Property:Biography text id

From BASAbaliWiki
Showing 20 pages using this property.
N
Ni Made Frischa Aswarini. Lahir pada 17 Oktober 1991. Pernah belajar Ilmu Sejarah di Universitas Udayana, Bali. Menulis karya jurnalistik, karya ilmiah, esai, puisi maupun cerita pendek. Puisi-puisinya disiarkan di pelbagai media termasuk diterjemahkan ke bahasa Perancis untuk jurnal Le Banian (2016) dan antologi puisi Couleur Femme (Forum Jakarta-Paris dan AF Denpasar, 2010); diterjemahkan ke bahasa Inggris dalam antologi Happiness, The Delight-Tree 2 (United Nations SRC Society of Writers, 2016). Dua buku puisinya berjudul Potret di Atas Meja (2012) dan Tanda bagi Tanya (GPU, 2017). Karena jejak kepenyairannya itu, ia menjadi salah satu pembicara di Ubud Writers & Readers Festival 2013, serta pembicara dialog budaya di Publika, Kuala Lumpur. Ia pernah terpilih mengikuti Canada World Youth (Kemenpora RI, 2014-2015) dan turut menyusun biografi perupa Made Wianta yang berjudul Waktu Tuhan (2008). Tanda bagi Tanya (2017) adalah buku kumpulan puisinya yang termasuk dalam 10 besar kategori Karya Pertama atau Kedua, Kusala Sastra Khatulistiwa 2017-2018.Kini, ia bekerja sebagai asisten riset sejarah dan presenter di TVRI Bali. Aktif di Komunitas Sahaja, Denpasar. Akun Instagram: @frischa_aswarini.  +
Ni Made Jujul lahir di Telepud, Sebatu, Tegalalang, Gianyar, Bali, 1956. Dia belajar menari sejak kanak-kanak. Pada era 1970-an dia dikenal sebagai pemeran Dewi Sita dalam pementasan dramatari wayang wong. Pada tanggal 12 April 1975 dia keliling Eropa bersama sekaa (kelompok) wayang wong “Dewa Kesola Rata” Talepud dalam rangka misi kesenian Indonesia mengikuti Festival Ramayana Internasional. Mereka keliling Eropa selama tiga bulan dan tampil di beberapa negara, seperti Prancis, Belanda, Swiss, Monako, Yunani, Portugal, dll. Namun sayangnya, pada minggu pertama lawatan di Prancis, karena kelelahan Jujul jatuh pingsan di panggung dan sempat beberapa hari dirawat di rumah sakit. Dia akhirnya meninggal di Paris pada tanggal 25 Juli 1975. Saat itu dia baru memiliki seorang putra yang masih balita. Jenazahnya dikirim ke Bali dan diaben pada tanggal 2 Agustus 1975 di kuburan Desa Adat Pujung, Tegalalang, Gianyar. Di kuburan itu dibangun pula miniatur Menara Eifel dari batu padas sebagai bentuk kenangan terhadapnya. Jujul meninggal di Paris sebagai pahlawan kesenian pada usia yang sangat muda. (Keterangan: admin belum mendapatkan foto Ni Made Jujul)  +
Ni Made Purnama Sari lahir di Klungkung, Bali, 22 Maret 1989. Menamatkan pendidikan di Jurusan Antropologi Universitas Udayana, lalu melanjutkan ke Magister Manajemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia. Dia menulis puisi, cerpen dan esai dan dipublikan di sejumlah surat kabar, antara lain Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post. Puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Sejak 2007 meraih berbagai penghargaan penulisan, antara lain Juara II Sayembara Cerpen Balai Bahasa se-Bali, Harapan III Penulisan Cerpen Pusat Bahasa Jakarta, Juara Umum Lomba Penulisan dan Pembacaan Puisi Sampoerna AGRO 2007 se-Indonesia serta Juara II Lomba Penulisan Puisi Nasional Dewan Kesenian Semarang 2007. Esainya meraih juara I Lomba Esai Kompas Gramedia (2007). Kerap menjuarai berbagai perlombaan baca puisi, maupun baca cerpen sejak masih SMP. Puisinya termasuk dalam Buku Antologi 100 Puisi Indonesia Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana (2007), buku antologi Temu