Property:Biography text id

From BASAbaliWiki
Showing 20 pages using this property.
N
Ni Putu Rastiti, saat ini bekerja sebagai perawat di RSUD Bali Mandara, Sanur. Karya-karyanya pernah dimuat di media lokal dan nasional serta terangkum dalam beberapa antologi. Buku kumpulan cerpen pertamanya bertajuk Pohon Keinginan. Beberapa kali diundang dalam kegiatan Temu Penulis Nasional. Terakhir diundang sebagai penulis muda di Ubud Writers and Festival 2016. Puisinya pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Perancis dan cerpennya ke dalam Bahasa Inggris.  +
Ni Putu Yuliana alias Jro Putu lahir di Mengwi, Badung, Bali, 4 Juli 1979. Dia adalah seorang dasaran, tapakan, balian ketakson, atau balian meluasin. Dalam tataran yang lebih luas bisa juga disebut medium atau paranormal. Klien yang datang kepadanya biasanya bertanya atau konsultasi tentang persoalan niskala. Di Bali, terutama kawasan Bali selatan, jro dasaran biasa didatangi orang Bali untuk menanyakan soal reinkarnasi bayi yang baru lahir. Ada juga yang menanyakan soal sebab-sebab kematian seseorang atau bekal niskala yang diinginkan saat upacara Ngaben. Pasien yang sakit karena penyebab niskala biasanya juga mendatangi jro dasaran menanyakan tentang penyakitnya. Jro dasaran adalah medium atau perantara alam niskala (gaib) dan sekala (nyata). Mendatangi balian ketakson atau balian meluasin untuk meminta petunjuk niskala sudah menjadi budaya bagi orang-orang Bali yang meyakini. Jro Putu Yuliana membuka praktik di Jalan Kroya No. 12 Denpasar Timur, Bali.  +
Ni Wayan Adnyani, lahir di Bebandem, Karangasem, Bali, 9 Pebruari 1981. Dia menjadi guru di SMAN 1 Bebandem. Menekuni kegiatan menulis puisi sejak bangku SMP dan karyanya pernah dimuat diberbagai media massa, seperti Bali Post, Pos Bali, Tribune Bali, dll. Puisinya juga dimuat dalam buku Sang Guru (2019) dan Suara Hati Guru di Masa Pandemi (2020).  +
Pranita Dewi, bernama lengkap Ni Wayan Eka, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, prosa kris dan cerita pendek. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Bali Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal Block-Not Poetry. Agustus 2003, meraih Juara I Lomba Deklamasi Puisi dan Juara I Lomba Cipta Puisi Pelajar se-Bali yang digelar Teater Angin SMU 1 Denpasar. Beberapa buku kumpulan puisi bersama “Jendela” (2003), Tuhan Langit Begitu Kosong (2004), dan Herbarium (2007). Kumpulan cerpen bersama “Made Patih (2003), “Titian” (2008). Pernah memperoleh beasiswa “A Weekend Creative Workshop: Sound Poetry from Different Faiths” (2003) dalam Pesta Sastra Internasional Utan Kayu di Kuta, Bali. Nominator Krakatau Award Lomba Menulis Puisi Nasional (2004) – Dewan Kesenian Lampung. Puisinya berhasil masuk dalam Buku Antologi 100 Puisi Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2008. Buku puisi tunggalnya “Pelacur Para Dewa” (2006).  +
Dilahirkan di Denpasar, 14 April 1990. Menulis puisi, esai dan berita jurnalistik. Puisinya pernah diterbitkan di Pikiran Rakyat, Bali Post, Lombok Post, Jurnal Bali Sruti, Jurnal Le Banian (Terbit di Prancis). Esai-esainya dimuat Koran Tempo, Tribun Bali, Majalah Esensi & Nuansa (terbitan Badan Bahasa) dan Bali Tribune. Bersama Komunitas Sahaja Denpasar aktif dalam kegiatan kesenian, kebudayaan, dan diskusi sastra, serta pembinaan komunitas kreatif. Kini sebagai bagian program di Bentara Budaya Bali (ruang kebudayaan Kompas Gramedia). Pada tahun 2018, puisi-puisinya lolos sejumlah kurasi antologi puisi dan temu penyair, antara lain: Pertemuan Penyair “Dari Negeri Poci 8: Negeri Bahari” di Tegal Jawa Tengah; antologi “Senyum Lembah Ijen” dan Kemah Sastra Nasional di Banyuwangi; Pertemuan Penyair Asia Tenggara 2018 di Padang Panjang; Pertemuan Penyair Nasional di Pematangsiantar; antologi puisi bersama “Perempuan Memandang Dunia” oleh Komunitas Sangkar Buku di Mojokerto dan antologi puisi bersama “Perempuan Bahari” (segera terbit). Pernah diundang dalam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI di Jambi (2012) dan Bali Emerging Writers Festival (BEWF) 2015, sebuah festival sastra tahunan yang merupakan bagian dari program Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Masuk dalam 175 Penyair Terpilih Antologi Puisi Dari Negei Poci 6: Negeri Laut (2015), 39 Penyair Terpilih Lomba Cipta Puisi “Di Bawah Payung Hitam” Proyek Seni Indonesia Berkabung (2015), 50 Puisi Terpilih Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas Kopi Andalas (2013), 5 Besar Terbaik Lomba Cipta Puisi se-Nusantara (SCKS), serta 6 Besar Puisi Terbaik RBSCKS (2012) yang diadakan Fakultas Sastra Udayana (2012). Puisi-puisinya terhimpun pula dalam Buku Antologi Puisi Bersama “Dendang Denpasar, Nyiur Sanur” (2012), Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI “Sauk Seloko” (2012), Antologi Puisi Bersama Lomba Cipta Puisi Komunitas Kopi Andalas (2013), Antologi Puisi Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut (2015), Buku Antologi “Dari Gentar Menjadi Tegar” Komunitas Bergerak Seni Indonesia Berkabung (2015), Buku Antologi Puisi “Klungkung” (2016), Buku Antologi Hari Puisi Indonesia 2016 ‘Matahari Cinta Samudera Kata’, Buku Antologi Puisi-Puisi Spriritual dan Sosial “Kavaleri Malam Hari”, diterbitkan Abdurrahman Wahid Centre UI (2017).  
Ni Wayan Penawati, lahir di Amlapura, Karangasem, 23 Juli 1996. Dia lulusan ISI Denpasar. Pengalaman pamerannya, antara lain: Young Inspiring Balinese Artis, The Santhi Residence, di Nusa Dua Bali (2014), Origami #5 di Lingkar Art Space (2014); St-Art di MahaArt Gallery (2015), Pameran Seni Lukis 1.000 Meter, Hut Kota Gianyar (2015), LABIRIN di Museum Seni Batuan (2016), Tanah dan Air di Taman Budaya Art Center (2016), Nawanatya Bali Mandara “Rupa Setaman” di Art Center (2017), Keragaman Kreatif Dalam Merajut Persatuan di Bentara Budaya Bali (2018), Perupa Perempuan Bali di Taman Budaya Art Center (2019), Bali Mega Rupa II di Arma Museum Ubud (2020), Art Edward Virtual di Universitas Gorontalo (2020), Bali Mega Rupa III di Gedung Kriya Art Center, Denpasar (2021), Bali Emerging Artist 2022 di Sika Gallery, Ubud (2022), Biang di TAT Art Space, Denpasar Bali (2022).  +
Ni Wayan Swarniti adalah dosen pada Universitas Dwijendra dengan spesialisasi pada subyek linguistik dan translasi. Selain aktif mengajar, Swarniti juga saat ini menjabat sebagai manajer jurnal Kajian Pendidikan Widya Accarya yang diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Dwijendra.  +
Teks orasi  +
Om Swastyastu. Para juri yang saya hormati serta para saudara Wiki bahasa Bali yang saya cintai. Segala puji bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Di hari yang cerah ini, izinkan saya menyampaikan masalah yang ada di Bali terutama di Nusa Penida, yaitu masalah Sampah yang ada di Nusa Penida. Nusa penida sangat populer/terkenal di kalangan wisatawan karena keindahan alamnya. Namun ada yang janggal, seperti membuang sampah sembarangan.Saya perhatian di pesisir jalan banyak sekali sampah plastik berserakan,dan ada juga yang membuang sampah di wilayah/ke tanah orang secara Cuma-Cuma.Ada beberapa wisatawan mancanegara yang membersihkan sampah yang ada di sekitarnya. Ada beberapa faktor penyebab masyarakat membuang sampah