Property:Biography example text id
From BASAbaliWiki
P
Mahakala adalah salah satu perwujudan Dewa Siwa sebagai maha pemusnah. Dalam mitologi Hindu, Mahakala muncul dalam sosok yang ganas dan menakutkan. Dalam baligrafi ini, Mahakala ditunjukkan dalam bentuk Ong-kara sebagai pusat yang di dalamnya disebutkan dewata nawa sanga dan aksara suci. Dewata Nawa Sanga meliputi Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewa Mahadewa, Dewa Rudra, Dewa Sangkara, dan Dewa Sambu. Aksara suci meliputi Ong-kara adalah simbol suci Sang Hyang Widhi yang berwujudkan Dewa Siwa. Wijaksara Ang-kara sebagai aksara suci Dewa Wisnu. Selain Ong-kara dan Ang-kara juga terdapat wijaksara Bang sebagai aksara suci Dewa Brahma yang terletak pada arah selatan, wijaksara Mang aksara suci Dewa Rudra yang terletak pada arah barat daya, wijaksara Tang aksara suci Dewa Mahadewa yang terletak pada arah barat, dan wijaksara Śing aksara suci Dewa Sangkara yang terletak pada arah barat laut. Yang sangat menarik dalam baligrafi ini adalah ditambahkannya jam dinding dengan angka latin di dalamnya.
Jadi keterkaitan antara baligrafi mahakala dengan jam dinding: Mahakala adalah perwujudan Dewa Siwa sebagai dewa mahautama, sebagai penguasa waktu dan semua unsur yang ada di alam semesta (sakala dan niskala). +
Menerjemahkan merupakan salah satu puncak keterampilan IGB Sugriwa yang kini semakin langka. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas dua hal, yaitu: (1) menelusuri karya terjemahan yang dihasilkan oleh IGB Sugriwa; (2) model penerjemahan yang dikembangkan oleh IGB Sugriwa dalam Kakawin Rāmatantra. Untuk mencapai tujuan tersebut, artikel ini menggunakan metode penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Pada tahap penyediaan data, digunakan metode observasi dan wawancara untuk menemukan karya terjemahan IGB Sugriwa. Selanjutnya, terjemahan IGB Sugriwa diklasifikasikan menurut genre dan Kakawin Rāmatantra dianalisis untuk menemukan model terjemahan yang dikembangkan oleh IGB Sugriwa. Berdasarkan analisis tersebut, artikel ini menemukan bahwa IGB Sugriwa telah menerjemahkan 13 karya sastra. Karya-karya terjemahan termasuk dalam karya sastra seperti Kakawin Dharma Shunya (1954), Kakawin Sutasoma (1956), Bharata Yuddha (1958), Kakawin Ramayana (1960), Kakawin Arjuna Wiwaha (1961) dan Kakawin Rāmatantra(t.t). Sedangkan karya terjemahan yang termasuk dalam pidato tersebut adalah Sang Hyang Kamahayanikan (1957) dan Sarasamuccaya (1967). Sementara IGB Sugriwa juga cukup produktif menerjemahkan teks-teks yang berkaitan dengan historiografi tradisional Bali lintas marga seperti Babad Pasek (1957), Babad Blahbatuh (1958), Dwijendra Tattwa (1967), Babad Pasek Kayu Selem (tt), dan Prasasti Pande. (tt). Model penerjemahan yang dikembangkan oleh IGB Sugriwa dalam Kakawin Rāmatantrais dirumuskan menjadi empat tahap, yaitu (1) kosabasa (kosa kata); (2) kretabasa (tata bahasa), (3) bhasita paribhasa (gaya bahasa); dan bhasita mandala (konteks budaya). +
kumpulan puisi, 2012 +
kumpulan cerpen, 2015 +
buku kumpulan esai (2007) +
Buku kumpulan cerpen (2005) +
sebuah novel, 2012 +
Memunjung, adalah sebuah bentuk penghormatan dan rasa solidaritas dengan yang telah berpulang. Hal ini dijalankan oleh anggota keluarga dengan mengunjungi kerabat yang telah meninggal dunia di taman pemakaman. Tradisi memunjung telah dipraktikkan sejak periode Hindu-Budha dan berkembang dengan sangat baik di pulau Jawa dan Bali. Komunitas di Bali menerapkan kebiasaan ini pada hari-hari raya tertentu, seperti Galungan, Kuningan, dan Pagerwesi. Sementara itu, warga di Jawa menjalankan prosesi memunjung selama berlangsungnya hari raya Idul Fitri. Warga Hindu Bali umumnya menghaturkan tampelan punjung dan banten punjung kepada para arwah leluhur, keluarga, maupun kerabat yang dimakamkan di taman pemakaman. Pada hari khusus tertentu, pengunjung juga membawa makanan kesukaan untuk dinikmati “bersama” dengan kerabat yang telah dimakamkan. Pada masa sekarang ini, tradisi berziarah sudah jarang dilakukan oleh warga Bali, khususnya bagi mereka yang berdomisili di wilayah dengan aturan pemakaman yang cukup longgar. Beberapa berpendapat bahwa meningkatnya standar hidup warga Bali dan peningkatan teknologi berperan terhadap bergesernya pola pikir masyarakat mengenai prosesi pemakaman itu sendiri. Oleh karenanya, hanya tersisa beberapa wilayah saja yang masih menjalankan tradisi pemakaman bagi yang meninggal dunia. +
"sarana sarat akan makna. Dalam Simbol benih Aksara lya menata inti Mantra Yg menghidupkan Dunia "
Setiap sarana upacara selalu sarat makna. Laksana cahaya yg menerangi kehidupan bagi manusia yg berBudaya yg menuntunnya untuk selaras pada Alam semesta.
