Bagaimana cara mengurangi sampah plastik di kantin sekolah? Ayo berkomentar tentang isu publik di sini or ajukan pertanyaan.

Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite

Putra-ariawan.-ulsan-buku-bojog-lua-foto.jpg
Judul
Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite
Original language
Peunulis
Illustrator
  • Gusti Made Adi Kurniawan
Penerbit
Pustaka Ekspresi
ISBN
Tahun terbit
Januari 2018
Subjek
  • cerita pendek
Pencarian Book
Related Env. Initiatives
    Related Places
      Related Biographies
        Related Children's Books
          Related Holidays
            Related Folktales
              Related Comics
                Related Lontar
                  Linked words


                    Tambahkan komentar
                    BASAbaliWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

                    Deskripsi

                    SELAIN Neil Amstrong yang pernah mendarat ke bulan, perlu dicatat dalam peradaban dan sejarah dunia: akan ada penari joged yang meluncur ke bulan bersama sahabatnya yakni “bojog lua”. Saat ini, penari joged dan “bojog lua” atau monyet betina itu sedang bersiap-siap naik pesawat sambil menunggu bulan yang konon katanya akan jatuh ketika bintang bertaburan di angkasa. Lalu? Izinkan saya ngomong dalam hati: “Nasbedag! Saya yakin seyakin-yakinnya, ini khayalan dan fantasi belaka. Semuanya fiktif, atau mungkin hoaks!” Memang di dunia ini semua boleh jadi khayalan. Negatif maupun positif, jorok atau suci dan nyata maupun tidak nyata, sah-sah saja asalkan tidak lebay. Lalu, kembali ke monyet dan penari joged tadi yang katanya jadi astronot. Memang benar ini khayalan, ketika saya membaca cover buku cerpen berbahasa Bali “Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite”. Perlu start tarik nafas panjang membaca hingga akhir kata dalam judul buku ini. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya “Penari Joged dan Monyet Betina yang Selalu Menunggu Bulan Jatuh ketika Bintang Bertaburan di Langit”. Bagaimana, keren? Jangan dihitung lagi berapa jumlah katanya, cukup dipikirkan lalu khayalkan. Jangan pernah memikirkan judul skripsi yang amat panjang terlebih ditolak pembimbing saat merumuskan proposal penelitian. Beruntung ini karangan fiksi berupa cerpen dan segala khalayan yang muncul dari benak pembaca semuanya sah-sah saja. Boleh jadi, buku kumpulan cerpen ini tergolong unik, jika menggunakan teknik menulis berita ala jurnalistik 5 W+1H, semuanya pasti telah terjawab hanya dalam sebuah judul. Sayangnya, ini bukan berita namun cerpen pemenang sayembara “Gerip Maurip” yang dipelopori penerbit Pustaka Ekspresi dari Tabanan, Bali. Sayembara ini dikhususkan bagi karya-karya berbahasa Bali. Pemenangnya Biography of I Putu Supartika, penulis asal Karangasem, kelahiran 1994. Tergolong penulis muda produktif yang telah melahirkan sejumlah karya berbahasa Bali maupun berbahasa Indonesia tersebar di berbagai media. Di usianya tergolong muda, Supartika cukup berani dalam memilih judul karyanya. Bukan tanpa alasan, mengingat selama ini judul-judul karya sastra khususnya cerpen berbahasa Bali gitu-gitu aja, masih konvensional dengan sedikit eksplorasi. Boleh jadi, dari 16 cerpen yang terhimpun dalam buku ini, menjadi cerpen eksplorasi penulis yang dipengaruhi oleh karya-karya selain berbahasa Bali. Ciri khas ke-16 cerpen dalam buku ini dapat dilihat dari judul-judulnya yang panjang berkisar 5 sampai 15 kata. Berdasarkan pemilihan judul, pasti khayalan pembaca akan terfokus serta terdeskripsi jelas dan gamblang. Jika dibaca sekilas, semua isi cerpen akan terjawab hanya dengan membaca judulnya saja. Jangan salah dan jangan terjebak. Penulis tampaknya sengaja memfokuskan khayalan pembaca di awal saja. Sebelum akhirnya mengeksekusi pembaca melalui kisah-kisah yang