Penyair 5 Kota di Payakumbuh “Kampung Dalam Diri” (2008), serta Antologi Puisi Indonesia Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana (2008 dan 2009), Temu Sastrawan Indonesia (2010 dan 2011), Antologi Ubud Writers and Readers Festival (2010), Antologi ‘Couleur Femme’: Kumpulan Puisi Indonesia-Perancis yang diterbitkan Alliance Francaise Denpasar beserta Forum Jakarta Paris (2010) dan sebagainya. Selain itu, karyanya (esai biografi) juga telah dibukukan dengan tajuk ‘Waktu Tuhan: Wianta” (2007). Ia juga turut dalam program Penulisan Cerita Rakyat dari Pusat Bahasa Jakarta tahun 2010. Ni Made Purnama Sari telah diundang dalam berbagai acara, baik pertunjukan maupun diskusi sastra, di Bali serta di beberapa daerah lain di Indonesia antara lain Malang, Surabaya, Yogyakarta, Padang dan Jakarta, termasuk Diskusi dan Peluncuran Buku Antologi Cerpen ‘Lobakan’ yang membahas kaitan antara sastra dan sejarah peristiwa 1965 di Bali (2009) di Goethe Institut Jakarta. Selain itu, dia juga diundang dalam Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (MASTERA): Esai yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Jakarta (tahun 2009), Mentor Program Penulisan Esai dan Workshop Kepemimpinan Tempo-Institute (2010), Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) tahun 2010, festival sastra internasional Ubud Writers and Readers Festival (2010), Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate (2011), program Penulisan Writers Journey bersama para penulis Australia (2012), dan Padang Literary Biennale 2014. Antologi puisi pertamanya, “Bali – Borneo” (2014), mendapat penghargaan dari Yayasan Hari Puisi Indonesia 2014. Tahun 2015 ia mendapatkan beasiswa penelitian dari Frans Seda Foundation dan Universitas Indonesia untuk melakukan riset sosial budaya bekerjasama dengan Universitas Tilburg, Belanda. Juga diundang dalam Emerging Writers Festival 2015 di Melbourne (atas kerjasama Australia-Indonesia Institute), Pembacaan Sajak di Monash Asia Institute (Monash University, 2015) serta Salihara International Literary Biennale 2015. Buku-bukunya adalah Bali – Borneo (2014), Kawitan (2016), Kalamata (2016).  
Ni Made Rai Sri Artini. Dia lahir di Kerobokan, Badung, Bali, 17 November 1978. Dia menulis puisi dan cerpen sejak remaja. Karya-karyanya pernah dimuat di Bali Post, Denpost, Pos Bali, Tatkala.co, dan sebagainya. Beberapa puisinya juga terkumpul dalam buku bersama, seperti “Ning” (2001), Mengunyah Geram (2017).  +
Ni Made Sri Andani, lahir di Bangli, 10 Oktober 1965. Dia menamatkan studinya di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Saat ini, dia menjabat sebagai Marketing Director dari sebuah perusahaan Fast Moving Consumer Goods di Jakarta. Dia hobi menulis, berkebun dan menggambar. Kiprahnya di dunia tulis-menulis dimulai sejak remaja dengan mengisi majalah sekolah atau kampus dengan puisi ataupun cerpen. Selain itu, dia banyak menyimpan tulisannya di blog pribadinya, yakni di https://nimadesriandani.wordpress.com. Ada sekitar seribuan tulisannya di blog itu. Dia juga rajin mengirim tulisannya ke Kompasiana dan Balebengong. Jenis tulisan yang dipublikasi di blog sangat beragam, kebanyakan tentang kehidupan, inspirasi, motivasi, gardening, traveling, seni dan budaya. Bukunya yang telah terbit adalah “Balanced Life, A Journey For Happiness, 100 Cerita Inspiratif” (Pustaka Ekspresi, 2021).  +
