UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK AT THE END OF MAY

Cultural Studies and Everyday life, A Balinese Case

From BASAbaliWiki
Revision as of 06:53, 6 November 2022 by Desyapriliani (talk | contribs)
20221106T064224500Z429576.png
Title of article (Indonesian)
Kajian Budaya dan Kehidupan Sehari-hari, Kasus Bali
Title of article (Balinese)
-
Original title language
English
Title (other local language)
Author(s)
Subjects
  • cultural studies
  • ideology
  • simulacra
  • everyday life
Title of Journal
Journal of Bali Studies
Volume and Issue number
12,2
Date of Publication
Page Numbers
627-647
Link to whole article
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/89410
Related Places
    Related Holidays
      Related Books
        Related Lontar


          Add your comment
          BASAbaliWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

          Abstract


          In English

          This article aims to bring the intellectual rigour of Cultural Studies to Balinese ideas about culture which confuse culture with ideology. Cultural Studies is not the study of culture, but its critique which deconstructs culture as misrepresenting actuality as an Imaginary convenient to regimes of power. The New Order articulated ‘kebudayaan’ to create a submissive populace happy to embrace global tourism. Culture is no longer how how people do things but marketable commodities posturing as ‘ancient tradition’. Bali as paradise is a cliché. The island now fulfils Madame Suharto’s dream of Disneyland. The capitalist fantasy of endless cost-free growth bears no resemblance to the sophisticated Balinese cosmology of Kali-Yuga, which ends in cataclysmic dissolution; or to popular ideas of the world as ceaseless transforming. Although kebudayaan dismisses ordinary people as stupid masses, they often escape the ideological straitjacket of kebudayaan by just getting on with culture as everyday life.

          In Balinese

          In Indonesian

          Artikel ini bertujuan untuk membawa kekuatan intelektual kajian budaya kedalam berbagai ide Bali tentang budaya yang tampak rancu antara budaya dan ideologi. Kajian budaya tidaklah sama dengan studi tentang budaya, namun kritik tentang budaya yang mendekonstruksikan budaya sebagai sebuah kesalahan intepretasi aktualitas dengan imajinasi yang nyaman bagi rezim yang berkuasa. Orde Baru mengartikulasikan ‘kebudayaan’ untuk menciptakan masyarakat yang patuh dan senang merangkul pariwisata global. Budaya bukan lagi mengenai bagaimana masyarakat mengerjakan sesuatu melainkan komoditas yang dapat dipasarkan yang dikemas sebagai ‘tradisi kuno.’ Bali sebagai surga adalah sebuah hal yang klise. Pulau ini kini memenuhi impian Madam Suharto tentang Disneyland. Fantasi kapitalis mengenai pertumbuhan gratis tanpa akhir tidak memiliki kemiripan dengan kosmologi Bali nan canggih bernama Kali-Yuga, yang berakhir dengan kehancuran dahsyat; maupun terhadap ide-ide popular dari dunia yang tak henti bertransformasi. Meskipun kebudayaan menganggap orang biasa sebagai masa yang bodoh, mereka seringkali melepaskan diri dari kekangan ideologi kebudayaan dengan cara memahami kebudayaan sebatas sebagai kebiasaan sehari-hari.