UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK MID JUNE

Property:Biography example text id

From BASAbaliWiki
Showing 20 pages using this property.
I
The Garuda Wisnu Kencana tells about the struggle of Lord Vishnu (Dewa Wisnu) who is assisted by the Garuda bird as his mount to seize Tirta Amerta (water of life) against the power of giants. Through a very deadly war, Tirta Amerta can be seized by The Lord Vishnu. The Tirta Amerta then is used to maintaining life.  +
Artikel ini membahas berbagai strategi yang diterapkan oleh janda (karena meninggal dunia ataupun bercerai) dalam menghadapi batasan-batasan kultural dan stigma sosial pada era Bali kontemporer. Di lingkungan patriarki Bali, perempuan kurang diuntungkan dalam hal akses terhadap pekerjaan dan umumnya menerima pendapatan yang lebih rendah dari laki-laki. Ketika sebuah pernikahan berakhir, seorang janda tidak hanya kehilangan pasangannya namun juga sumber pendapatan penting bagi keluarganya. Janda mungkin juga harus menerima beban tambahan dari menyokong kehidupannya sendiri dan keluarganya, yang artinya menjadi lebih rentah secara ekonomi. Selain itu, janda juga sering dianggap mudah untuk diajak berhubungan seksual, dapat menjadi target hasrat seksual laki-laki, akibatnya menjadi sumber gosip. Sistem pemerintahan dualisme, desa – nasional,di Bali turut menambah kerumitan proses perceraian dan pernikahan kembali di masyarakat patriarkal Bali. Untuk memahami bagaimana janda di Bali menghadapi tekanan sosial dan budaya ini, artikel ini fokus pada membandingkan sejarah hidup 3 orang janda. Menerapkan konsep modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolisme oleh Pierre Bourdieu, analisis penelitian ini menunjukkan bahwa akses terhadap berbagai bentuk modal diatas berperan penting dalam kelangsungan hidup para janda di Bali. Dengan sumber ekonomi yang memadai, seorang janda tidak hanya dapat menunjukkan independensi dan kemampuan untuk menghidupi keturunannya, namun juga berbagai kewajiban sosial dan keagamaan lainnya. Dengan begitu, mereka tetap dapat diterima dan dihormati oleh komunitasnya. Temuan ini juga berkontribusi dalam memberikan gambaran yang lebih luas dan kompleks mengenai kehidupan janda di Bali.  +
Pulau Bali telah sangat menyatu dengan dunia pariwisata. Artikel ini meneliti identitas kebudayaan Bali yang dinamis dan hubungannya yang selalu berevolusi dengan dunia pariwisata di tengah globalisme dengan menggunakan studi kasus, pembangunan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (antara tahun 1993 – 2018), yang berbentuk patung Hindu Dewa Wisnu berdiri di atas burung garuda yang agung. Taman dan patung tersebut dipandang sebagai pertanda budaya baru untuk Bangsa Indonesia dan untuk industri pariwisata Bali. Namun demikian, studi kasus terhadap eksistensi taman ini juga menunjukkan bahwa Bali telah mengubah perannya di dalam konteks kepulauan Indonesia semenjak jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998 sembari berhadapan dengan tantangan baru globalisme pariwisata. Keterwakilan identitas budaya Bali berevolusi dari konstruksi turisme budaya terpusat, dari atas ke bawah, menjadi destinasi wisata global dengan menjadi tuan rumah bagi banyak kegiatan berskala internasional di taman tersebut.  +
