilem Kasanga ini bisa saja terjadi peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang aneh akibat kegelapan pikiran manusia. Apabila masyarakat Hindu tidak melaksanakan upacara taur beserta prosesi lainnya maka akan dapat menimbulkan kehancuran alam semesta (Bhuana Agung), penyakit merajarela (gering sasab marana magalak), dan perilaku manusia yang aneh serta kejam karena dirasuki unsur-unsur Buta (wwang kasurupan Kala Buta) dan mengakibtakan huru hara dimana-mana. Sebagaimana yang dijelaskan dalam lontar Sundarigama masyarakat Hindu memiliki dasar sastra dan keyakinan yang kuat bahwa dengan melakukan upacara taur maka dapat menetralisasi kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya hal-hal yang aneh sehingga alam semesta dapat kembali seimbang dan manusia hidup selamat dan sempurna (mulih hayu ning praja mandhala sarat kabeh, wang ring sarwajanma, wastu ya paripurna). Dalam menyikapi wabah (sasab merana) Corona atau Covid-19 yang tengah menyerang manusia hampir di seluruh belahan dunia akhir-akhir ini, sepertinya masyarakat Bali memiliki harapan yang begitu besar terhadap jalannnya pelaksanaan taur pada Nyepi tahun ini. Dengan kata lain, apabila upacara taur dapat dilakukan secara baik dan benar maka pandemi yang berkepanjangan dan telah menelan banyak korban di dunia menjadi sangat mungkin untuk dihentikan dan segala macam hama penyakit pulang kembali ke laut (sasab marana pada mantuk maring samudra). Apalagi setelah upacara taur masyasrakat Hindu melaksanakan hari suci Nyepi yang diyakini sebagai hari penjernihan batin melalui Catur Brata Penyepian. Selain itu, setelah Sasih Kasanga berlalu maka Sasih Kadasa yang dianalogikan sebagai keadaan yang bersih atau suci (kedas) diharapkan mendatangkan sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan manusia. Mengacu pada pelaksanaan Nyepi dan datangnya Sasih Kadasa setalahnya, krama Hindune mengharapkan dapat membersihkan sekaligus menyucikan dirinya secara batiniah. Namun, kenyataannya, akhir-akhir ini dengan adanya wabah Covid-19 ini tubuh manusia (Bhuwana Alit) sepertinya membutuhkan juga suatu persembahan semacam taur untuk menangkal virus yang menyerang manusia secara lahiriah. Wabah virus yang tengah menjadi ancaman dan kekhawatiran warga dunia ini menyerang tubuh manusia melalui sistem pernafasan sehingga melemahkan fisik bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam kitab kuna seperti Wrhspatitatwa disebutkan bahwa Bumi dan tubuh sama-sama disebut dengan Sarwatattwa (hal-hal yang bersifat kenyataan dalam kaitannya dengan unsur-unsur Panca Maha Buta). Kelima elemen bumi seperti tanah, air, api, angin, dan udara juga ada di dalam tubuh manusia yang disimbolkan dengan daging, darah, panas tubuh, nafas, dan rongga. Untuk itu, sepertinyah tubuh juga memerlukan semacam taur yang diharapkan dapat menangkal penyakit seperti wabah. Lalu taur yang seperti apa yang dapat dipersembahkan atau disadhanakan kepada tubuh untuk membuatnya tetap sehat? Apabila badan halus (suksma sarira) membutuhkan persembahan berupa tapa (pengendalian indera) dan brata (pantangan) untuk dapat membersihkan dan menyucikan diri, maka badan kasar sebagai wadah jiwa (stula sarira) membutuhkan viitamin, protein, mineral, dan lainnya yang berasal dari sari-sari makanan yang baik dikonsumsi tubuh untuk dapat menyehatkan tubuh dan menjauhkan segala macam penyakit. Teks Nitisastra menyebutkan bahwa tanda makanan yang baik ialah dapat membuat badan sehat (ring wara bhoga pustining awakya juga panengeran). Untuk mendapatkan makanan yang baik, maka penting juga mengetahui makanan yang tidak baik dikonsumsi tubuh yang dapat menjadi racun. Lebih lanjut, dalam Nitisastra