Putu Eka Guna Yasa

Dari BASAbaliWiki
Lompat ke:navigasi, cari
20220530T161122726Z265611.jpeg
Nama lengkap
Putu Eka Guna Yasa
Nama Pena
Putu Eka Guna Yasa
Photograph by
Link to Photograph
Website for biography
Tempat
Denpasar
Related Music
Related Books
Related Scholars Articles


Tambahkan komentar
BASAbaliWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

Biodata


In English

Putu Eka Guna Yasa was born on January 6, 1990 in Banjar Selat Tengah, Susut, Bangli. Completed his undergraduate education at the Balinese Literature Study Program, the Faculty of Cultural Sciences, Udayana University in 2012 and a master's degree in the Linguistics Masters Program with Pure Linguistic Concentration, Faculty of Cultural Sciences, Udayana University in 2017. He also attended the International Intensive Course in Old Javanese organized by the National Library in 2018 and 2019. Since 2013 he has worked as a staff at the Center for Lontar Studies at Udayana University. Actively writes articles in various media such as Bali Post, Post Bali, and Tribun Bali both in Balinese and Indonesian. A number of his articles were published in Prabhajnyana Book: The Study of Lontar Literature such as (1) The Meeting of Natural Beauty and the Beauty of Language in Kidung Dampati Lelangon; (2) Water Image in Ancient Javanese and Balinese Literary Library Temples; (3) Kidung Bhuwana Wisana: Aesthetic Heritage by Ida Padanda Ngurah; and (4) Sarira Devotees and Explorers. Gedong Kirtya published books about the world of Balinese literacy, including the Brata Term Dictionary in the Bali Lontar Library and the Synonym Dictionary in the Dasa Nama Lontar. Putu Eka Guna Yasa received an award as a Literacy Activist Youth from the Bali Language Center in 2018. Since that year, he has been appointed as a lecturer at the Balinese Literature Study Program, Faculty of Cultural Sciences, Unud. Since 2020 as executive director at the BASAbali Wiki foundation.

In Balinese

In Indonesian

Putu Eka Guna Yasa lahir pada tanggal 6 Januari 1990 di Banjar Selat Tengah, Susut, Bangli. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana pada tahun 2012 dan Magister Linguistik dengan Konsentrasi Linguistik Murni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana pada tahun 2017. Beliau juga mengikuti International Kursus Intensif Bahasa Jawa Kuna yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2018 dan 2019. Sejak tahun 2013 bekerja sebagai staf di Pusat Studi Lontar Universitas Udayana. Aktif menulis artikel di berbagai media seperti Bali Post, Post Bali, dan Tribun Bali baik dalam bahasa Bali maupun bahasa Indonesia. Sejumlah artikelnya dimuat dalam Buku Prabhajnyana: Kajian Sastra Lontar seperti (1) Pertemuan Keindahan Alam dan Keindahan Bahasa di Kidung Dampati Lelangon; (2) Citra Air di Pura Perpustakaan Sastra Jawa Kuno dan Bali; (3) Kidung Bhuwana Wisana: Warisan Estetika oleh Ida Padanda Ngurah; dan (4) Penyembah dan Penjelajah Sarira. Gedong Kirtya menerbitkan buku-buku tentang dunia literasi Bali, antara lain Kamus Istilah Brata di Perpustakaan Lontar Bali dan Kamus Sinonim di Dasa Nama Lontar. Putu Eka Guna Yasa mendapat penghargaan sebagai Pemuda Aktivis Literasi dari Bali Language Center tahun 2018. Sejak tahun itu, ia diangkat sebagai dosen di Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Unud. Sejak tahun 2020 sebagai direktur eksekutif di yayasan BASAbali Wiki.

Contoh karya

20230214T012620862Z799004.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230217T044905637Z918883.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230214T012336671Z044401.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230217T035445819Z454217.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230217T034747867Z530941.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230217T035252463Z672955.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230217T035038978Z889345.jpeg
Aksara Wreastra adalah aksara Bali yang berjumlah 18 aksara, yaitu Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja, Ya, dan Nya. Aksara Bali berbeda dengan aksara Jawa jika dihubungkan dengan jumlah dan bentuknya. Perkembangan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan cerita Sang Aji Saka yang berkembang di Jawa. Karya Baligrafi tentang aksara Wreastra ini dibagi menjadi tujuh karya, yaitu Ha-Na, Ca-Ra-Ka, Ga-Ta, Ma-Nga-Ba, Sa-Wa-La, Pa-Da, dan Ja-Ya-Nya yang berarti ada pengawal yang berperang sama kesaktiannya. Baligrafi ini berukuran besar dibuat di kanvas dengan bingkai kayu diletakkan di Unit Lontar Universitas Udayana.
20230314T044216214Z089092.jpeg
Baligrafi Dasaksara Hanoman ini terdiri atas dua bentuk, yaitu Kayonan dan Hanoman. Dasaksara terlukiskan di dalam Kayonan. Dasaksara adalah sepuluh aksara suci sebagai penghubung diri manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Dasaksara terdiri atas sepuluh wijaksara, yaitu Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Śing, Wang, Yang. Kesepuluh wijaksara ini berasal dari delapan aksara wianjana (sa, ba, ta, na, ma, si, wa, dan ya) dan dua aksara suara (a dan i). Jika dirangkai sepuluh wijaksara ini membentuk kalimat: sabatai nama siwaya yang merupakan doa untuk memuliakan Dewa Siwa. Namun, Dasaksara yang terlihat dalam kayonan hanya sedikit saja karena tertutup oleh badan Hanoman. Wijaksara yang terlihat adalah Ong, Ang, Ung, Mang, Sang, Bang, miwah Tang.