Dikisahkan Rsi Markandeya mempunyai istri yang bernama Dewi Dumara lalu memiliki seorang anak yang bernama Rsi Dewa Sirah Pertami dan Bhujangga Waisnawa. Diceritakanlah Rsi Markandeya ini bertapa di Gunung Hyangg, ternyata di disana beliau mendapatkan banyak gangguan lalu pindahlah beliau bertapa di Gunung Raung, disana beliau mendapat sabda dari Hyang Jagat Natha yang meminta beliau untuk merambas hutan agar menjadi sawah dan kebun ke daerah jawa ke timur. Lalu Rsi Markandeya merambas hutan dengan sarana yadnya dengan lancar.Setelah itu berhasillah beliau membuat persawahan, menambang emas dan sebaginya dihutan tersebut yang di berinama Desa Basukih Karanin. Dinamakan Desa Basukih Karanin karena tidak ada kekurangan apapun disana atau dapat dibilang makmur. Di sana beliau menanam panca datu, mas, perak, tembaga dan lainnya. Dan juga Rsi Markandeya ini memiliki nama lain yakni Ida Maha Rsi Hyang Nerada Tapa.  +
Panji Semirang adalah tari kreasi tradisional Bali yang termasuk jenis tari kakebyaran, yaitu tarian dengan iringan gamelan gong kebyar yang umumnya menggunakan pukulan makebyar saat mengawali tabuhan. Tarian ini diciptakan oleh I Nyoman Kaler tahun 1942, mengisahkan pengembaraan Galuh Candra Kirana yang menyamar sebagai seorang laki-laki bernama Panji Semirang untuk mencari kekasihnya Raden Panji Inu Kertapati. Tari Panji Semirang disajikan sebagai tarian tunggal bebancihan, yaitu tari dengan karakter antara laki-laki dan perempuan, halus dan lembut. Meski aslinya merupakan tari tunggal namun Panji Semirang sering dibawakan dalam bentuk drama tari yang melibatkan banyak penari. Struktur tari Panji Semirang yang berkembang di masyarakat saat ini umumnya hanya berupa nukilan dan tidak dibawakan secara lengkap. Struktur tari yang lengkap terdiri dari: (1) Papeson; (2) Ngumbang; (3) Pangecet; (4) Pangadeng/Tetangisan; (5) Ngumbang; (6) Tindak Dua; (7) Ngumbang; (8) Ocak-ocakan; (9) Ngumbang; (10) Pakahad pertama; (11) Ngumbang); (12) Pangipuk; dan (13) Pakahad kedua akhir tarian. Struktur tari yang pendek terdiri dari (1) Papeson, gerakan-gerakan yang mengawali tarian; (2) Ngumbang, gerakan peralihan ke urutan tari berikutnya dengan cara berputar ke arah belakang, membuat pola lantai angka delapan (luk penyalin), tangan kanan ditekuk sejajar dada dan tangan kiri memegang ujung kain (kancut); (3) Pangecet, gerakan dalam struktur tari yang dilakukan dalam ritme cepat; (4) Pangadeng/Tetangisan, gerakan tari yang menggambarkan kesedihan; (5) Ngumbang menuju akhir tarian. Adapun ragam gerak tari Panji Semirang sesuai urutannya terdiri dari manganjali (gaya sembah sebagai representasi cara bersembahyang orang Bali dalam kesehariannya), mungkah lawang, agem, seledet (gerakan mata ke sudut atas/samping disertai gerakan leher), luk naga satru (gerakan kedua tangan diputar ke dalam disertai pandangan mata ke arah tangan yang lebih tinggi, menggambarkan dua ekor naga yang saling berpandangan), luk nerudut, ngelier, ngileg, ngangget, ulap-ulap, agem nyigug, miles, nadab gelung, nadab pinggel, gandang arep, ombak angkel, ngeseh, nguses, ngeteb, ngumbang, luk ngelemat, ngucek, jongkok Panji Semirang, ngileg, nyalud, ngiluk, ngepel, ngeliput, tanjek ngandang, nyogok, maserod, dan nyakup bawa. Busana penari Panji Semirang terdiri dari: (1) Gelungan dengan bentuk jejateran (udeng-udengan), dibuat dari kain prada yang kemudian berkembang menggunakan kulit sapi yang diukir dan dicat prada. Ada juga modifikasi dari kain beludru yang disulam dengan benang gim; (2) Badong bundar berbahan kulit yang diukir dan diprada, atau sulaman kain beludru; (3) Tutup dada dari bahan sulaman kain beludru; (4) Gelang kana dari kulit yang diprada, dikenakan di pergelangan tangan dan sedikit di bawah pangkal lengan; (5) Sabuk dari bahan kain yang diprada; (6) Ampok-ampok, bahannya sama