The Imaginary of Bali as paradise stands in stark contrast to what is actually going on. To understand the split requires examining who is authorized to represent Bali as what under
what conditions. The issue concerns the nature of argument – whether argumentation and disagreement – and how it disarticulates and marginalize alternatives. The preferred,
hegemonic style of argument in Bali is monologue, favoured by those in power, which effectively anticipates and prevents contradiction. By contrast, dialogue is open, democratic and
widespread in daily life, but often passes relatively unnoticed. Whereas dialogue enables discussion and problem-solving, monologue re-asserts ideology in the face of uncomfortable
actualities. In Bali, the form ideology takes centres on fantasies about an imaginary ‘age-old culture’. The drawbacks are evident in how claims over the cultural antiquity of Tri Hita
Karana disguise its grave shortcomings in practice.
Imajinasi terhadap Bali sebagai sebuah surga dunia bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya. Memahami perbedaan tersebut membutuhkan pembahasan mengenai siapa yang berwenang mewakili Bali, seperti apa dan pada kondisi apa. Hal ini juga berkaitan dengan sifat dari pertentangan itu sendiri – apakah argumentasi atau ketidaksepemahaman – dan bagaimana isu dimaksud mengenyampingkan alternatif. Gaya berargumen hegemonic yang disukai di Bali disebut monolog, disukai oleh mereka yang berkuasa, yang secara efekfif mampu mengantisipasi dan mencegah pertikaian. Sebaliknya, dialogi bersifat terbuka, demokratis dan tersebar di kehidupan keseharian masyarakat, namun seringkali terlewati tanpa disadari. Sementara itu, dialog memungkinkan diskusi dan pemecahan masalah, monolog menekankan ideologi saat menghadapi keadaan sulit. Di Bali, bentuk ideologi berpusat pada berbagai fantasi mengenai bayangan budaya jaman kuno. Kelemahan yang dimiliki adalah bukti bagaimana klaim terhadap Tri Hita Karana menyamarkan kekurangan dalam penerapannya.
Enable comment auto-refresher