Ni Made Sri Purnami, S.Sos, dikenal dengan panggilan Kadek Purnami, lahir di Ubud, Bali, 19 April 1981. Dia adalah salah seorang penggerak Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), sebuah festival berskala internasional yang dirintis tahun 2004 oleh Janet de Neefe. Jabatan kerjanya dalam festival tersebut adalah Community Development Manager, kemudian menjadi General Manager pada tahun 2014 - 2020. Dia juga terlibat dalam mendirikan Yayasan Mudra Swari Saraswati yang menaungi UWRF dan menduduki posisi sebagai sekretaris yayasan. Selain itu, dia juga sering terlibat dalam menyelenggarakan pameran-pameran seni rupa, instalasi dan video (2005 -2006). Dia pernah bekerja di sebuah production house di Bali dan menggarap sebuah program TV berjudul “Jejak Niaga”, yang mengulas kisah profil sukses yang ditayangkan di TVRI Bali (2003-2004). Dia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Komunikasi bidang studi Public Relation, Universitas Atmajaya Jogjakarta dan Diploma Management, jurusan marketing. Dia juga suka mengisi waktunya dengan melukis, menulis cerita pendek dan puisi yang sesekali diterbitkan media cetak lokal. Tahun 2012, dia menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul “Sebab Cinta” yang berisi 12 cerpen tentang kehidupan yang banyak mengambil latar belakang budaya Bali.  +
Ni Made Suciarmi lahir di Banjar Sangging, Kamasan, Klungkung, Bali, 10 Oktober 1932. Dia adalah seorang pelukis wayang gaya Kamasan. Dia belajar melukis sejak kanak-kanak dengan menimba ilmu melukis dari ayahnya, Ketut Sulaya. Awalnya dia dilarang melukis karena tabu bagi perempuan melukis pada zaman itu. Namun dia mendobrak larangan itu dengan terus melukis hingga akhir hayatnya. Dia adalah perempuan pertama yang melukis wayang Kamasan. Tema-tema lukisannya berkisar antara kisah-kisah pewayangan Ramayana dan Mahabarata. Dia menggelar pameran pertamanya di Art Centre Denpasar tahun 1975. Kesuksesannya sebagai seorang seniman semakin berkembang sejak ia mulai mengadakan pameran di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Australia, dan Singapura. Dia meninggal pada tahun 2020.  +
Ni Nengah Mega Risna Dewi, lahir di Denpasar, 12 September 1995. Menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Sejak 2013 aktif dalam banyak pameran bersama, antara lain pameran “Human Space” di Taman Budaya Bali (2016), “Repositioning” di Discovery Mall Kuta (2018), “A Good Life For Orangutan” di Jogja National Museum (2019), “X-TION” di Bentara Budaya Bali (2019), “Merdeka dalam Ekspresi” di Taman Budaya Bali (2019).  +
Ni Nengah Widiasih lahir di Kubu, Karangasem, Bali, 12 Desember 1992. Dia menyelesaikan sekolahnya di SMA Dwijendra, Nusa Dua. Sejak remaja, dia dikenal sebagai atlet angkat berat (para-powerlifting) yang mengharumkan nama Indonesia. Dia mengalami kelumpuhan pada usia tiga tahun dan harus menggunakan kursi roda. Namun dia tidak patah semangat. Dia belajar olah raga angkat berat sejak SD. Saat SMP dia telah menjadi juara di Kejurnas Para Angkat Berat dengan memperoleh Medali Emas pada tahun 2006. Selain itu, dia memperoleh Medali Perunggu ASEAN Paragame di Thailand (2008), Medali Perak ASEAN Paragames di Malaysia (2009), Medali Emas ASEAN Paragames di Solo (2011), Medali Perak Asia Open di Malaysia (2013), Medali Emas ASEAN Paragames di Myanmar (2013), Medali Perak Asian Paragames di Incheon (2014), Medali Perunggu Paralympic Games di Brasil (2016), Medali Perak Asian Paragames di Jakarta (2014), Medali Perak Paralimpiade Tokyo (2020).  +
