Trunajaya Dance is one of Bali's new dance creations, precisely from Buleleng Regency, North Bali. This dance art was originally created in 1915 by Pan Wandres in the form of Kebyar Legong, then refined by I Gede Manik.
Trunajaya dance or also Terunajaya describes the movements of young people who are growing up, very emotional where their behavior is always trying to attract women's hearts.
Although referred to as a depiction of a youth, this dance is categorized as a hard male dance which is generally danced by female dancers.
Trunajaya dance is an entertainment dance whose performance can be anywhere. Including in the temple yard, field, closed or open stage, or in places other than that.
Initially, this dance was a solo dance which also called “babancihan dance” because it presented characters between men and women. But along with its development, Trunajaya Dance is also performed by more than one dancer.
In terms of duration, this dance is very flexible, it can be short or long. The shortest dance duration generally ranges from 11 minutes from start to finish.
Historically, Trunajaya Dance is inseparable from the Kakebyaran Dance which is closely related to kebyar. It is called like that, because it is not only accompanied by Gamelan Gong Kebyar, but the movements are also very dynamic and breathe kebyar.
The Trunajaya dancers use subtle male make-up. Using yellow, red and blue eyeshadow stage makeup and using slightly high eyebrows from princess dance makeup. Another characteristic of the bebancihan dance is also seen in terms of costumes, dancers wear kamen or kancut in purple prada with diamond motifs. Worn like the use of bebancihan cloth in general, there is a remnant of kamen on the left which will later be used as a kancut, besides that the dancers also wear the typical udeng, garuda mungkur (on the back), one gold flower, ear flowers (red flowers and white flowers) as well as rumbing (earing)
Tari Trunajaya adalah salah satu tarian kreasi baru Bali, tepatnya dari Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Seni tari ini semula diciptakan pada tahun 1915 oleh Pan Wandres dalam bentuk Kebyar Legong, kemudian disempurnakan kembali oleh I Gede Manik.
Tari Trunajaya atau juga Terunajaya lebih menggambarkan gerak-gerik pemuda yang beranjak dewasa, sangat emosional dimana tingkah lakunya yang senantiasa berusaha memikat hati wanita.
Meskipun disebut sebagai penggambaran seorang pemuda, tari ini dikategorikan dalam tari putra keras yang umumnya ditarikan oleh penari putri.
Tari Trunajaya termasuk tari hiburan yang pertunjukannya bisa di mana saja. Termasuk di halaman pura, lapangan, panggung tertutup atau terbuka, ataupun di tempat-tempat selain itu.
Awalnya, tari ini adalah tari tunggal yang juga termasuk “tari babancihan” karena menghadirkan karakter antara laki-laki dan perempuan. Namun seiring perkembangannya, Tari Trunajaya ada juga yang dibawakan oleh lebih dari satu penari.
Dalam hal durasi, tari ini sangat fleksibel bisa pendek atau panjang. Durasi tarian terpendek umumnya berkisar 11 menit dari awal hingga akhir.
Dalam sejarahnya, Tari Trunajaya tidak terlepas dari Tari Kakebyaran yang berhubungan erat dengan kebyar. Disebut seperti itu, karena bukan hanya diiringi oleh Gamelan Gong Kebyar, namun gerakannya pun sangat dinamis dan bernafaskan kebyar.
Para penari Trunajaya menggunakan rias wajah putra halus. Menggunakan rias pentas eyeshadow berwarna kuning, merah dan biru serta pemakaian alis yang agak tinggi dari riasan tari putri serta menggunakan tali kidang. Ciri khas lain dari tari bebancihan ini juga terlihat dari segi kostum, penari memakai kamen atau kancut berwarna ungu prada dengan motif wajik. Dipakaikan seperti pemakaian kain bebancihan pada umumnya yaitu ada sisa kamen di sebelah kiri yang nantinya akan dipakai sebagai kancut, selain itu penari juga memakai udeng yang khas, garuda mungkur (dibagian belakang), satu bunga sandat, bunga kuping (bunga merah dan bunga putih), serta rumbing
Enable comment auto-refresher