Mark Hobart

Dari BASAbaliWiki
Lompat ke:navigasi, cari
Mark.jpg
Nama lengkap
Mark Hobart
Nama Pena
Photograph by
Link to Photograph
https://www.soas.ac.uk/staff/staff31118.php
Website for biography
Tempat
Related Music
Related Books
Related Scholars Articles


Tambahkan komentar
BASAbaliWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

Biodata


In English

Mark Hobart is Emeritus Professor of Critical Media and Cultural Studies at SOAS, University of London. Mark's research interests include philosophical issues in Anthropology, Cultural and Media Studies. Currently he is running a project on cultural styles of argument and rhetoric entitled 'How Indonesians Argue', which aims to explore the practices that constitute what we usually call 'culture' or 'society'. Having carried out over eight years of intensive ethnography in Indonesia, his interest is driven by awareness of the unappreciated gulf between academic theorizing and concepts on the one hand and how people act, judge and interpret their own actions.

Bali-related publications include:

Hobart, Mark (2017) 'Bali is a battlefield Or the triumph of the imaginary over actuality'. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), (7) 1, pp 187-212.

Hobart, Mark (2011) 'The relevance of cultural and media studies to theatre and television in Bali'. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), (1) 2, pp 63-75.

Hobart, Mark (2011) 'Bali is a brand: a critical approach'. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), (1) 1, pp 1-26.

Hobart, Mark (2010) 'Rich kids can’t cry: reflections on the viewing subject in Bali'. About Performance, (10), pp 199-222.

Hobart, Mark (2007) 'Rethinking Balinese Dance'. Indonesia and the Malay World, (35) 101, pp 107-128.

Hobart, Mark (2000) 'The end of the world news: television and a problem of articulation in Bali'. International journal of cultural studies, (3) 1, pp 79-102.

Hobart, Mark (1997) 'The missing subject: Balinese time and the elimination of history'. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, (31) 1, pp 123-172.

In Balinese

In Indonesian

Contoh karya

Front cover Jurnal Kajian Bali Bali is brand hobart.jpg
Kajian kebudayaan Bali kebingungan oleh karena yang dimaksudkan dengan ‘kebudayaan’ sangat kurang terang. Apakah kebudayaan merupakan esensi atau jiwa orang Bali, suatu gagasan politik yang direkayasa oleh Orde Baru, atau cara menjual seni pertunjukan, barang atau pengalaman kepada wisatawan? Jarang disadari di Indonesia bahwa Bali terkenal di Eropa sebelum Pulau Bali ditemukan oleh pelaut Barat yang sedang mencari sorga di dunia ini. Sejarah Bali tidak bisa dipisahkan dari khayalan orang Barat. Dilihat dari pandangan cultural studies, dari awal Bali merupakan ‘brand’ untuk dipasarkan – dan objek yang dijual adalah kebudayaan. Untuk mengerti apa yang sedang terjadi di Bali, perlu dipahami teori konsumsi dan branding. Walaupun kelihatannya yang dijual dan dibeli adalah barang atau pengalaman, sebenarnya yang dikonsumsi adalah perbedaan. Artikel ini menawarkan pemahaman mendalam mengenai hukum hukum branding dari sudut pandang kajian budaya.
20221106T064224500Z429576.png
Artikel ini bertujuan untuk membawa kekuatan intelektual kajian budaya kedalam berbagai ide Bali tentang budaya yang tampak rancu antara budaya dan ideologi. Kajian budaya tidaklah sama dengan studi tentang budaya, namun kritik tentang budaya yang mendekonstruksikan budaya sebagai sebuah kesalahan intepretasi aktualitas dengan imajinasi yang nyaman bagi rezim yang berkuasa. Orde Baru mengartikulasikan ‘kebudayaan’ untuk menciptakan masyarakat yang patuh dan senang merangkul pariwisata global. Budaya bukan lagi mengenai bagaimana masyarakat mengerjakan sesuatu melainkan komoditas yang dapat dipasarkan yang dikemas sebagai ‘tradisi kuno.’ Bali sebagai surga adalah sebuah hal yang klise. Pulau ini kini memenuhi impian Madam Suharto tentang Disneyland. Fantasi kapitalis mengenai pertumbuhan gratis tanpa akhir tidak memiliki kemiripan dengan kosmologi Bali nan canggih bernama Kali-Yuga, yang berakhir dengan kehancuran dahsyat; maupun terhadap ide-ide popular dari dunia yang tak henti bertransformasi. Meskipun kebudayaan menganggap orang biasa sebagai masa yang bodoh, mereka seringkali melepaskan diri dari kekangan ideologi kebudayaan dengan cara memahami kebudayaan sebatas sebagai kebiasaan sehari-hari.
Cover How Balinese Argue.jpg
Imajinasi terhadap Bali sebagai sebuah surga dunia bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya. Memahami perbedaan tersebut membutuhkan pembahasan mengenai siapa yang berwenang mewakili Bali, seperti apa dan pada kondisi apa. Hal ini juga berkaitan dengan sifat dari pertentangan itu sendiri – apakah argumentasi atau ketidaksepemahaman – dan bagaimana isu dimaksud mengenyampingkan alternatif. Gaya berargumen hegemonic yang disukai di Bali disebut monolog, disukai oleh mereka yang berkuasa, yang secara efekfif mampu mengantisipasi dan mencegah pertikaian. Sebaliknya, dialogi bersifat terbuka, demokratis dan tersebar di kehidupan keseharian masyarakat, namun seringkali terlewati tanpa disadari. Sementara itu, dialog memungkinkan diskusi dan pemecahan masalah, monolog menekankan ideologi saat menghadapi keadaan sulit. Di Bali, bentuk ideologi berpusat pada berbagai fantasi mengenai bayangan budaya jaman kuno. Kelemahan yang dimiliki sebagai bukti bagaimana klaim terhadap Tri Hita Karana menyamarkan kekurangan dalam penerapannya.
Nothing was added yet.