Hidup tak lepas dari dua hal yg berbeda namun berpasangan (Rwa Bhineda) yg disimbolkan Arak - Berem yg lahir melalui dua perjalanan berbeda
"Penyucian"dan "Pemurtian". Dan Ketika disebut Aksara Mantra memang tak semua wenang mengucapnya,
Sebab itulah Mantra hadir lewat sarana yg disebut jalan menata mantra. Menghadirkan Mantra walau tidak
diucapkan.
Akulah "Dwi Aksara "yg tak tertebak hanya dengan melihat dari spektrum warna yg tertangkap retina,Bila saat penyatuanku terjadi, memang tak satupun manusia dapat mengukur kedalaman bahkan keadaannya. +
Indonesia diketahui sebagai negara demokratis, namun masih banyak terhadap kasus intoleransi terutamanya intoleransi terhadap kaum minoritas seperti kaum LGBTQ. Indonesia juga masih tergolong kedalam negara yang belum berpihak sepenuhnya kepada kaum ini karena norma-norma agama beserta berbagai aturan yang membatasi ruang gerak kaum LGBTQ. Kehidupan sosial masyarakat Indonesia masih berpegang teguh pada konsep heteronomativitas dimana kaum hetero adalah “normal” sedangkan yang lainnya adalah “abnormal.” Diskriminasi terhadap kaum LGBTQ juga muncul diantara para remaja muda, tidak diterima oleh masyarakat dan bahkan tidak bisa menjadi diri mereka sendiri didepan teman dan keluarga sendiri. Pendidikan terkait gender dan seksualitas penting adanya di tingkat universitas di Indonesia untuk dapat memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat, terutama kepada remaja muda, yang mana diharapkan pada akhirnya akan meningkatkan toleransi masyarakat terhadap kaum LGBTQ. Studi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menyebarkan kuesioner (anonimus) kepada sejumlah informan. Data pendukung dari berbagai literatur juga digunakan dalam penelitian ini. Hasil menunjukkan bahwa banyak kaum remaja muda LGBTQ yang merasa termarjinalisasi dari keluarganya sendiri maupun teman-temannya. Mereka tidak dapat menunjukkan orientasi seksual mereka tanpa disertai rasa takut dari gunjingan publik. +
Buku tentang seluk-beluk kesenian Barong Brutuk di Terunyan, Kintamani. +
Di Bunutin, sebuah desa di tepi kaldera Batur, Kintamani, tinggallah Mongah, sang manusia pakis. Di sana, Mongah telah menjaga mereka dari petaka selama ratusan tahun,—petaka terbesar yang lahir dari kesombongan manusia. +
NGEPIK TANAH PLEKADAN
(Putu Sedana)
Nyanyian Utara memetik tanah kelahiran
Memetik bintang bertebaran
Kebahagiaan berbau hingga dalam mimpi
Ada kisah yang turun dari Bukit Tua
Merayu-rayu
Kisah menghitung angin
Beranikah membelah diri pada filsafat?