rumit, kekinian, menggantung, bahkan tanpa titik temu yang jelas. Dikatakan rumit, saat penulis mencoba mengangkat persoalan adat di Bali. Cerpen yang berjudul “Api ane Ngabar-abar di Umahne Wayan Dana” diterjemahkan “Api yang Berkobar di Rumah Wayan Dana” mengisahkan nasib tragis keluarga yang dikepung warga akibat kalah di pengadilan. Warga yang mengatasnamakan adat tidak terima lalu membakar rumah Wayan Dana akibat tanah milik desa berhasil jadi milik pribadi. Di Bali, keberadaan adat sangat kuat dan menjadi salah satu penentu kebijakan di masyarakat. Dalam cerpen “Isin Kenehne Wayan Japa Nglawan Krama Banjar” diterjemahkan “Isi Hati Wayan Japa Melawan Warga Desa” memperkuat keberadaan adat sebagai penentu kebijakan. Tokoh dalam cerpen ini, Wayan Japa, mencoba melawan kesepatan itu dengan tidak ikut serta memperbaiki sekolah secara swadaya dengan alasan yang tidak jelas. Wayan Japa yang suka mabuk-mabukan mencoba melawan dengan tidak membayar iuran sepeser pun. Pada akhirnya, Wayan Japa tetap menyekolahkan anaknya di sekolah itu tanpa ada kejelasan sanksi adat yang akan diterimanya. Lalu bagaimana? Tidak adanya kejelasan soal itu sebagai hubungan sebab-akibat dari konflik yang dihadirkan penulis dalam cerpennya membuat pembaca akan bertanya-tanya: lalu bagaimana? Lalu? Kebanyakan cerpen-cerpen dalam buku ini diselesaikan dengan ending menggantung tanpa penyelesain yang jelas. Penulis berhasil membangun khayalan pembaca, larut dalam emosi, melihat dunia fantasi namun tidak berhasil menjebak pembaca dalam amanat sebagai sebuah nilai yang harus dibangun dalam sebuah cerpen. Penulis terkesan prematur menggarap ide-idenya sebelum akhirnya melahirkan cerpen-cerpennya ke dalam sebuah buku. Pemilihan bahasa Bali Kapara yakni bahasa pergaulan sehari-hari tanpa memikirkan sor-singgih basa atau aturan tingkat kebahasaan ditinjau dari penuturnya, memberikan kesan penulis yang enteng dan ringan dalam bercerita namun berat dalam menyelesaikan konflik. Cerpen “Munyin Sangihan di Beten Bulane” atau “Suara Pengasah di Bawah Bulan” menceritakan adanya balas dendam akibat tokohnya menjadi korban G30SPKI. Pada akhirnya, konflik yang menarik yang melibatkan elite penguasa di negeri ini diselesaikan tanpa kejelasan oleh penulisnya. Hidup atau mati? Bergerak atau tetap diam? Semuanya terkesan menggantung. Pemilihan kata “tiang” atau “aku” yang digunakan sebagai pencerita, tampaknya sengaja dipilih agar pembaca larut dan merasakan kegelisahan para tokohnya. Kegelisahan romantisme dengan berbagai problematikan disajikan dalam beberapa cerpen. Seperti harapan dibalut penantian cinta dialami tokoh aku dalam cerpen “Alih Tiang Rikala Bulane Ngenter lan Bintange Makacakan di Langite” diterjemahkan “Cari Aku Saat Bulan Bersinar Terang dan Bintang Bertaburan di Langit” dan cerpen “Anak Muani ane Bangun Jam Dua Semengan” diterjemahkan “Lelaki yang Bangun Jam Dua Pagi”. Kedua cerpen tersebut diakhiri dengan ending yang juga menggantung. Kembali membuat pembaca bertanya: “lalu?” Persoalan sakit hati muncul dalam cerpen “Luh Sekar, Sakit Ati, lan Isin Keneh Tiange ane Tusing Dadi Tambakin” atau “Luh Sekar, Sakit Hati, dan Keinginanku yang Tidak Dapat Dibatalkan” berakhir tragis dengan pemerkosaan yang dialami Luh Sekar akibat menolak teman lelakinya. Kejadian tragis tokoh perempuan yakni Luh Sekar akibat persoalan hidup juga juga muncul dalam cerpen “Luh Sekar lan Satuane Rikala Ujane Bales Tusing dadi Tanggehang” atau “Luh Sekar dengan Cerita saat Hujan Lebat yang Tidak Dipungkiri” berakhir dengan bunuh diri karena ia diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Percobaan bunuh diri akibat himpitan ekonomi muncul dalam cerpen “Anak Luh ane Majujuk di Duur Abinge” atau “Perempuan yang Berdiri di Atas Jurang”. Kesedihan akibat kehilangan orang