Hanoman adalah tokoh dalam wiracarita Ramayana. Hanoman adalah putra Dewi Anjani. Dewi Anjani adalah seorang bidadari yang dikutukan dan terlahir ke dunia sebagai wanara wanita. Kutukan itu berakhir jika ia melahirkan seorang putra titisan Siwa. Dewi Anjani menikah dengan Kesari. Kesari dan Dewi Anjani melakukan tapa agar Dewa Siwa bersedia menjelma sebagai putra mereka. Oleh karena Kesari dan Dewi Anjani teguh dalam pertapaannya, Dewa Siwa mengabulkan permohonan mereka dan turun ke dunia sebagai Hanoman.

Jika dimaknai, Baligrafi Dasaksara Hanoman ini adalah bentuk pemuliaan kepada Dewa Siwa yang dimasifestasikan ke dalam sosok Hanoman.
20230125T041056795Z178306.png
Menerjemahkan merupakan salah satu puncak keterampilan IGB Sugriwa yang kini semakin langka. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas dua hal, yaitu: (1) menelusuri karya terjemahan yang dihasilkan oleh IGB Sugriwa; (2) model penerjemahan yang dikembangkan oleh IGB Sugriwa dalam Kakawin Rāmatantra. Untuk mencapai tujuan tersebut, artikel ini menggunakan metode penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Pada tahap penyediaan data, digunakan metode observasi dan wawancara untuk menemukan karya terjemahan IGB Sugriwa. Selanjutnya, terjemahan IGB Sugriwa diklasifikasikan menurut genre dan Kakawin Rāmatantra dianalisis untuk menemukan model terjemahan yang dikembangkan oleh IGB Sugriwa. Berdasarkan analisis tersebut, artikel ini menemukan bahwa IGB Sugriwa telah menerjemahkan 13 karya sastra. Karya-karya terjemahan termasuk dalam karya sastra seperti Kakawin Dharma Shunya (1954), Kakawin Sutasoma (1956), Bharata Yuddha (1958), Kakawin Ramayana (1960), Kakawin Arjuna Wiwaha (1961) dan Kakawin Rāmatantra(t.t). Sedangkan karya terjemahan yang termasuk dalam pidato tersebut adalah Sang Hyang Kamahayanikan (1957) dan Sarasamuccaya (1967). Sementara IGB Sugriwa juga cukup produktif menerjemahkan teks-teks yang berkaitan dengan historiografi tradisional Bali lintas marga seperti Babad Pasek (1957), Babad Blahbatuh (1958), Dwijendra Tattwa (1967), Babad Pasek Kayu Selem (tt), dan Prasasti Pande. (tt). Model penerjemahan yang dikembangkan oleh IGB Sugriwa dalam Kakawin Rāmatantrais dirumuskan menjadi empat tahap, yaitu (1) kosabasa (kosa kata); (2) kretabasa (tata bahasa), (3) bhasita paribhasa (gaya bahasa); dan bhasita mandala (konteks budaya).
20230313T045138060Z239028.jpeg
Mahakala adalah salah satu perwujudan Dewa Siwa sebagai maha pemusnah. Dalam mitologi Hindu, Mahakala muncul dalam sosok yang ganas dan menakutkan. Dalam baligrafi ini, Mahakala ditunjukkan dalam bentuk Ong-kara sebagai pusat yang di dalamnya disebutkan dewata nawa sanga dan aksara suci. Dewata Nawa Sanga meliputi Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewa Mahadewa, Dewa Rudra, Dewa Sangkara, dan Dewa Sambu. Aksara suci meliputi Ong-kara adalah simbol suci Sang Hyang Widhi yang berwujudkan Dewa Siwa. Wijaksara Ang-kara sebagai aksara suci Dewa Wisnu. Selain Ong-kara dan Ang-kara juga terdapat wijaksara Bang sebagai aksara suci Dewa Brahma yang terletak pada arah selatan, wijaksara Mang aksara suci Dewa Rudra yang terletak pada arah barat daya, wijaksara Tang aksara suci Dewa Mahadewa yang terletak pada arah barat, dan wijaksara Śing aksara suci Dewa Sangkara yang terletak pada arah barat laut. Yang sangat menarik dalam baligrafi ini adalah ditambahkannya jam dinding dengan angka latin di dalamnya. Jadi keterkaitan antara baligrafi mahakala dengan jam dinding: Mahakala adalah perwujudan Dewa Siwa sebagai dewa mahautama, sebagai penguasa waktu dan semua unsur yang ada di alam semesta (sakala dan niskala).
IGB Sugriwa's Model of Translation in Kakawin Rāmatantra: The Effort to Continue the Springs Of Literature to Various Era