dengan badong; (7) Kamen (kain) prada warna hijau menjulur di samping kiri (makancut). Penari juga membawa kipas prada sebagai properti tari, yang digerakkan dengan tangan kanan dalam sikap tertentu. Aksesoris berupa bunga imitasi sandat satu atau dua buah sebagai hiasan pada gelungan. Bunga kamboja merah diselipkan di telinga kanan, sedangkan telinga kiri bunganya berwana putih. Tata rias wajah cantik dengan mempertegas raut wajah memakai kosmetik. I Nyoman Kaler yang juga ahli karawitan, menciptakan sendiri musik iringan untuk tari-tariannya. Terkadang bahkan musiknya lebih dahulu ada sebelum tariannya, seperti Tabuh Telu (Demang Miring), Kebyar Dang (Mergapati), dan Kebyar Dung (Panji Semirang) yang semuanya menggunakan gamelan gong kebyar. I Nyoman Ridet dari Kerobokan yang merupakan murid Kaler, menciptakan gending iringannya juga diawali dengan nada Dung tetapi dengan melodi yang berbeda. Pada bagian pangadeng/tetangisan dipakai melodi lagu Sriwijaya, yang mengagungkan kerajaan Sriwijaya di Palembang sebagai pusat perkembangan agama Budha di Indonesia. Jadi iringan musik tari Panji Semirang mempunyai dua versi, yaitu pada bagian papeson (awal tarian), dan pangadeng/tetangisan (penggambaran kesedihan). Musik iringan dalam tari Panji Semirang sangat mendominasi sehingga penari harus mengikuti gemelan iringan yang telah memiliki pola tertentu. Tari Panji Semirang tergolong balih-balihan, yaitu tarian yang berfungsi sebagai tontonan. Tarian sebagai sebuah tontonan harus dapat menampilkan keindahan gerak dan nilai seni yang tinggi, sehingga penonton terpuaskan serta penarinya sendiri mendapatkan kepuasan batin karena berhasil menghibur masyarakat. Tari Panji Semirang juga berfungsi sosial, dimana saat pertunjukan terjadi interaksi dan pergaulan di antara sesama seniman bahkan juga dengan penonton, sehingga memberikan dorongan solidaritas pada masyarakat penikmat yang mewujudkan rasa kebersamaan. Tari Panji Semirang juga pernah digunakan sebagai media komunikasi dan diplomasi kebudayaan. Penari pertama tari Panji Semirang sering mengadakan pertunjukan ke kota-kota besar di Jawa, bahkan melawat ke China pada tahun 1955 sebagai duta seni. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengakrabkan hubungan antar suku dan negara, serta kegiatan diplomasi.  
Kakawin yang berjudul PRAPANCA SUDDHANI. Merupakan salah satu karya sasta dari seorang pengarang yakni I Nyoman Wahyu Prapanca, secara garis besar mempunyai isi atau makna yang terkandung yaitu membahas mengenai situasi Pandemi Covid-19 dengan lebih mengulik tentang respon kita menghadapai pandemi Covid-19 agar tidak terhayut dalam kesedian ataupun penderitaan yang diakibatkan oleh pandemi ini. Dalam kakawin ini pula kita lebih diajarkan tentang lebih menjaga sikap batin kita dalm menghadapi situasi yang sulit dalam kasus ini yaitu Covid-19.  +
Studi ini dilaksanakan pada tahun 2008 di Gianyar, Badung, dan Denpasar. Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan sistem pengelolaan sampah perumahan warga Bali, serta untuk memahami berbagai masalah yang dihadapi dalam sistem manajemen limbah berbasis komunitas. Untuk mencapai tujuan-tujuan dimaksud, data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi literatur. Data yang terkumpul kemudian dianalisa secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah kendala dihadapi oleh lembaga pengelola limbah di tingkat desa seperti: 1) rendahnya kesadaran publik, 2) sulitnya mencari lahan untuk mengelola sampah, 3) belum adanya pemisahan sampah organik dan non-organik di