UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK AT THE END OF MAY

How Balinese argue

From BASAbaliWiki
Revision as of 22:40, 24 November 2020 by Desyapriliani (talk | contribs) (Created page with "{{PageSponsor}} {{ScholarsRoom |Title=How Balinese argue |Title id=Bagaimana warga Bali berargumen |Title ban=Sapunapi penampen manusa Bali |Original language=English |Photogr...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Cover How Balinese Argue.jpg
Title of article (Indonesian)
Bagaimana warga Bali berargumen
Title of article (Balinese)
Sapunapi penampen manusa Bali
Original title language
English
Title (other local language)
Author(s)
Subjects
  • Culture
  • Argument
  • monologue
  • dialogue
  • ideology
Title of Journal
Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies)
Volume and Issue number
Vol. 09/01
Date of Publication
Page Numbers
1-34
Link to whole article
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/48810/29081
Related Places
    Related Holidays
      Related Books
        Related Lontar


          Add your comment
          BASAbaliWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

          Abstract


          In English

          The Imaginary of Bali as paradise stands in stark contrast to what is actually going on. To understand the split requires examining who is authorized to represent Bali as what under

          what conditions. The issue concerns the nature of argument – whether argumentation and disagreement – and how it disarticulates and marginalize alternatives. The preferred, hegemonic style of argument in Bali is monologue, favoured by those in power, which effectively anticipates and prevents contradiction. By contrast, dialogue is open, democratic and widespread in daily life, but often passes relatively unnoticed. Whereas dialogue enables discussion and problem-solving, monologue re-asserts ideology in the face of uncomfortable actualities. In Bali, the form ideology takes centres on fantasies about an imaginary ‘age-old culture’. The drawbacks are evident in how claims over the cultural antiquity of Tri Hita

          Karana disguise its grave shortcomings in practice.

          In Balinese

          In Indonesian

          Imajinasi terhadap Bali sebagai sebuah surga dunia bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya. Memahami perbedaan tersebut membutuhkan pembahasan mengenai siapa yang berwenang mewakili Bali, seperti apa dan pada kondisi apa. Hal ini juga berkaitan dengan sifat dari pertentangan itu sendiri – apakah argumentasi atau ketidaksepemahaman – dan bagaimana isu dimaksud mengenyampingkan alternatif. Gaya berargumen hegemonic yang disukai di Bali disebut monolog, disukai oleh mereka yang berkuasa, yang secara efekfif mampu mengantisipasi dan mencegah pertikaian. Sebaliknya, dialogi bersifat terbuka, demokratis dan tersebar di kehidupan keseharian masyarakat, namun seringkali terlewati tanpa disadari. Sementara itu, dialog memungkinkan diskusi dan pemecahan masalah, monolog menekankan ideologi saat menghadapi keadaan sulit. Di Bali, bentuk ideologi berpusat pada berbagai fantasi mengenai bayangan budaya jaman kuno. Kelemahan yang dimiliki adalah bukti bagaimana klaim terhadap Tri Hita Karana menyamarkan kekurangan dalam penerapannya.