sembarangan yaitu yang pertama seperti kurangnya kesadaran/kurang peduli terhadap lingkungan, karena masyarakat tidak tau resiko yang akan diterima,resikonya seperti rusaknya lingkungan karena butuh waktu yang sangat lama untuk sampah plastik terurai,kalu msyarakat terus membuang sampah sembarangan,maka sampah plastik akan menumpuk,bisa mencemarkan lingkungan dan itu tidak baik untuk pariwisata. Yang kedua tidak tersedia TPA di Nusa Penida, masyarakat tidak tau harus membuang sampah di mana, dan masyarakat ingin praktis membuang sampah tanpa memikirkan bahwa sudah merugikan orang lain. Yang ketiga kurangnya peraturan atau tata krama yang ketat agar masyarakat membuang sampah pada tempatnya. Harapan saya untuk DPD di masa depan yaitu, DPD bisa memberikan solusi terkait masalah sampah yang ada di nusa penida seperti memfasilitasi berupa tong sampah di setiap kawasan dan menyediakan TPA, membuat aturan mengenai sampah dan menjelaskan akibatnya agar masyarakat sadar dan berhenti membuang sampah sembarangan. Sekian pendapat yang dapta saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Terima kasih kepada Tim Wiki Bahsa Bali pada kesepatan ini.saya mohon maaf apabila ada tutur kata yang kurang berkenan. Saya tutup dengan Pharama Santhi Om Santhi Santhi Santhi Om.  
Garam Kusamba merupakan garam organik tradisional Bali yang disebut-sebut jadi salah satu garam terbaik di dunia. Garam yang dihasilkan di desa Kusamba, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Sebagai garam organik, garam Kusamba tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi, garam Kusamba dikatakan organik karena cara pembuatannya yang masih sangat bergantung dengan alam. sinar matahari dan terik menjadi sahabat para petani garam Kusamba. Cara pembuatannya pun masih dilakukan dengan cara tradisional. Akan tetapi kini, usaha tradisional ini kian terancam gulung tikar. Harga jual garam berkualitas tinggi ini kurang menguntungkan. Para petani rata-rata menjualnya dengan harga Rp1.200 per kilogram, jika musim penghujan harga jual hanya mencapai Rp3 ribu per kilogram. Masalah lainnya, garam kusamba yang dibuat secara tradisional dan produksinya terbatas. Hal inilah yang mendasari untuk menginisasi sistem yang mampu meningkatkan produksi garam turun-temurun itu. Lalu, bagaimanakah solusinya? Solusi yang dapat menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan menggunakan sistem tunnel. Secara sederhana, sistem tunnel berarti menambah wadah penampung dengan bantuan geoisolator dan penutup, lalu dirangkai seperti lorong. Sistem ini membuat petani garam tetap bisa berproduksi saat musim hujan. Selain itu, dengan adanya sistem Tunnel ini petani garam mampu menghasilkan puluhan-ratusan Kg garam per Tunnel. Selain itu, manfaat lainnya seperti: 1. Membuat waktu panen garam menjadi lebih cepat 2. Petani dapat melakukan proses panen pada saat malam hari. 3. Membuat hemat tenaga dan waktu dalam mengisi lahan pembuatan garam dengan air laut. 4. Kualitas yang dihasilkan tidak jauh berbeda dari produksi sebelumnya dengan palungan. Menurut pengakuan dari petani garam, Melalui produksi sistem tunnel ini banyak manfaat yang diperoleh oleh para petani garam di dalam produksi dan pemasarannya. Selain garam, air yang terdapat pada saat panen garam tersebut dapat dijual dengan harga mencapai kurang lebih Rp. 80.000,00 jerigen ukuran 35 liter. Air garam ini dapat digunakan untuk proses pengentalan pembuatan produksi tahu. Perlu diketahui sistem tunnel yang digunakan oleh Petani garam Kusamba merupakan teknologi sederhana bantuan dari kerjasama Kementerian Sosial dengan ITS.  