rumah masing-masing, 4) jadwal pengangkutan sampah yang kurang tepat, 5) terbatasnya jumlah mesin penebah, 6) pemasaran kompos yang tidak teratur dan masih sangat terbatas, 8) kendala kesehatan pekerja pengolah sampah, 9) terbatasnya dana operasional manajemen limbah. Pengelolaan limbah berbasis sosial budaya bermanfaat untuk mengaktualisasi dan meningkatkan peran institusi tradisional (desa tradisional/banjar) karena ini mendukung visi dan misi Tri Hita Karana, mengubah paradigma budaya Bali mengenai manajemen limbah (rekayasa budaya), aktualisasi nilai-nilai budaya dan kesucian lingkungan (sebagai sumber daya yang penting) serta wilayah, mendorong tradisi gotong royong menjaga lingkungan, mempromosikan upaya 3R (reduce, reuse, and recycle) dalam pengelolaan sampah rumah tangga, meningkatkan peran ibu rumah tangga, menerapkan aturan pengelolaan sampah rumah tangga dan lingkungan yang effektif melalui mekanisme penghargaan-hukuman dengan awig-awig.  +
Studi ini bertujuan untuk mengetahui konsep Karma Yoga dalam hubungannya dengan kecerdasan spiritual dan kinerja pegawai LPD di Kabupaten Buleleng. Konsep Karma Yoga adalah sebuah nilai kearifan lokal yang dapat memberikan panduan kepada para pegawai LPD dalam bentuk rasa kesungguhan dalam bekerja yang menjadi dasar untuk meningkatkan kinerja pegawai LPD. Populasi studi ini adalah semua LPD yang aktif beroperasi di Kabupaten Buleleng. Sampel dipilih menggunakan teknik random sampling. Analisis data menggunakan SEM berbasis komponen, Partial Least Square (PLS) metode analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep Kharma Yoga dan kecerdasan spiritual memiliki korelasi dengan performa karyawan.  +
Adakah? (Tudékamatra) Bumi sekarang kalau sudah musim pemilu Calon-calonya semakin banyak Mungkinkah dia ikut- ikutan? Supaya dapat duduk di atas Sana sini teriak -teriak Ke sana ke mari tidak kena tepat Yang beruntung dapat duduk Hanya bisa tertawa terbahak Memang manusia murtad! Yang tidak dapat, membuat rusuh Supaya tidak rugi keringat Memang manusia gila! Semua berpura- pura pintar Tapi sebenarnya pamrih Sama tidak suka repotnya Adakah yang benar-benar perduli. Tidak main- main Yang pantas dipercaya? 2009  +
Geguritan Geger Kageringan (Ritatkala Sangsaya, Bingung lan Dukhitane Mapadu) merupakah sebuah geguritan yang terinspirasi dari pandemi Covid 19 yang menyerang Indonesia khususnya Bali  +
Swasti Prapta adalah garapan tari karya koreografer Dewa Ayu Eka Putri yang berasal dari Banjar Pengosekan, Desa Mas, Ubud bersama komposer I Putu Swaryandana Ichi Oka yang berasal dari Banjar Sayan, Ubud, Gianyar.Garapan tari ini diciptakan pada tahun 2018 dan pertama kali dipentaskan pada Festival Cudamani yang diadakan setiap tahun dari tahun 2016. Swasti Prapta memiliki makna "selamat datang", garapan tari kreasi baru ini bertujuan untuk menghibur dan mengundang kebaikan dari segala arah. Gerakan-gerakan tari yang sederhana namun bermakna, demikianlah seharusnya penyambutan pada segala kejadian. Rangkaian nada musik yang harmonis dan dinamis, menunjukkan kesigapan dan kesiapan menyambut hal-hal yang baru. Simetri dan asimetri selalu berdampingan, kebaikan tentu tidak hanya berasal dari kebaikan, tetapi bisa jadi lahir dari pembelajaran terhadap pengalaman-pengalaman buruk. Swasti Prapta, selamat datang segala kejadian.  +
