UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK AT THE END OF MAY

Property:Description id

From BASAbaliWiki
Showing 20 pages using this property.
T
Tari Trunajaya adalah salah satu tarian kreasi baru Bali, tepatnya dari Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Seni tari ini semula diciptakan pada tahun 1915 oleh Pan Wandres dalam bentuk Kebyar Legong, kemudian disempurnakan kembali oleh I Gede Manik. Tari Trunajaya atau juga Terunajaya lebih menggambarkan gerak-gerik pemuda yang beranjak dewasa, sangat emosional dimana tingkah lakunya yang senantiasa berusaha memikat hati wanita. Meskipun disebut sebagai penggambaran seorang pemuda, tari ini dikategorikan dalam tari putra keras yang umumnya ditarikan oleh penari putri. Tari Trunajaya termasuk tari hiburan yang pertunjukannya bisa di mana saja. Termasuk di halaman pura, lapangan, panggung tertutup atau terbuka, ataupun di tempat-tempat selain itu. Awalnya, tari ini adalah tari tunggal yang juga termasuk “tari babancihan” karena menghadirkan karakter antara laki-laki dan perempuan. Namun seiring perkembangannya, Tari Trunajaya ada juga yang dibawakan oleh lebih dari satu penari. Dalam hal durasi, tari ini sangat fleksibel bisa pendek atau panjang. Durasi tarian terpendek umumnya berkisar 11 menit dari awal hingga akhir. Dalam sejarahnya, Tari Trunajaya tidak terlepas dari Tari Kakebyaran yang berhubungan erat dengan kebyar. Disebut seperti itu, karena bukan hanya diiringi oleh Gamelan Gong Kebyar, namun gerakannya pun sangat dinamis dan bernafaskan kebyar. Para penari Trunajaya menggunakan rias wajah putra halus. Menggunakan rias pentas eyeshadow berwarna kuning, merah dan biru serta pemakaian alis yang agak tinggi dari riasan tari putri serta menggunakan tali kidang. Ciri khas lain dari tari bebancihan ini juga terlihat dari segi kostum, penari memakai kamen atau kancut berwarna ungu prada dengan motif wajik. Dipakaikan seperti pemakaian kain bebancihan pada umumnya yaitu ada sisa kamen di sebelah kiri yang nantinya akan dipakai sebagai kancut, selain itu penari juga memakai udeng yang khas, garuda mungkur (dibagian belakang), satu bunga sandat, bunga kuping (bunga merah dan bunga putih), serta rumbing  
U
W
Wayang arja adalah sebuah wayang ciptaan baru yang diciptakan pada tahun 1975 oleh dalang I Made Sidja dari desa Bona, atas dorongan almarhum I Ketut Rindha. Permunculan wayang ini banyak dirangsang oleh kondisi kehidupan Dramatari Arja yang ketika itu memprihatinkan, didesak oleh Drama Gong. Walaupun masih tetap mempertahankan pola pertunjukan wayang tradisional Bali, Wayang Arja menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita Panji (Malat). Dalam Wayang Arja, peran utama yang memegang pokok cerita adalah tentang kerajaan-kerajaan yang terbagi dalam sisi "kanan" dan "kiri". Kerajaan-kerajaan yang terangkum dalam sekutu "kanan" antara lain adalah seperti Daha, Koripan, Singasari, dan Gegelang, sementara pihak "kiri"-nya adalah Lasem Metaum, Pajang Mataram, Cemara, dan Pajarakan. Dalam wayang ini plot dramatik disusun hampir sama dengan yang terdapat di dalam Dramatari Arja. Oleh sebab itu pertunjukan Wayang Arja berkesan pagelaran Arja dalam bentuk Wayang Kulit. Pertunjukan Wayang Arja melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: • 1 orang dalang • 2 orang pembantu dalang • 9 orang penabuh Gamelan Gaguntangan yang berlaras pelog dan slendro. Di antara lakon-lakon yang biasa ditampilkan antara lain adalah: • Waringin Kencana • Klimun Ilang Srepet Teka • Pakang Raras • Banda Kencana Kekhasan pertunjukan Wayang Arja terasa pada seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat yang biasa dipergunakan dalam pertunjukan Dramatari Arja. Juga, bentuk wayangnya menirukan tokoh-tokoh utama dalam Arja dengan segala atributnya. Wayang Arja kurang begitu populer di Bali, walaupun dalang yang biasa membawakan wayang ini terdapat hampir di seluruh Bali.  +