Maksud hati meninggalkan nafsu
Kemalaman di taman penantian
Mencari sesuatu seperti sesuatu
Membawa sepi di ketiadaan
Memetik tanah kelahiran +
Jumlah perempuan Bali yang menempuh pendidikan di bidang pariwisata pada berbagai tingkatan menunjukkan peningkatan sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan pariwisata dan industri pariwisata di Bali. Artikel ini menganalisa motivasi perempuan Bali dalam menempuh pendidikan pasca sarjana di bidang pariwisata, dimulai dari tingkat sarjana hingga doktoral. Menggunakan metode kuantitatif, artikel ini menampilkan data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan 30 perempuan bali yang termotivasi untuk mengambil pendidikan bidang pariwisata karena beberapa alasan, seperti motivasi untuk mendapatkan pekerjaan di bidang pariwisata, mereka memiliki kerabat yang juga bekerja di bidang pariwisata, dan mereka tinggal di Bali dimana terdapat banyak peluang kerja di bidang ini. Dengan mengambil pendidikan kepariwisataan, perempuan Bali yang menjadi informan bagi studi ini membuktikan bahwa mereka telah menemukan pekerjaan dan karir yang lebih baik pada sektor ini. Pengalaman mereka juga menjadi inspirasi bagi perempuan Bali lainnya untuk menjalani karir yang serupa. +
Puisi Tanah Bali
(1)
kita bangun mimpi
dari khayal anak anak lahir
di pantai meski kelam terasa
buih ombak teresap ke balik pasir
roda kereta kala terus bergerak
memanjat langit, menyusur lembah
batang batang pohon tua
kulit berselimut lumut
cuaca basah
aku mencatat
perjalanan panjang
memilah kesiasiaan
mengapa setiap membangun
cinta mesti memperoleh kenikmatan
padahal kerinduan karena kelahiran
yang mempesona
di tubuh januari tahun anjing
masih terdengar gemuruh hujan desember
angin dingin membeku nanah luka
ah, senyum seorang ibu
dan lambaian tangan kanakkanak
adalah pengantar petualangan
tapi penyair akan pulang pada kata kata
entah di awal gerimis
pada ruang yang terus menyempit
bersama para petani menyiangi tanaman
pijakan kaki di lumpur tanah garapan
melengkingkan kebisuan
lebih gemuruh dari risau sebuah pabrik
menggema sampai istana para raja
masa silam
entah di awal kemarau
bersama anak anak ayam
mengorek sisa sia sia
(2)
dari berjuta pagi kutemukan satu
yang telah silam
satu lagi silau
di mata
dan kita merasa bangga sebagai manusia
tiap malam menyimpan kenangan dalam almari
kadang mengadu pada cermin
menata wajah sebab khawatir
menjadi tua
ini abad kembang kertas
membangun mimpi
dari khayal orang orang hutan
menuju rumah matahari
bagi sebuah pesta
pesta
pesta
pesta
sorak sorai slogan duniawi
keindahan sunyi sudah lama terkubur
ibarat laut kering dan seekor anjing
melongok neteskan liur
ikan ikan tinggal kerangka
sedang seseorang sangat asing
tersenyum bangga
bagi lukisan abstrak paling istimewa
(3)
ketika layar sandyakala terbentang
seorang lelaki berdiri sendiri
di sudut bale banjar
nampak ragu memukul kentongan kematian
karena matahari biasa pulang di kaki langit
ufuk barat tiada nampak awan hitam
pekat
apa bukan karena gerhana?
mencoba genggam hati nurani
sebab esok masih ada upacara kelahiran
di halaman pemerajan
seorang kakek membimbing cucu cucunya
sujud menghadap matahari pagi
menabur bunga putih kuning
harum asap dupa dan bau kemenyam dibakar
menembus hari depan
keris pusaka
ditancapkan di tanah leluhur
tanah leluhur
adalah sebuah keyakinan tak boleh dinistakan
sebab para peladang masih mencintai desanya
meski gerimis hari ini menjadi kemarau
kemudian
ketika membangun mimpi
dari khayal bidadari tersenyum ramah
di kanvas seorang pelukis
mengapa dibiarkan tertutup jamur?
Denpasar, 1993-1994
SENJA MENGGANTUNG DI LANGIT
seorang ibu meminjam tangis gerimis
( senja masih menggantung )
Seandainya aku korban terakhir,
mestikah kuingat sebait sajak
yang belum selesai kutulis
sementara tanganku gemetar
membagi doa
untuk ayahku, ibuku, saudaraku
dan mereka yang datang dengan takdir.