disebutkan bahwa orang yang baik-baik tidak boleh makan daging yang tidak suci. Ia harus menjahuhi segala yang mengotori badan dan segala yang mendekatkan musuh lahir batin kepadanya. Adapun yang termasuk daging yang tidak baik yaitu daging tikus, anjing, katak, ular, ulat, dan cacing. Semua itu makanan yang terlarang, untuk itu perlu dihindari (Haywa mamukti sang sujana karta pisita tilaren, kasmalaning sarira ripu wahya ri dalem aparek, lwirnika kasta mangsa musika sregala wiyung ula, krimi kawat makadinika papahara hilangken). Sehubungan dengan ulasan yang termuat dalam Nitisastra bahwa makanan yang baik sebagai salah satu sumber kesehehatan tubuh, maka ada kemungkinan pula bahwa salah satu timbulnya wabah Covid-19 yang sedang menyerang manusia bersumber dari makanan yang tidak baik. Taur pada tubuh dengan bersaranakan jenis makanan yang baik, cara mengolah yang tepat, dan menciptakan rasa nyaman untuk tubuh sangat perlu diperhatikan sebagai upaya untuk menghargai kerja keras tubuh. Apa dan bagaimana mengolah makanan yang akan dimasukkan ke mulut, sudah saatnya mendapatkan perhatian yang penting. Faktanya, perawatan tubuh dari luar saja seperti olah raga dan aktifitas memanjakan tubuh lainnya tidak cukup untuk mewujudkan tubuh yang sehat. Perawatan ke dalam tubuh melalui makanan-makanan yang dianggap baik dapat membuat wabah atau virus sulit masuk atau pun berkembang di dalam tubuh. Mengenai makanan bagi seorang pendeta (orang suci) misalnya, seperti yang diuraikan dalam lontar Wrati Sasana (teks sasana untuk seorang pandita dalam menjalankan brata) bahwa segala jenis makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh sangatlah penting untuk diperhatikan terutama penganut siddhanta yang melaksanakan brata suci (tan yogya ika bhaksan de sang siddhanta suddha brata). Jenis makanan yang dianggap tidak suci misalnya daging manusia, kera, sapi, harimau, gajah, kuda, kucing, kodok, dan ular. Sementara itu, semua binatang yang bentuknya aneh dikategorikan sebagai makanan yang nista misalnya lintah, ulat, kuricak, sebangsa biawak, kalajengking, kadal, tokek, dan cecak. Lebih lanjut, terdapat pula makanan yang boleh disantap (muwah ikang yogya bhaksaken) di antaranya babi hutan, ayam hutan, kerbau, itik, burung, dan segala jenis ikan sungai dan ikan laut kecuali jenis buaya dan ikan besar dengan wajah menyeramkan. Mengenai proses memasaknya pun perlu diperhatikan yaitu apabila saat proses mengerjakan makanan yang dibuat dihinggapi bintang seperti lalat, nyamuk, limpit,tuma, tengu, kutu busuk, kapinjal demikian itu cemar adanya, tidak benar disantap karena telah dianggap kotor. Sama halnya dengan berbagai macam tumbuhan yang tumbuh di bumi bahwa tidak semua tumbuh-tumbuhan yang berdaun hijau dapat dikonsumi untuk mendapatkan asupan vitamin maupun zat yang baik untuk tubuh dari unsur nabati. Demikian pula untuk memperoleh zat untuk tubuh yang berasal dari unsur hewani, apabila mengacu pada dua teks lontar yaitu Nitisastra dan Wrati Sasana bahwa tidak semua jenis binatang dapat dikonsumsi untuk tubuh. Selain makanan yang baik maka lebih lanjut perlu juga memperhatikan kesuciannya sehingga layak dijadikan sadana atau pesembahan untuk tubuh.

Makanan yang baik, bersih, dan suci itulah yang hendaknya di sadanakan untuk tubuh, dijadikan persembahan (taur). Kapan taur untuk tubuh itu dilakukan? Itu semua diserahkan pada individu masing-masing. Bumi (jagad besar) dan tubuh (jagad kecil) sama-sama harus dipelihara dan diseimbangkan dengan baik. Bumi adalah ruang untuk hidup bagi seluruh ciptaan-Nya. Semenatara tubuh adalah stana atma untuk yang memberikan kehidupan. (Yesi Candrika BASAbaliWiki)
Nothing was added yet.