Wayang beber adalah seni pertunjukan wayang yang penyajiannya diwujudkan dalam bentangan kertas atau kain bergambar dengan stilisasi wayang (kulit) disertai narasi oleh seorang dalang. Pertunjukan wayang beber muncul dan berkembang di Jawa bagian Wengker (sekarang Ponorogo dan Pacitan) pada masa pra-Islam karena Ponorogo masa itu sudah dapat membuat Daluwang atau kertas Ponoragan, tetapi terus berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam (seperti Kesultanan Mataram). Cerita yang ditampilkan diambil dari Mahabharata maupun Ramayana. Setelah Islam menjadi agama utama di Jawa, cerita-cerita Panji lebih banyak yang ditampilkan.  +
Wayang golek adalah wayang yang dibuat dari kayu, dan berbentuk 3 dimensi. Nama golek berasal dari serapan bahasa Jawa, yaitu nggoleki. Maksudnya adalah diharapkan setelah menonton wayang, penonton bisa mencari (nggoleki) intisari atau inti dari cerita Wayang Golek merupakan salah satu dari ragam kesenian wayang, yang berasal dari masyarakat Sunda. Wayang golek adalah wayang yang dibuat dari kayu, dan berbentuk 3 dimensi. Nama golek berasal dari serapan bahasa Jawa, yaitu nggoleki. Maksudnya adalah diharapkan setelah menonton wayang, penonton bisa mencari (nggoleki) intisari atau inti dari cerita. Pertunjukan seni wayang golek merupakan seni pertunjukan teater rakyat yang banyak dipagelarkan. Selain berfungsi sebagai pelengkap upacara selamatan atau ruwatan, pertunjukan seni wayang golek juga menjadi tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu. Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an. Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.  +
Wayang golek adalah wayang yang dibuat dari kayu, dan berbentuk 3 dimensi. Nama golek berasal dari serapan bahasa Jawa, yaitu nggoleki. Maksudnya adalah diharapkan setelah menonton wayang, penonton bisa mencari (nggoleki) intisari atau inti dari cerita Wayang Golek merupakan salah satu dari ragam kesenian wayang, yang berasal dari masyarakat Sunda. Wayang golek adalah wayang yang dibuat dari kayu, dan berbentuk 3 dimensi. Nama golek berasal dari serapan bahasa Jawa, yaitu nggoleki. Maksudnya adalah diharapkan setelah menonton wayang, penonton bisa mencari (nggoleki) intisari atau inti dari cerita. Pertunjukan seni wayang golek merupakan seni pertunjukan teater rakyat yang banyak dipagelarkan. Selain berfungsi sebagai pelengkap upacara selamatan atau ruwatan, pertunjukan seni wayang golek juga menjadi tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu. Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an. Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.  +
Wayang Calonarang juga sering disebut sebagai Wayang Leyak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari ceritera Calonarang. Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan, wayang Calonarang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (Wayang parwa). Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: • 1 orang dalang • 2 orang pembantu dalang • 18 orang penabuh • 5gerong/sendor Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Calonarang ini adalah: • Katundung Ratnamangali • Bahula Duta • Pangesengan Beringin • legu gondong • ratu gede mecaling • ki balian batur • kawisesan i basur • ajian paksa bairawa (mpu barang) • kautus rarung Kekhasan pertunjukan wayang Calonarang terletak pada tarian sisiya-nya dengan teknik permainan ngalinting dan adegan ngundang-ngundang di mana sang dalang membeberkan atau menyebutkan nama-nama mereka yang mempraktikkan pangiwa. Hingga kini wayang Calonarang masih ada di beberapa Kabupaten di Bali walaupun popularitasnya masih di bawah wayang Parwa.  +