Hormat yang terhormat, Saudara-saudara yang terhormat, para pemuda yang bersemangat, Saya berdiri di hadapan Anda hari ini dengan rasa bangga dan harapan yang tinggi. Kita semua tahu bahwa Bali adalah salah satu destinasi wisata terkenal di dunia. Pulau ini tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya yang menakjubkan, tetapi juga karena keramahan dan keamanan yang ditawarkan kepada para wisatawan. Namun, keamanan adalah tanggung jawab bersama. Dan di sinilah peran penting pemuda sebagai ujung tombak keamanan Bali muncul. Pemuda adalah harapan dan masa depan bangsa. Pemuda adalah kekuatan yang dapat membawa perubahan positif dalam masyarakat. Sebagai pemuda, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Bali. Kita harus menyadari bahwa keamanan adalah fondasi bagi pertumbuhan dan perkembangan pariwisata di pulau ini. Jika wisatawan merasa aman dan nyaman, mereka akan kembali dan merekomendasikan Bali kepada orang lain. Ini akan berdampak positif pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Bali. Namun, menjadi ujung tombak keamanan bukanlah tugas yang mudah. Ini membutuhkan kesadaran, kedisiplinan, dan kerja sama dari setiap pemuda di Bali. Pertama-tama, kita harus menghormati hukum dan peraturan yang berlaku. Kita harus menjadi contoh yang baik bagi orang lain dengan mengikuti aturan lalu lintas, menjaga kebersihan lingkungan, dan menghormati adat dan budaya Bali. Selain itu, kita juga harus menjadi mata dan telinga yang waspada. Jika kita melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan, kita harus segera melaporkannya kepada pihak berwenang. Kita tidak boleh menjadi penonton bisu dalam menghadapi tindakan kriminal atau ancaman terhadap keamanan. Kita harus berani dan bertindak untuk melindungi Bali dan semua yang ada di dalamnya. Selain itu, sebagai pemuda, kita juga harus berperan aktif dalam mengedukasi dan membimbing sesama pemuda. Kita harus mengajarkan nilai-nilai kebaikan, toleransi, dan kerukunan kepada generasi muda. Dengan cara ini, kita dapat mencegah terjadinya konflik dan membangun masyarakat yang harmonis. Saudara-saudara yang terhormat, Pemuda sebagai ujung tombak keamanan Bali memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keamanan dan keberlanjutan pulau ini. Kita harus bersatu, bekerja sama, dan saling mendukung dalam upaya ini. Mari kita jadikan Bali sebagai contoh bagi daerah lain dalam hal keamanan dan keberlanjutan pariwisata. Saya percaya bahwa dengan semangat, dedikasi, dan kerja keras kita sebagai pemuda, kita dapat menjadikan Bali sebagai destinasi wisata yang aman, indah, dan lestari. Mari kita jaga keamanan Bali, bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan generasi mendatang. Terima kasih, dan semoga Bali tetap aman dan sejahtera! Salam hormat, Ni kadek Sri Devi Krisna Rai  
Nur Wahida Idris, lahir di Ketugtug, Loloan Timur, Negara, 28 April 1976. Pernah berproses kreatif di Denpasar, termasuk di Tensut Bedahulu. Menyelesaikan studinya di Jurusan Kriya/Tekstil Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Selain di Bali Post, puisinya dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Jawa Pos, Bernas, Minggu Pagi, Prince Claus Fund Journal dan Majalah Sastra Horison, serta dalam antologi bersama, di antaranya Kidung Kawijayan, Filantropi, Pedas Lada Pasir Kuarsa, Percakapan Lingua Franca dan Living Together. Puisinya mendapat penghargaan dari Kemendikbud RI, Dewan Kesenian Lampung dan Balai Bahasa Yogyakarta. Buku puisi tunggalnya, Mata Air Akar Pohon (2008). Ia diundang membacakan puisinya dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVII/2005, International Literary Biennale 2005 di Bandung dan Dewan Kesenian Jakarta, 2006. Direktur Akar Indonesia ini, juga mengelola Komunitas Rumahlebah Yogyakarta.  +