Baleganjur Benen Mua adalah “re-fusion” (Wallach, 2018) dari “Fix Your Face” oleh DIllinger Escape Plan, untuk Gamelan Baleganjur. Disusun dan dikonsep ulang oleh Putu Tangkas Adi Hiranmayena untuk Denver, Gamelan Tunas Mekar Colorado, karya ini menggunakan idiom dari kepekaan baleganjur tradisional dan kontemporer. Ini ditayangkan perdana pada konferensi “Sounding Out the State of Indonesian Music” 2018 di Cornell University di Ithaca, NY. Niat Hiranmayena dalam menciptakan karya ini adalah untuk mengkritik keadaan musik gamelan global dan mempertanyakan atribusi nilai identitas masyarakat Bali.  +
Buru adalah karya tari kontemporer dari seniman Dewa Ayu Eka Putri dan I Putu Tangkas Adi Hiranmayena, keduanya membuat sebuah team duo experimental yang dikenal dengan nama ghOstMiSt. Buru adalah salah satu karya mereka di tahun 2021, karya ini terinspirasi dari novel seorang penulis legendaris Indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru. Meski dalam karya tari ini lebih menyorot mengenai perasaan terisolasi, terasing, kemampuan untuk melawan dan bertahan dari perburuan perasaan cemas, takut dan kematian, ketika para tahanan politik dibuang di Pulau Buru.  +
“Laku”: perilaku aktif seseorang; arah yang menunjukkan permintaan. Ini juga menggambarkan aura ketersediaan. Ini adalah karya baru yang disusun sebagai tarian selamat datang yang mewujudkan gagasan perubahan. Gerakan-gerakan simultan mengikuti dan berangkat dari musik tersebut secara bersamaan, namun berbeda dengan tarian tradisional “penyambutan” yang cenderung kompak, dalam Lelaku, gerakan dinamis dan asimetris menjadi hal yang biasa. Ketika popularitas perjalanan menjadi normal, bagaimana perilaku manusia berubah? Bagaimana kita menyambut orang-orang yang mengganggu ruang kita? Apakah umat manusia berubah seiring dengan sumber daya apa yang tersedia? Jawabannya terletak pada penjajaran co-motion.  +
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kondisi psikologis masyarakat di Kota Denpasar, dilihat dari fenomena tren pemilihan cat warna untuk rumah tinggal pada masa pandemi Covid-19. Survei dilakukan pada 12 toko cat dan bangunan yang tersebar di wilayah Kota Denpasar. Metode yang digunakan adalah wawancara terstruktur. Metode penelitian bersifat kualitatif dengan penyajian deskriptif. Hasil dari penggalian data dikaji menggunakan teori psikologi warna. Berdasarkan hasil kajian, menunjukkan bahwa pemilihan warna putih dan warna-warna cerah, berimplikasi pada keinginan masyarakat untuk menciptakan kondisi damai, tenang, bersih dan menyenangkan pada rumah tinggal di masa pandemi Covid-19.Pemilihan warna secara implisit menunjukkan pengharapan pada diri masyarakat Kota Denpasar. Pengharapan untuk masa depan yang lebih baik, yang sempat mengguncang banyak sektor kehidupan selama masa pandemi Covid-19.  +
Punarbawa (29.5 x 89.5 cm, xcrylic di kanvas, 2016)  +
Pohon Kehidupan (87 x 112 cm, acrylic di Kanvas, 2015)  +
Sinar Seorang Pemimpin (tinta cina dan akrilik di kanvas, 50 x 70 cm, 2016)  +
Melasti adalah rangkaian upacara ketika akan mengadakan upacara di pura keluarga atau pura desa, Melasti adalah penyucian atau pembersihan perangkat-perangkat yanga akan di upacarai di pura. Melasti biasanya di laksanakan di pantai tetapi dibeberapa tempat di Bali bisa juga di sungai atau danau. Masyarakat yang akan melaksanakan upacara di puranya akan dengan sukarela ikut berjalan kaki menuju tempat pemelastian.  +