Wayang lemah dibeberapa tempat juga disebut dengan Wayang Gedog. Wayang lemah dikatagorikan sebagai Wayang Wali yaitu kesenian sakral yang menyertai upacara keagamaan. Wayang lemah adalah salah satu dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang sakral tersebut adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. Wayang lemah dipentaskan tanpa mempergunakan layar atau kelir dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (benang tukelan) sepanjang sekitar satu sampai satu setengah meter yang direntang susun tiga dengan masing-masing berisi 11 uang kepeng atau pis bolong satakan (uang kepeng berjumlah 200 keping). Benang ini diikatkan pada batang kayu dapdap yang dipancangkan pada batang pisang (gedebong) di kedua sisi dalang. Gamelan pengiringnya adalah gender wayang yang berlaras slendro (lima nada). Wayang lemah atau wayang gedog ini dapat dipentaskan pada siang, sore atau pada saat upacara keagamaan berlangsung. Pendukung pertunjukan wayang ini adalah yang paling kecil, 3 sampai 5 orang, yang terdri dari seorang dalang, dan satu atau dua pasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan wayang lemah biasanya mengambil tempat di sekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan panggung pementasan yang khusus. Lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber dari cerita Mahabharata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan upacara yang diiringinya. Jika pertunjukan itu dilakukan pada upacara Dewa Yadnya, maka lakon cerita diambil dari kisah yang menceritakan upacara, misalnya Kunti Yadnya. Tapi bila pertunjukan dilangsungkan pada upacara Bhuta Yadnya, maka lakon ceritanya adalah Bima Dadi Caru, yaitu cerita ketika Bhima mengorbankan dirinya sebagai caru kepada Raksasa Baka. Sedangkan jika pertunjukan berlangsung pada upacara Pitra Yadnya, maka lakon yang disajikan adalah Bima Swarga atau cerita lain yang mengisahkan perjalanan roh ke surga. Jika pertunjukan itu diadakan untuk Upacara Manusa Yadnya, maka lakon yang digunakan dalang adalah cerita yang mengisahkan perkawinan, misalnya perkawinan Arjuna-Subadra, atau perkawinan Abimanyu-Uttari. Biasanya, pertunjukan wayang Lemah dimulai bersamaan dengan diawali pemujaan oleh Pandita (pemimpin upacara agama Hindu). Demikian pula akhir pertunjukan akan ditutup jika pandita sudah mengakhiri pemujaan. Durasi pementasan Wayang lemah pada umumnya singkat sekitar 1 sampai 2 jam.  
Wayang Parwa adalah Wayang kulit yang membawakan lakon - lakon yang bersumber dari wiracarita Mahabrata yang juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa. Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang paling populer dan terdapat di seluruh Bali. Wayang Parwa dipentaskan pada malam hari, dengan memakai kelir dan lampu blencong dan diiringi dengan Gamelan Gender Wayang. Walaupun demikian, ada jenis Wayang Parwa yang waktu penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu upacara keseluruhan. Wayang Parwa dipentaskan dalam kaitannya dengan berbagai jenis upacara adat dan agama walaupun pertunjukannya sendiri berfungsi sebagai hiburan yang bersifat sekuler. Dalam pertunjukannya, dalang Wayang Parwa bisa saja mengambil lakon dari cerita Bharata Yudha atau bagian lain dari cerita Mahabharata. Oleh sebab itu jumlah lakon Wayang Parwa adalah paling banyak. Di antara lakon-lakon yang umum dipakai, yang diambil dari kisah perang Bharatayudha adalah: • Gugurnya Bisma • Gugurnya Drona • Gugurnya Abhimanyu / Abimanyu • Gugurnya Karna • Gugurnya Salya • Gugurnya Jayadrata Lakon - lakon terkenal sebelum Bharatayudha misalnya: • Sayembara Dewi Amba • Pendawa - Korawa Aguru • Pendawa - Korawa Berjudi • Sayembara Drupadi • Lahirnya Gatotkaca • Aswameda Yadnya • Kresna Duta • Matinya Supala • Dan lain-lain. Wayang Parwa biasanya didukung oleh sekitar 7 orang yang terdiri dari: • 1 orang dalang • 2 orang pembantu dalang • 4 orang penabuh gender wayang (yang memainkan sepasang pemade dan sepasang kantilan) Durasi pementasannya lebih panjang daripada Wayang lemah yakni berkisar antara 3 sampai 4 jam.  +