Nuryana Asmaudi SA lahir di Jepara, Jawa Tengah, 10 Maret 1965. Menulis puisi, cerpen, esai, ulasan seni, naskah kalon, dll. Tulisannya dimuat di sejumlah media lokal dan nasional. Puisi-puisinya terangkum dalam sejumlah antologi bersama, antara lain Perjalanan (1990). Sejak tahun 1996 menetap di Bali, mengelola Rumah Sastra TenSutBeh bersama Umbu Landu Paranggi, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, dkk (1996 – 2008). Bersama Umbu Landu Paranggi ikut mengasuh kegiatan apresiasi sastra siswa keliling Bali (1997 hingga awal tahun 2000-an). Selain menulis sastra, juga bekerja sebagai jurnalis, sempat bergabung dengan Kelompok Media Bali Post. Sejak 2011 hingga sekarang bekerja sebagai Redaktur di Harian Bali Tribune. Sejak 2008 tinggal dan ikut mengelola Studio Seni Snerayuza bersama pelukis Made Budhiana. Buku puisi tunggalnya “Doa Bulan untuk Pungguk (2016), “Taman Perankap Bulan” (2018). Buku puisi ketiga siap diterbitkan.  +
Nyoman Diwarupa, lahir di Bali, 7 April. Dia menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar pada 1998. Sejak 1992 dia aktif mengikuti pameran lukisan bersama, seperti pameran “Angkatan 92” di Art Centre (1992), “Sebelas Art Group” di Darga Gallery, Sanur (1996), “Kuta Art Cromatic” di Kuta (2013), dan sebagainya. Karya-karyanya cenderung bernuansa abstrak. Dia bergabung dengan komunitas pelukis Galang Kangin dan Militanart.  +
Nyoman Gunarsa lahir di Klungkung, 15 April 1944. Lulusan ASRI Yogyakarta. Dia salah satu pendiri dan tokoh penting Sanggar Dewata Indonesia. Pada 1989, dia mendirikan Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia Nyoman Gunarsa di Yogyakarta dan tahun 1994 mendirikan Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa di Klungkung. Dia telah memamerkan karya-karyanya di dalam dan luar negeri. Karya-karyanya banyak menampilkan figur-figur penari Legong dengan goresan-goresan yang ekspresif. Dia meraih penghargaan Dharma Kusuma dari Pemerintah Propinvi Bali pada 1994. Pada tahun 2017, Gunarsa meninggal dunia.  +
Nyoman Mandra, lahir di Banjar Sangging, Kamasan, Klungkung, 1946. Ia adalah maestro seni lukis gaya Kamasan. Kakeknya dari pihak ibu, Rambug (1850-1925) dan pamannya Nyoman Dogol (1875-1963) adalah seniman Kamasan terkemuka dari generasi mereka masing-masing. Sejak Sekolah Dasar, Mandra belajar melukis pada Nyoman Dogol. Pengetahuan Mandra tentang kisah pewayangan yang menjadi inspirasi seni lukis Kamasan sangat mumpuni. Ia mampu memadukan pengetahuan itu dengan keterampilan teknis dalam melukis. Lukisan-lukisan awalnya banyak menggunakan komposisi warna biru yang cenderung lembut dengan garis halus dan indah. Mandra telah menampilkan karya-karyanya dalam berbagai pameran, baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya pameran Retrospektif di Sangkring Artspace, Yogyakarta (2009). Pada 2016, Mandra menerima Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Selain itu, Mandra juga memperoleh Penghargaan Cincin Mataraja dari PSI Denpasar (2014), Penghargaan dari Duta Besar Rusia (2009), Penghargaan dari Duta Besar R.J. Belgia (2008), Penghargaan (Lencana) dari Budpar (2006), Penghargaan Bali Aga (2003), Penghargaan Lempad Prize dari Sanggar Dewata Indonesia (2000), Dharma Kusuma Penuh dari Pemda Bali (1993), Penghargaan Lencana Budaya dari Pemda Klungkung (1986), Dharma Kusuma Madya dari Pemda Bali (1979). Selain Mandra, istrinya Ni Nyoman Normi dan putrinya Ni Wayan Sri Wedari juga menekuni seni lukis Kamasan. Mandra meninggal pada tanggal 10 Juni 2018 di RSUD Klungkung karena sakit.  +