Ni Nyoman Pollok adalah seorang penari yang lahir di Banjar Kelandis, Denpasar, Bali, Maret 1917. Sejak kanak dia berlatih tari dan tumbuh menjadi seorang penari legong terkenal. Sekitar tahun 1932, Ni Pollok berkenalan dengan pelukis Belgia, Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres (1880 – 1958), yang menyewa rumah di Banjar Kelandis dan sering menyaksikannya menari. Le Mayeur terpesona pada kecantikan, keanggunan, kemolekan, dan gemulai gerak tari Ni Pollok. Le Mayeur kemudian menjadikan Ni Pollok sebagai model untuk lukisan-lukisannya. Pada tahun 1935, Le Mayeur melamar Ni Pollok dan mereka menikah. Le Mayeur membeli sebidang tanah di tepi Pantai Sanur yang dijadikannya sebagai rumah dan studio melukis. Selain sebagai istri, Ni Pollok adalah model tetap untuk lukisan-lukisan Le Mayeur. Ketika Le Mayeur meninggal sekitar tahun 1958, rumah dan seluruh isinya termasuk lukisan, dihibahkan kepada pemerintah Indonesia untuk dijadikan museum yang kini dikenal sebagai Museum Le Mayeur. Ni Pollok meninggal tahun 1985.  +
Ni Nyoman Sani lahir di Sanur, Bali, 10 Agustus 1975. Dia lulusan seni rupa ISI Denpasar. Selain melukis, dia juga tertarik pada seni fotografi, puisi, dan fashion. Lukisan-lukisan Sani banyak berbicara tentang perempuan dalam konteks dunia fashion show. Warna-warna lukisannya lembut dan sangat feminim. Sejak 1995, Sani aktif menampilkan karyanya dalam pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Pameran tunggalnya, antara lain Life Style di Seniwati Gallery (Ubud, 1997), Pose di Amankila Hotel (Candidasa, 1999), All About Women di Kiri Desa Gallery (Singapura, 2002), The Pleasure of Looking di Griya Santrian Gallery (Sanur, 2003), Antara Dua Dunia di O House Gallery (Jakarta, 2007), Perempuan di Curiocity Nafa Me Fashion Gallery (Singapura, 2008), Residency di Haarlem (Belanda, 2009), The Adventure of My Soul di Bentara Budaya Bali (2011), Enigma di Gaya Fusion (Ubud, 2012). Pada tahun 2000, sebuah lukisan karya Sani masuk dalam 100 Finalist of Philip Morris, Jakarta.  +
Ni Nyoman Srayamurtikanti adalah seorang musisi gamelan dan juga sedang meniti karirnya menjadi seorang komposer. Sraya lahir pada tanggal 3 Oktober 1996 dan merupakan anak dari seorang seniman alam asal Desa Celuk, Sukawati, Gianyar. Ia belajar gamelan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia pernah mengenyam pendidikan di SMKN 3 Sukawati (KOKAR/SMKI Bali) jurusan Karawitan, Institut Seni Indonesia Denpasar jurusan Karawitan, dan saat ini sedang menempuh Porgram Studi Magister di Institut Seni Indonesia Surakarta. Sraya merupakan ketua dari Sanggar S’mara Murti yang didirikan oleh Ayahnya, yang kemudian dilanjutkan oleh Sraya. Sanggar ini bergerak di bidang kesenian tradisi khususnya Gamelan Bali dan juga pengembangan. Sraya mulai membuat komposisi musik pada tahun 2017 dengan tuntunan sang Ayah yang juga seorang komposer dan penyanyi. Karya musik yang diciptakan oleh Sraya berbasis tradisi dan inovasi. Sraya pernah mendapatkan kesempatan untuk mewakili Indonesia dalam acara ASEAN Youth Camp di Sagada, Filipina (2015), Student Exchange AIM Programme di University Malaya (2016-2017), menjadi komposer dalam acara Komponis Kini - Tribute to Wayan Beratha (2019), menjadi komposer dalam acara Pawai Budaya Nasional (2019) mewakili Bali, menjadi Komposer terbaik 5 di Lomba Musik Kreatif – Taksapala Festival, Badung Bali, berkolaborasi dengan koreografer asal Mexico (2021), dan yang terkini adalah menjadi salah satu komponis dalam Southeast Asia Music Session Indonesia Edition (2021). Adapun beberapa komposisi yang telah diciptakan adalah: Kangkat (2017), S.o.S (2017), Love is God (2017), Rain-Ly (2017), Krepetan (2018), Selaka (2018), A Ketel (2018), Lango Wangi (2019), Titik Nol (2019), Candra Buana (2019), Speech Delay (2020), Padma Semarandhana (2020), Gelung (2020), Resing Langit (2020), Garba (2020), Empowerment (2021), Nyikzag (2021), Mulat Sarira (2021), dll.  +