Wayang Sapuh Leger merupakan sebuah drama ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk membersihkan atau menyucikan diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani. Di Bali hingga kini diyakini bahwa anak yang lahir pada wuku Wayang patutlah melakukan upacara lukatan atau pembersihan yang disebut sapuh leger. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari kejaran Kala dan tak ditimpa malapetaka. Dikisahkan dua orang putra Bhatara Siwa atau Bhatara Guru memiliki otonan yang sama yaitu sama-sama lahir pada Wuku Wayang. Mereka berdua bernama Bhatara Kala dan Sang Hyang Rare Kumara. Jauh sebelum Rare Kumara lahir, Dewa Siwa pernah memberikan ijin kepada Bhatara Kala untuk menadah atau memangsa makhluk yang memiliki otonan sama dengannya. Oleh karena adiknya sendiri memililiki otonan yang sama, Bhatara Kala meminta ijin kepada Dewa Siwa untuk memangsa Rare Kumara. Namun, Kala diminta menunggu agar adiknya tersebut besar. Karena Siwa takut putranya dimangsa, maka dikutuklah Rare Kumara sehingga tak pernah dewasa. Setelah dirasanya adiknya sudah dewasa, Kala menemui Rare Kumara dan bermaksud memangsanya. Namun atas perintah Dewa Siwa, Rare Kumara diminta untuk berlari menuju ke Kerajaan Kertanegara. Mengerahui adiknya lari, Kala mengejarnya. Ia mencium tapak kaki Rare Kumara dan mengikutinya dan dilihatlah sang adik berlari. Setelah bersembunyi di beberapa tempat yaitu rimbun bambu buluh, di balik kayu bakar, dan tungku perapian, Rare Kumara pun sampai di Kertanegara. Kertanegara digempur oleh Bhatara Kala, dan Rare Kumara berlari hingga saat malam ia sampai di tempat pertunjukan wayang. Oleh dalang wayang, Rare Kumara diminta bersembunyi di resonator gamelan gender. Saking laparnya, Kala datang ke tempat pertunjukan wayang dan memakan sesajinya. Melihat hal itu, dalang menegur Kala agar mengembalikan sesaji yang telah dimakannya. Karena terpojok, Kala pun berhutang pada dalang dan kepada dalang itu, ia berikan mantra magis. Mantra itu membuat dalang bisa membebaskan semua makhluk hidup dari kekotoran. Dalang kemudian menghaturkan sesaji sebagai pengganti anak yang dilahirkan Tumpek Wayang, sehingga selamatlah Rare Kumara. Rare Kumara pun dibawa kembali ke kahyangan oleh Dewa Siwa. Begitulah kisah ringkas yang melatarbelakangi dilaksanakannya Sapuh Leger pada anak yang lahir wuku Wayang. Kisah ini diambil dari Lontar Kidung Sapuh Leger.  
Seorang seniman Indonesia dan seorang maestro dalang wayang kulit Parwa Bali, I Wayan Wija lahir di Kecamtan Sukawati, Gianyar, Bali, di sebuag desa dengan jumlah dalang per kapita terbanyak di Bali. Wija adalah putra dari dalang I Wayan Gombloh, yang sekaligus juga menjadi guru dalangnya sejak usia sebelas tahun. Pada usia tiga belas, Wija mulai melakukan pementasan pertamanya. Meskipun Wija terlatih secara tradisional (secara alami dan otodidak), Wija juga merupakan salah satu seniman dalang yang paling inovatif. Dia menciptakan Wayang Tantri pada tahun l982, sebuah bentuk pertunjukan wayang kulit yang menceritakan dongeng binatang (fable) yang disisipkan dalam rangkaian cerita seperti kisah dongeng Sheherazade: Tantri mengisahkan tentang cara seorang perempuan mempertahankan hidupnya dengan menceritakan rangkaian