I Nyoman Ngendon (1920-1947) adalah pelukis yang berasal dari Banjar Dentiyis, Batuan, Sukawati, Gianyar. Dia pertama kali belajar melukis gaya wayang Kamasan dari Dewa Nyoman Mura pada tahun 1930-an awal. Dia termasuk tokoh berpengaruh dalam seni lukis Batuan dan memiliki banyak murid. Dia fasih berbahasa Melayu, Belanda, dan Inggris. Pada masa pendudukan Jepang, dia pergi ke Yogyakarya, dan bertemu dengan Soekarno, Affandi, Soedjojono, dan ikut bergabung dalam Persagi. Selain dikenal sebagai pelukis, dia adalah sosok gerilyawan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai untuk turut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dia ditangkap tentara Nica di Ketewel, disiksa dan dihukum mati. Ngendon memang sosok pelukis Batuan yang cerdas dan sangat gelisah untuk mengembangkan diri dalam seni lukis. Selain melukis dengan gaya Batuan, Ngendon memang banyak melukis potret dengan teknik modern. Ngendon juga sosok guru melukis yang sangat idealis dan visioner. Bagi Ngendon, setiap murid harus mampu menggambar bentuk-bentuk yang berbeda, tidak hanya menjiplak hal-hal yang sudah ada. Ngendon melahirkan generasi pelukis Batuan yang mampu menggali dan mengembangkan tematik secara kuat.  +
Nyoman Rasta Sindhu adalah seorang sastrawan dan wartawan yang lahir pada tanggal 31 Agustus 1943 di Denpasar dan meninggal pada tanggal 14 Agustus 1972. Atas dedikasinya dalam seni sastra, dia mendapat Anugerah “Dharma Kusuma Madya” dari Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra. Dia pernah kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, kemudian pindah ke Universitas Udayana mengambil jurusan Ilmu Purbakala. Dia menjadi wartawan dan staf redaksi seni dan budaya “Suluh Marhaen” edisi Bali (Bali Post sekarang). Selian itu, dia juga merupakan salah seorang redaksi majalah Bali Courier (1971). Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa, antara lain Kompas, Sinar Harapan, majalah sastra Horison, Mimbar Indonesia, Basis, Sastra. Salah satu cerpennya yang sangat terkenal, “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar”, dimuat dalam antologi prosa Indonesia berbahasa Jerman, Perlen im Reisfeld, Indonesien (1971). Cerpen tersebut pernah dimuat majalah Horison No.1 Th.IV Januari 1969 dan meraih Hadiah Sastra Horison. Sebagian besar karyanya berisikan penentangan atas kekolotan pandangan atau kepercayaan masyarakat Bali. Protes-protes sosialnya bukan karena rasa benci, tetapi lebih karena dia sangat mencintai Bali. Namun, hingga sekarang belum ada penerbit yang menghimpun karya-karyanya secara utuh hingga kita mengalami kesulitan untuk bisa menikmati karya-karya sastranya.  +
Nyoman Sujana alias Kenyem adalah seorang pelukis kelahiran Sayan, Ubud, 9 September 1972. Dia menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Sejak 1992 dia telah aktif dalam banyak pameran bersama. Sementara itu, sejak 1996 dia telah menampilkan karya-karyanya dalam pameran tunggal di dalam dan luar negeri. Antara lain “A Place Behind The House”, Komaneka Gallery, Ubud (2016), “Highest”, Philo Art Space, Jakarta (2013); G13 Gallery, Kelana Jaya, Selangor, Malaysia (2013); “The Bicycle Diaries”, Komaneka Art Gallery, Ubud, Bali (2011), “The Bridges of Nature”, D’Peak Art Space, Singapore (2009). Karya-karya Kenyem banyak menampilkan konsep keseimbangan (harmoni) dalam konteks hubungan manusia dengan manusia, alam, dan Tuhan. Kenyem adalah salah seorang pendiri komunitas perupa Militant Arts.  +
Nyoman Sukaya Sukawati lahir 9 Februari 1960. Ia mulai aktif menulis puisi sejak 1980-an di rubrik sastra surat kabar Bali Post Minggu asuhan penyair Umbu Landu Paranggi. Selain menulis puisi ia juga rajin menulis cerpen, artikel, melukis, dan kegiatan kesenian lainnya. Ia mengenal dunia tulis menulis dengan bergiat di dunia kewartawanan. Kegiatan itu ia mulai sejak remaja dengan rajin menulis laporan mengenai potensi desa. Kemudian ia belajar lebih bersungguh-sungguh dan menjadi wartawan di surat kabar Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bhakti, serta sejumlah media lain. Ia pernah bergiat sebagai reporter televisi RCTI. Ia juga banyak mengerjakan penerbitan berkala di Denpasar, di antaranya majalah pariwisata dan tabloid ekonomi. Tahun 1993 ia menjadi editor buku Bali, Masalah Sosial-Budaya dan Modernisasi, tulisan Prof. I.B. Mantra. Pada 2007 bukunya berjudul Mencari Surga di Bom Bali diterbitkan berkat bantuan program Widya Pataka Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Bali bekerja sama dengan Arti Foundation, Denpasar.  +