Ni Nyoman Srayamurtikanti lahir di Gianyar, 3 Oktober 1996. Dia lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sejak SD dia telah menggeluti seni gamelan, terutama gender wayang. Berangkat dari kemampuan bermain gamelan Bali seperti gender, kendang, selonding, dan sebagainya, semenjak tahun 2017, dia mencoba untuk membuat komposisi musik baik tradisi maupun inovasi. Dia banyak belajar komposisi dari ayahnya yang juga seorang seniman alam, penyanyi dan komposer serta beberapa guru lainnya. Karya-karya yang pernah diciptakannya adalah Empowerment, Speech Delay, Krepetan, S.O.S, Nuutsih, dan masih banyak lainnya. Dia mendapat kesempatan untuk mempertunjukkan karyanya di beberapa event, seperti: Asean Youth Camp (Sagada, Phillipines, 2015), Tribute to Wayan Beratha (Bentara Budaya Bali, 2019), Gamelan Music Creative Competition (Badung, Bali, 2020), Pekan Komponis Indonesia (Jakarta, 2021), Simposium South East Asian Music Series (Bangkok, Thailand, 2021), dll.  +
April Artison adalah nama pena dari Ni Putu Apriani. Lahir di Tuban, Badung, Bali, 12 April 1991. Lulusan komunikasi dan Penerangan Agama IHDN Denpasar. Sejak remaja aktif dalam senin sastra dan teater. Tahun 2016, dia diundang membaca puisi dalam Temu Penyair 5 Negara Asean di Singapura. Puisinya dimuat dalam buku Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (2016).  +
Ni Putu Ayu Suaningsih lahir di Denpasa, tanggal 13 Oktober 1999, tetapi sebenarnya berasal dari Banjar Caruban, Desa Tanglad, Nusa Penida. Tamat dari jurusan Sastra Bali Universitas Udayana tahun 2021. Sejak sekolah di TK Wana Kumara Banjar Bun, Denpasar, Ayus sudah senang belajar menari. Menjadi pemenang beberapa lomba menulis aksara Bali di daun lontar sejak bersekolah di SMP Negeri 8 Denpasar dan SMA Negeri 3 Denpasar. Saat ini menjadi Tim Kamus dan Sosial Media di Yayasan BASAbali Wiki. Beberapa tulisan berbahasa Bali seperti artikel, cerita pendek dan satua yang ditulis telah terbit di media massa dan dalam bentuk buku. Salah satu buku yang ditulis adalah Luh Ayu Manik Masː Monster Virus Menyerang Desa (2021). Juga saat ini tengah aktif menjadi pembawa acara, moderator dan pembicara dalam acara mengenai bahasa Bali.  +
Citra Sasmita bernama lengkap Ni Putu Citra Sasmita, lahir di Tabanan, Bali, 30 Maret 1990. Namanya mulai dikenal dalam seni rupa Indonesia melalui karya-karyanya yang tidak hanya berupa lukisan, seni instalasi dan performance art dan telah dipamerkan di dalam dan di luar negeri. Citra merupakan salah satu penerima penghargaan Gold Award Winner dalam kompetisi seni lukis UOB Painting of The Year 2017 kategori seniman professional. Karya-karya Citra banyak merepresentasikan isu-isu perempuan terutama mengenai identitas kultural, posisi perempuan dalam kultur patriarki dan realitas sosial dan budaya. Citra tumbuh dalam keluarga seniman pertunjukan tradisi yang sering pentas dari desa ke desa dalam upacara ritual Hindu di Bali. Bermula dari itulah ia tertarik dengan dunia kesenian. Citra sempat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana (2008) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Ganesha (2009), karena keinginannya untuk melanjutkan studi lukis tidak direstui oleh almarhum ayahnya yang saat itu menjadi guru Kimia. Namun cita-citanya sebagai perupa kembali tumbuh ketika ia mengikuti grup teater kampus dan menjadi ilustrator cerpen di harian Bali Post. Ketika ia menjadi ilustrator cerpen inilah ia mulai mendalami dunia seni rupa secara otodidak dan aktif mengikuti pameran di Bali dan diluar Bali. Dua bidang ilmu (sastra dan sains) yang pernah ia pelajari juga menjadi pedoman dalam proses karyanya dalam memformulasikan gagasan dan isu-isu sosial. Pada tahun 2016, karyanya yang dipamerkan pada pameran "Bali Art Intervention #1" mendapat sorotan karena menghadirkan figur perempuan yang mencium kepala babi, menghadirkan imaji kehidupan kultural perempuan Bali dalam tekanan psikologis dan sosial, sebagaimana tajuk dari pameran tersebut yang menghadirkan karya-karya kritis mengenai sisi gelap pulau Bali. Kemudian pada tahun 2016 dalam pameran “Merayakan Murni”, sebuah pameran persembahan untuk pelukis Murniasih (1966-2006), Citra menghadirkan karya instalasi 100 buah keramik yang dikombinasikan dengan timbangan gantung "Mea Vulva, Maxima Vulva" yang merepresentasikan ketimpangan kelas sosial dan habitus masyarakat. Beberapa karyanya juga pernah dipamerkan di Melbourne dalam pameran bertajuk Crossing Beyond Baliseering. Pameran tunggalnya adalah: 2018 Under The Skin, Redbase Foundation, Yogyakarta 2017 Beauty Anatomy, Laramona, Ubud, Bali 2015 Maternal Skin, Ghostbird + Swoon, Bali Pameran bersama yang pernah diikutinya: 2018 Yogya Annual Art #3, Positioning, Sangkring Art Space, Yogyakarta 2017 Finalist UOB Painting of The Year Exhibition, UOB Plaza, Jakarta 2017 Kecil Itu Indah #15, Edwin's Gallery, Jakarta 2017 Yogya Annual Art #2, Bergerak, Sangkring Art Space, Yogyakarta 2016 Crossing: Beyond Baliseering, 45downstairs, Melboune 2016 Merayakan Murni, Sudakara Artspace Sanur, Bali 2015 Bali Art Intervention #1: Violent Bali, Tony Raka Gallery, Bali 2015 Makassar Biennale Trajectory, Makassar ¬¬¬¬2014 Ethnic Power, Art Centre Denpasar, Bali 2013 Bali Art Fair, Tony Raka Gallery, Bali Penghargaan yang pernah diraihnya: 2017 Gold Winner UOB Painting of The Year 2016 Finalis Kompetisi Karya Trimatra Salihara, Jakarta 2015 Semifinalist BaCAA#4 (Bandung Contemporary Art Award #4)  
Ni Putu Devy Gita Augustina dengan nama pena Devy Gita. Lahir di Singaraja. Dia lulusan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Dia mengajar di Sekolah Dasar Bali Kiddy. Dia bergabung dengan komunitas Komunitas Mahima, Teater Kalangan, Kacak-Kicak Puppet Theater. Puisi-puisinya dimuat di Tatkala.co dan terangkum dalam buku Sang Guru (2019).  +
Mira MM Astra adalah nama pena Putu Mira Novianti, lahir di Denpasar, 1978. Pernah kuliah Filsafat di Charles University Prague dan Anglo-American University in Prague, Ceko. Puisi-puisinya dimuat di Bali Post, Kompas, Koran Tempo, dan terangkum dalam sejumlah buku bersama. Buku puisi tunggalnya: Pinara Pitu (2016). Selain menulis puisi, dia juga pernah aktif bermain teater.  +
Ni Putu Putri Suastini lahir di Denpasar, 27 Januari 1966. Sejak remaja telah aktif dalam seni sastra dan teater. Dia pernah bergabung dalam Teater Angin, Sanggar Macan Tutul, Teater Mini Badung, Teater Agustus, Sanggar Putih. Buku puisinya yang telah terbit adalah Bunga Merah (2017) dan Rumah Merah (2018). Ni Putu Putri Suastini Koster terkenal di kalangan seniman lokal Bali dan tanah air.  +