Erang sakit putus-putus memanggil
detak jantung dan nafasku
sendiri
aku menunggu
di detik mana peluru menyamar ratu adil
mengetuk dadaku
aku tak peduli
: hidup adalah anugrah
sebab Tuhan tak lagi punya Rama atau Krishna
aku tak lagi punya doa
Di atas langit kemerahan senja bergelayut riang
anyir udara mengepung inderaku
Tuhan, Tuhan
mengapa masih kuingat namaMu
Tarian takdir atau karma mesti kulakonkan
seorang ibu meminjam tangis gerimis
senja tetap saja menggantung
mungkin matahari lupa jalan kembali +
Makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan seperti apa representasi multilingualisme di ruang publik di kawasan ini sebagai bagian dari kajian Liguistik Lanskap. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana struktur tulisan dan pola bahasa yang digunakan di ruang publik dalam kawasan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi untuk mengumpulkan data, kemudian data akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada 13 bahasa yang digunakan pada ruang publik terutama pada penanda sarana pariwisata yang ada. Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling dominan, tulisan latin juga digunakan pada hampir semua penanda, dan
juga pola bahasa yang menggunakan 2 - 3 bahasa yang berbeda telah menunjukkan kawasan ini bisa dikatakan sebagai kawasan internasional. +
R
Women of the Kakawin World adalah studi sejarah tentang pengalaman wanita, khususnya wanita kerajaan dan rekan-rekan mereka, di istana Jawa pra-Islam dan Bali modern awal. Creese memanfaatkan latar belakangnya di bidang filologi untuk meneliti kumpulan epos kakawin (puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dalam syair) yang digubah di pusat-pusat istana selama lebih dari satu milenium, karena mereka memberikan wawasan yang kaya tentang kehidupan perempuan yang tidak tersedia dari tempat lain. Dengan ketertarikannya pada representasi perempuan, buku ini memberikan kontribusi yang berharga bagi studi gender di Indonesia, terlebih lagi karena banyak berfokus pada periode kontemporer. Ini juga merupakan studi penting tentang institusi sosial pacaran dan pernikahan. Akhirnya, meskipun ini bukan tujuan utama buku ini, buku ini berkontribusi pada pengetahuan tentang genre kakawin dengan menganalisis kakawin dari perspektif baru. +
Women of the Kakawin World adalah studi sejarah tentang pengalaman wanita, khususnya wanita kerajaan dan rekan-rekan mereka, di istana Jawa pra-Islam dan Bali modern awal. Creese memanfaatkan latar belakangnya di bidang filologi untuk meneliti kumpulan epos kakawin (puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dalam syair) yang digubah di pusat-pusat istana selama lebih dari satu milenium, karena mereka memberikan wawasan yang kaya tentang kehidupan perempuan yang tidak tersedia dari tempat lain. Dengan ketertarikannya pada representasi perempuan, buku ini memberikan kontribusi yang berharga bagi studi gender di Indonesia, terlebih lagi karena banyak berfokus pada periode kontemporer. Ini juga merupakan studi penting tentang institusi sosial pacaran dan pernikahan. Akhirnya, meskipun ini bukan tujuan utama buku ini, buku ini berkontribusi pada pengetahuan tentang genre kakawin dengan menganalisis kakawin dari perspektif baru.
Ulasan lengkap dari buku ini tersedia di: https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/54386 +
Tantangan yang dihadapi semenjak tujuh tahun terakhir adalah bagaimana berbagai lokasi di Bali, salah satunya adalah Pantai Balangan di wilayah Badung Bali telah mengalami komodifikasi semenjak semakin maraknya fenomena foto pra pernikahan. Bagaimana ruang alamiah terkomersialisasikan dan memunculkan permasalahan yang cukup kompleks. Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam penyebab terjadinya komodikasi area Pantai Balangan dan dampak dari praktek komodifikasi. Sumber data penelitian kualitatif ini adalah observasi dan wawancara yang dianalisa menggunakan teori kritis seperti teori komoditas meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi yang dikaitkan dengan ekologi manusia. Hasil analisa data menunjukkan bahwa praktek komodifikasi di Bali, khususnya di area Balangan muncul karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti masyarakat yang menganggap photo pra pernikahan sebagai sesuatu yang eksklusif dan dapat dijangkau, latar belakang pekerjaan masyarakat lokal yang masih tergolong kelompok masyarakat kelas bawah, serta wilayah yang umumnya masih dikontrol oleh investor asing – menyebabkan celah ekonomi yang tinggi antara masyarakat lokal dan pendatang di wilayah Balangan. Permasalahan tidak hanya terletak pada masyarakat marginal setempat, namun juga sistem ekonomi informal yang tidak terkelola dengan baik dan pengaruh investor asing. +