kisah kehidupan binatang kepada seorang raja yang misoginis. Wija mempopulerkan cerita yang kurang dikenal ini setelah presentasinya pada tahun 1980 di akademi seni Bali dan menciptakan jenis wayang-wayang baru dengan menambahkan banyak persendian/sambungan yang memungkinkan gerakan halus dan realistis, seperti misalnya harimau yang menggaruk pahanya dan rusa yang melompat dengan anggun. Pada tahun 1997, Festival Kesenian Bali di seluruh pulau menampilkan kompetisi wayang Tantri. Hingga kini Wayang Tantri masih banyak digemari, karena kisahnya yang jenaka dan kemampuan dalang Wija yang luar biasa dalam menyampaikan petuah cerita Tantri. Karya kolaboratif Wija dengan seniman barat meliputi eksperimen dengan Lee Breuer dari Mabou Mimes dan Larry Reed dari Shadowlight Theatre di San Francisco (dengan siapa ia menciptakan Electric Shadows pada tahun l998, dan karya lainnya menggunakan layar besar , proyeksi, dan campuran penari bayangan mengenakan topeng-hiasan kepala dan boneka). Dengan komposer Evan Ziporyn dari Boston, Wija menciptakan Shadow Bang (2001 dan 2004). Pada tahun 2011, ia menjadi seniman terpilih untuk residensi di Asian Art Museum of San Francisco. I Wayan Wija berkolaborasi dengan komposer Australia Paul Grabowsky dan sutradara Nigel Jamieson dalam konsep produksi The Theft of Sita (1998-2000), berdasarkan Ramayana. Eksperimen wayang internasional ini melibatkan mahasiswa Wija di ISI Denpasar (Institut Seni Indonesia, Institut Seni Indonesia Cabang Denpasar Bali) di mana ia terkadang mengajar dan memastikan warisan inovasinya diwarisi oleh generasi dalang Bali yang akan datang. Sebagian besar pertunjukan I Wayan Wija adalah wayang tunggal untuk upacara adat, tetapi keterbukaan terhadap perluasan tradisi Bali ini merupakan ciri penting karyanya.  
Wayang Wong adalah salah satu tari teater klasik Bali yang semua penarinya memakai topeng. Wayang Wong di Pura Taman Pule, desa Mas-Ubud, mementaskan lakon Ramayana dengan tokoh utama Rama dan sepasukan monyet bersiap merebut kembali istrinya Dewi Sita. Pura Taman Pule adalah sebuah Pura di desa Mas, Ubud di Bali. Tari topeng ini unik dan hanya ditampilkan di Pura ini. Itu tidak dilakukan di luar wilayahnya. Seperangkat topeng tokoh-tokoh dari epos Ramayana dan Mahabharata disimpan di Pura. Tidak ada yang bisa mengatakan secara pasti dari mana topeng ini berasal. Tidak ada catatan pasti tentang pemahat topeng atau bagaimana mereka bisa disimpan di Kuil. Informasi itu mungkin telah hilang akibat konflik atau perang dalam sejarah. .. Keramat Wayang Wong Pura Taman Pule erat kaitannya dengan ritual upacara di Pura. Itu juga dianggap 'Pemuput Karya'. Tarian tersebut menandakan bahwa upacara yang dilakukan di Pura sudah selesai. Tarian serupa lainnya adalah Tari Topeng Sidakarya.  +
Wayang wong (berasal dari bahasa Jawa: wayang wong, yang berarti 'wayang orang') adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang wong diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang wong ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. Cerita-cerita yang diangkat dalam wayang wong berbasis pada duel epik cerita kolosal yaitu Mahabharata dan Ramayana. Hal yang menarik dari pertunjukan wayang wong ini adalah adanya tari kolosal atau individu per pemain di setiap jeda cerita. Selain itu wayang wong juga menampilkan tokoh punakawan sebagai pencair suasana yang merupakan penggambaran keadaan kawulo alit atau masyarakat secara umum dan abdi dalem. Wayang Wong lakon Gathotkaca Winisuda menceritakan kisah Raden Gathotkaca dari lahir hingga diwisuda menjadi raja di kahyangan dengan nama Kacanegara. Cerita bermula saat peristiwa lamaran Batari Wilutama oleh raja sakti mandraguna Prabu Pracona