tua diceritakan dalam cerpen “Ujan ane Malakar Aji Yeh Paningalan” atau “Hujan dari Air Mata.” Kepercayaan terhadap cerita-cerita mistik dalam masyarakat Bali digambarkan penulis dalam cerpen “Indik Bojog di Desane Dini ane Ngaenang Wargane Takut” atau “Tentang Monyet di Desa ini yang Membuat Warga Ketakukan” menceritakan tentang monyet jadi-jadian yang menteror warga desa. Selain mengangkat tema yang realis, penulis juga mencoba mengangkat sesuatu yang tidak mungkin menjadi dunia kemungkinnan (possible world) yang terkesan absurd. Seperti janin bercerita dalam rahim ibunya dalam cerpen “Rarincikan Tiange di Tengah Basang Memene” atau “Keinginanku di Dalam Rahim Ibu”. Khayalan pembaca sengaja dikecoh dan baru sadar ketika tuntas membaca cerpen “Tiang Lakar Satia Ngantiang Dini Yadiastun Tusing Ada Semengan Wiadin Sanja” atau “Aku akan Setia Menunggu Disini walaupun Tidak Ada Pagi dan Malam” karena tokohnya bukan perempuan melainkan pohon ketapang yang cemburu melihat lelaki idamannya telah beristri. Cerpen tentang seksualitas muncul dalam cerpen “Di Beten Langite Galang I Luh Setata Maplisahan” atau “Di Bawah Langit yang Terang, Kamu Selalu Mendesah” menceritakan perempuan yang berbeda dengan masa kanak-kanaknya dulu, suka bermain dengan orang tuanya. Kini menginjak remaja, permainan itu berubah ke arah erotis semenjak ia berpacaran dan mengenal lawan jenis. Isu kekinian yang muncul beberapa bulan terakhir, yakni tarian joged Bali yang terkesan jaruh atau porno juga dimunculkan penulis dalam cerpen “Sekaa Joged ane Malajah Apang Sekaane Setata Laku” atau “Kelompok Joged yang Belajar agar selalu Dipentaskan”. Cerpen ini semacam renungan bahkan kritikan yang kontekstual dengan keberadaan kesenian hiburan joged Bali saat ini, oleh para pakar budaya dianggap melanggar norma, tatanan nilai, aturan atau pakem tarian joged yang sebenarnya. Lagi-lagi cerita ini menarik namun akhir ceritanya tidak ada kejelasan. Ketidakjelasan itu membuat saya merasa tidak enak, terlebih buku setebal 110 halaman itu selesai dibaca. Lalu, bagaimana dengan cerpen yang saya khayalkan tadi saat melihat cover buku perihal penari joged dan monyet jadi astronot yang selalu menunggu bulan dan bisa jadi akan pergi ke bulan? Perasaan saya semakin tidak enak, tidak nyaman, mulai tidak puas bahkan agak memanas dengan buku ini. Khayalan sirna tiba-tiba. Kemana penari joged dan monyet yang digadang-gadangkan penulis dalam cover bukunya? Saya dibohongi? Ah, tidak mungkin. Jelas-jelas wajah buku cantik, ada penari joged didampingi monyet berpita warna pink. Cantik sekali. Mungkinkah ada halaman yang hilang? Saya buka kembali halaman demi halaman, benar-benar tidak ada. Nihil. Saya mulai agak memanas dengan khayalan saya sendiri. Semakin memanas dan makin panas ketika harapan dan khayalan pupus. Tidak ada cerpen dengan judul sama dengan cover buku. Saya mulai sadar dan keluar khayalan, Putu Supartika tampaknya ingin menghadirkan kesan baru dalam cerpen-cerpen Berbahasa Bali yang konon dianggap “itu-itu aja”. Mungkin dia tergolong cerpenis berbahasa Bali yang kreatif, berani tampil beda, tanpa memikirkan khayalan pembaca. Memang benar, penulis kreatif dan selektif mengambil beberapa kata dari ke-16 judul cerpen dalam bukunya, lalu menggabungkan kata demi kata menjadi judul buku yang menarik yang dapat dikhayalkan dan dimaknai pembaca. Apa benar, ini tergolong kreatif atau hanya sebatas eksplorasi, coba-coba, bahkan meniru? Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk Putu Supartika sebagai pemenang sayembara penulisan cerpen “Gerip Maurip”. Sekali lagi, saya minta maaf atas kejujuran ini karena ingin mengatakan: “Nasbedag!” dengan khayalan saya sendiri yang terlalu tinggi bahkan mengada-ada. (T) Diulas oleh: Gede Putra Ariawan

                    Reviews