The name Legong comes from the Balinese language, Leg (flexible movement) and gong (gamelan) which blend into Legong which means flexible movements accompanied by gamelan.
The Legong Keraton dance emerged around the early 19th century AD. This dance emerged from the idea of a King Sukawati named I Dewa Agung Made Karna.
Initially this dance is sacred. This dance is only performed in temples to accompany Hindu religious ceremonies. In 1928, the King allowed this dance to be performed outside the palace for the people to enjoy.
In 1931 this dance began to be displayed widely to support tourism. Many hotels in Bali stage this dance to entertain tourists.
One of the palaces that owns and maintains the Legong Keraton dance is Puri Agung Peliatan. This palace used to often perform the Legong Keraton dance on certain occasions, such as Hindu religious ceremonies.
A Legong Keraton performance always carries historical stories. One of the most popular stories is Lasem, which tells the love story of Prabu Lasem to Princess Rankesari.
The dancer who appeared first was the Condong (emban) who wore a dominant red costume. Then followed by two Legong dancers who wore green costumes.
In the story of Prabu Lasem, which is based on the Panji/Malat story, the two Legongs play Prabu Lasem and Princess Langkesari, respectively.
The Legong Keraton Dance was designated as an intangible world cultural heritage by The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) in 2015. The Legong Keraton Dance is one of nine Balinese dances that received similar awards in addition to the Barong Ket Dance, Rejang Dance, Dance Joged Bumbung, Wayang Wong Dance Drama, Gambuh Dance Drama, Sidha Karya Mask, Ceremonial Bari Dance and Sang Hyang Dedari Dance
Nama Legong berasal dari bahasa Bali, Leg (gerak yang luwes) dan gong (gamelan) yang menyatu menjadi Legong yang berarti gerak-gerak luwes yang diiringi gamelan.
Tari Legong Keraton muncul sekitar awal abad ke-19 M. Tarian ini muncul dari ide seorang Raja Sukawati bernama I Dewa Agung Made Karna.
Awalnya tarian ini bersifat sakral. Tarian ini hanya dipentaskan di pura untuk mengiringi upacara-upacara agama Hindu. Pada tahun 1928, Raja mengijinkan tarian ini dipentaskan di luar istana agar dapat dinikmati oleh rakyat.
Pada tahun 1931 tarian ini mulai ditampilkan secara luas untuk mendukung pariwisata. Banyak hotel di Bali yang mementaskan tarian ini untuk menghibur wisatawan.
Salah satu puri atau istana yang memiliki dan memelihara tari Legong Keraton adalah Puri Agung Peliatan. Puri ini dulunya sering mementaskan tari Legong Keraton pada acara-acara tertentu, seperti upacara agama Hindu.
Sebuah pentasan Legong Keraton selalu membawa cerita sejarah. Salah satu cerita yang paling populer adalah Lasem yang menceritakan kisah percintaan Prabu Lasem kepada Putri Rankesari.
Penari yang tampil pertama adalah Condong (emban) yang menggunakan kostum dominan warna merah. Kemudian disusul oleh dua penari Legong yang menggunakan kostum berwarna hijau.
Dalam kisah Prabu Lasem yang diangkat dari cerita Panji/Malat, kedua Legong ini masing-masing memerankan Prabu Lasem dan Putri Langkesari.
Tari Legong Keraton ditetapkan sebagai warisan budaya dunia non benda oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2015. Tari Legong Keraton adalah salah satu dari sembilan tarian Bali yang mendapat penghargaan serupa disamping Tari Barong Ket, Tari Rejang, Tari Joged Bumbung, Drama Tari Wayang Wong, Drama Tari Gambuh, Topeng Sidha Karya, Tari Bari Upacara dan Tari Sang Hyang Dedari.
Enable comment auto-refresher