dari Kerajaan Gilingwesi di Kahyangan Jonggringsaloka. Hal ini menjadikan Batara Guru khawatir akan keadaan di Kahyangan. Batara Narada dan Batara Indra lantas diutus menemui Raden Wijasena untuk meminta bayinya. Jabang bayi akan dipersiapkan menjadi “jago” dewata untuk mengusir musuh. Bayi laki-laki Raden Wijasena dengan Dewi Arimbi telah dibawa oleh Batara Narada dan Batara Indra. Namun ternyata, tali pusar sang bayi belum putus. Batara Guru kemudian mengeluarkan pusaka senjata Konta guna memotong tali pusar bayi Tetuka tersebut. Sebuah keajaiban terjadi, senjata Konta merasuk ke perut bayi. Jabang bayi lalu dimasukkan ke kawah Candradimuka, kemudian para dewa kahyangan juga diminta untuk memasukan senjata pusakanya ke dalam kawah. Keajaiban kembali terjadi, bayi tersebut muncul dari kawah dalam keadaan sehat dan gagah. Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk membawa bocah Tetuka ke medan laga (repat kepanasan), menemui Sekipu yang menjadi utusan Prabu Pracona. Tak lama kemudian di repat kepanasan, Batara Narada bersama Tetuka menemui Sekipu, dengan berujar apabila Sekipu bisa mengalahkan Jabang Tetuka, maka Batari Wilutama dapat diboyong oleh Prabu Pracona. Alih-alih kalah, badan Tetuka justru semakin tinggi dan perkasa, hingga akhirnya Sekipu tewas di tangan Tetuka besar. Di Gilingwesi, Prabu Pracona menunggu raksasa Sekipu yang menjadi duta ke kahyangan untuk melamar Batari Wilutama. Namun, Prabu Pracona dikagetkan dengan hadirnya Ki Togog dan Sarawita yang melaporkan bahwa Sekipu telah tewas di tangan kesatria Tetuka. Kemarahan Sang Prabu tak terbendung, Prabu Pracona beserta bala tentaranya menuju ke Kahyangan untuk membalas dendam kepada para dewa. Peperangan pun tak terelakan antara prajurit Kerajaan Gilingwesi melawan para dewa yang dibantu Pandawa. Tetuka yang juga bernama Gatotkaca turut berperang melawan Prabu Pracona, hingga akhirnya Prabu Pracona kalah. Kemenangan Gatotkaca atas Prabu Pracona menjadi sebuah kebanggaan para Pandawa. Gatotkaca, putra Raden Wijasena dengan Dewi Arimbi, dapat mendarmabaktikan perjuangannya kepada para dewata. Atas jasa besar Gatotkaca, dia mendapat anugerah dari Batara Guru dan diwisuda menjadi raja di Kahyangan dengan nama “KACANEGARA”.  
Wayang Wong di Desa Tejakula, Buleleng sudah mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Wayang Wong adalah kesenian topeng kuno yang berasal dari abad pertengahan. Di Tejakula sendiri, pakem Wayang Wong memakai tokoh-tokoh Ramayana. Ada pula wayang wong jenis lain yang disebut Wayang Parwa. Kesenian Wayang Wong di Desa Tejakula termasuk dalam kesenian sakral yang hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu. Topeng-topeng Wayang Wong ini adalah topeng-topeng berusia lebih dari tiga abad yang semuanya berjumlah 175 topeng. Semua topeng itu disimpan di Pura Pamaksan, Tejakula. Kapan pun ada piodalan di Pura Kahyangan Tiga, Pura Pamaksan, Pura Ratu Gede Sambangan dan Pura Dangka (beberapa pura kuno di Tejakula), tarian Topeng Wayang Wong ini akan dipentaskan. Para penari Wayang Wong dipilih secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan. Anda juga dapat menyaksikan pementasan Wayang Wong ini di luar hari-hari suci. Akan tetapi, topeng yang digunakan dalam pementasan ini adalah topeng duplikat, bukan topeng asli yang disucikan. Pementasan Wayang Wong ini biasanya dilakukan pada hari raya Galungan atau pada hari piodalan pura setempat. Pada saat itu, warga perantau biasanya pulang kampung sehingga pementasan Wayang Wong yang sakral ini akan ditonton banyak orang. Karena Pementasan ini adalah gabungan dari kesenian Parwa dan Gambuh dari abad pertengahan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Kawi dan Sanskerta.  +