Uled (Ulat) Jika tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba desa anda diserbu oleh ribuan ulat bulu, adakah ini pertanda sesuatu? “Itu pertanda bahwa ulat tersebut tidak tahu tukang cukur atau salon. Jika ada tukang cukur Maduratna atau salon, tentu tidak akan seragam model bulunya; ada ulat yang keriting, gundul, cepak, dan juga rebonding,” kata I Putu Tawah Matah. Mereka pada tertawa semua. Begitulah akibatnya jika bertanya pada orang yang kurang waras, jawabannya pun menjadi tidak waras. “Itu artinya peringatan terhadap diri kita. Mungkin ada sesaji yang kita haturkan kurang, atau baktinya yang tidak tulus, sahut I Made Tirtayatra Miratdana. Begitulah akibatnya jika senang sekali merasa seperti paling tahu kehendak Ida Bethara (Tuhan). Ketika terjadi gunung meletus, katanya Ida Bethara murka, ketika terjadi tsunami, katanya Ida Bethara ngambek. Ada ulat mewabah, katanya Ida Bethara tersinggung karena sesaji (aci-aci) nya kurang. Sepertinya Ida Bethara tidak punya pekerjaan lain selain membuat bencana dan mala petaka. “Pola pikirmu sama seperti Ketua DPR yang dengan santainya mengatakan bahwa wabah ulat bulu merupakan peringatan Tuhan. Jika Tuhan memang senang memberi peringatan tentu “barang” ketua DPR nya yang direbut ulat bulu terlebih dahulu karena memang tidak tahu malu; tetap bersikukuh membuat gedung baru untuk dipakai tidur,” komentar I Wayan Bungut Lengut. Jika memang setiap kali Ida Bethara emosi lantas membuat bencana—gunung meletus, gempa bumi, wabah rabies, wabah ulat—lantas apa yang akan dibuatnya jika Ida Betara merasa senang? Pasti hujan emas, gunung mengeluarkan uang serta angin yang membawa supermi. “Karena sampai sekarangpun belum ada hujan emas, maka sampai jika kita ingin mempunyai uang kita harus bekerja mengeluarkan keringat, dan jika kepingin supermi mesti beli sendiri; artinya cuma satu: Ida Bethara tidak ada kaitannya dengan urusan gunung meletus maupun wabah ulat,” begitu kesimpulan I Wayan. Mereka semuanya mengangguk-angguk setuju. Memang tidak ada yang suka jika dibilang Ida Betara dikatakan hipertensi atau emosi tinggi, sedikit-sedikit membuat bencana, sedikit-sedikit tersinggung. “Ida Bethara kita memang santai, tidak senang marah-marah. Muara sungai di urug oleh investor, tanah milik pura di kontrakkan menjadi vila, pura yang dijadikan obyek wisata, upakara/upacara dijadikan proyek, tetap saja Ida Bethara kita santai.” Ida Bethara percaya manusia sudah pintar, bisa berfikir sendiri, sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. “Manusia lahir sudah membawa otak. Itu artinya kita disuruh untuk berfikir, supaya tidak setiap ada bencana , kita langsung menyatakan bahwa itu kehendak Tuhan. Jika kita berfikir seperti itu, sepertinya rugi Ida Bethara memberi manusia kemampuan untuk berfikir (idep). Artinya, urusan ulat tidak ada kaitannya dengan Ida Bethara. “Bisa jadi wabah ulat bulu ini disebabkan oleh semakin berkurangnya populasi semut dan burung yang berfungsi memakan ulat. Bisa pula karena ulatnya tidak tahu soal KB. Apalagi sekarang ini lagi musim hujan sehingga terasa dingin , tentu ulatnya tidak mempunyai kegiatan lainnya selain sibuk “membuat anak” saja,” kata I Wayan lagi. Mereka semua menggangguk setuju. Jika ulatnya tahu KB, tahu tingginya biaya sekolah, asuransi kesehatan, cicilan dan kredit di sana sini, tentu ulatnya tidak akan berani beranak, minimal bulunya akan lepas sehingga menjelma menjadi ulat yang botak karena stress memikirkan hidup. Akan tetapi, sejelek-jeleknya ulat, dia tetap lebih baik dari orang jahat. Tidak ada orang jahat yang bisa berubah menjadi “kupu-kupu” (orang baik), apalagi menghasilkan benang sutra yang bagus (menghasikan sesuatu yang berguna).” Paling-paling orang jahat akan berubah menjadi orang yang bertampang insyaf dan tobat, ke sana kemari membawa-bawa nama Tuhan dan sepertinya paling tahu kehendak Tuhan.