UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK MID JUNE

Property:Biography text id

From BASAbaliWiki
Showing 20 pages using this property.
M
I Made Sarjana lahir di Denpasar, 23 November 1963. Dia lulusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Mulai menulis puisi sejak remaja dan banyak dimuat di Bali Post atas motivasi Ida Bagus Dharma Palguna. Puisinya juga pernah dimuat di Majalah Horison, Kompas, juga terhimpun dalam buku Perjalanan Malam, Hijau Kelon, Sang Guru. Pernah bergabung dengan Sanggar Putih dan sempat menjadi wartawan Majalan Sarad (2000 – 2002). Dia juga pernah meraih Juara I Lomba Cipta Puisi Majalah Akademika Unud (1985), Juara I Lomba Membaca Puisi Bali (Faksas Unud), Juara Harapan 1 Lomba Baca Puisi Guru se-Bali. Sekarang dia mengabdikan diri sebagai guru SD.  +
Made Somadita lahir di Tabanan, Bali, Mei 1982. Ia lulusan Institute Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Kegemarannya melukis telah tumbuh sejak kanak-kanak. Karya-karyanya pernah ditampilkan dalam pameran bersama maupun tunggal. Pameran tunggalnya antara lain “Animals in Love”, Valentine Willie Fine Art, The Chedi, Ubud, Bali (2002), “Sketsa Drawing, Animal in Love”, Paros Gallery, Sukawati, Bali (2006), “Natural Beauty #1” di Ganesha Gallery, Four Season Resort, Jimbaran, Bali (2012). Sedangkan pameran bersama yang pernah diikutinya antara lain “Di Persimpangan”, Museum of Fine Art and Ceramic, Jakarta (2013), “Kita, ECCA Galery, Manila, Pilipina (2012), Pameran Berdua ‘’Wild Journey”, Pongnoi Community Art Space, Chiang Mai, Thailand (2012), “Tomorrow Maybe, Aleaaa, Coletive, Beudoulin, Reunion, France (2011), “Entitas Nurani II”, Art Centre, Bali (2011), “Super Hero”, Hanna Art Space, Ubud, Bali (2010), “Encounter”, Hanna Art Space, Ubud, Bali (2009), “ART Malaysia”, Mid Valley Exhibiton Centre, Kualalumpur (2008), “Wajah-Wajah”, Universitas Passau, German (2007), “Back to the Nature”, Retro Fine Art, Sanur, Bali (2005), “Enemy”, Gallery Sembilan Ubud Bali (2004), “Girgirmanuk”, Hotel Radin, Sanur, Bali, (2003).  +
Made Sugianto lahir di Tabanan, Bali, 19 April 1979. Dia menulis sastra berbahasa Bali dan Indonesia. Pada 2009 dia mendirikan penerbit Pustaka Ekspresi yang banyak menerbitkan buku-buku sastra berbahasa Bali dan Indonesia. Selain itu dia juga membuat majalah Ekspresi, Kukuh TV, dan menjadi wartawan. Karya-karyanya yang telah terbit, antara lain Bikul (2010), Preman (2010), Sundel Tanah (2010), Bunga Valentine (2011), Sentana (2011), Meong Garong (2012), Sing Jodoh (2013), Sentana Cucu Marep (2014), Ratna Tribanowati (2014), Ki Baru Gajah (2015). Pada 2012 dia meraih Hadiah Sastra Rancage untuk bidang jasa pengembangan sastra Bali modern dan 2013 untuk novel berbahasa Bali berjudul Sentana. Kini dia mengabdi di desanya di Kukuh, Marga, Tabanan, sebagai perbekel (lurah).  +
Made Sukada, lahir di Denpasar, 23 April 1938. Selain sebagai sastrawan dan penulis, ia adalah dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra (kini FIB) Universitas Udayana, Bali. Ia adalah tamatan pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1982). Ia telah menulis sastra sejak SMP, dimuat di berbagai media cetak lokal dan nasional, seperti Bali Post, Kompas, dll. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Beberapa Aspek tentang Sastra (1987), Pembinaan Beberapa Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi (1987 dan 1991), Sebuah Ilusi (puisi; 1971), Matahari Pagi yang Hilang (esai; 1971), Perkembangan Sastra Nasional di Bali (1972), Sekelumit tentang Drama (1973), dan sebagainya. Ia pernah menjadi ketua Lembaga Seniman Indonesia-Bali (Lesiba). Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suluh Marhaen (kini Bali post).  +
Made Susanta Dwitanaya, lahir di Tampaksiring, 22 Juli 1987. Menempuh pendidikan seni rupa di Undiksha, Singaraja. Mulai menulis dan mengurasi pameran seni rupa sejak masa kuliah pada 2009. Kemudian pada 2013 dia bergabung dalam Gurat Institute, sebuah lembaga independent yang bergerak di bidang kuratorial., riset, dan pendokumentasian seni rupa dan budaya visual di Bali. Hingga kini aktif mengurasi sejumlah pameran seni rupa, antara lain pameran seni rupa Megarupa (2019). Bersama Gurat Institute dia terlibat dalam penulisan beberapa buku tentang seni rupa, seperti Lempad for the World (2014). Pada tahun 2017 dia menjadi salah satu penulis seri buku pusaka seni rupa tentang enam seniman Indonesia yang digagas Dirjen Kesenian Kamendikbud Indonesia.  +
Made Taro lahir di Bali dan selalu menyukai cerita tradisional, permainan, dan lagu anak-anak. Dia telah menjadi story teller sejak 1973 dan telah tampil di Indonesia, Darwin, Pretoria dan di Ubud Writers’ and Readers’ Festival. Made Taro sangat bersemangat untuk mempromosikan permainan tradisional dan percaya bahwa terlibat dalam permainan tersebut mengajarkan anak-anak pelajaran berharga seperti kesabaran, menghormati orang lain dan menjauhkan mereka dari masalah. Selama 35 tahun terakhir ia telah menjalankan Kukuruyuk, sebuah kelompok anak-anak berusia 8 – 12 tahun, di mana ia mendidik anak-anak melalui cerita dan permainan tradisional seperti gasing (pemintalan atas) dan mecungklik (permainan dengan bambu). Made telah bekerja dengan anak-anak kurang mampu dan kurang mampu di seluruh Indonesia. Made percaya bahwa bermain itu penting bagi anak-anak, dan karena itu ia memasukkan permainan dan permainan dalam pertunjukan Storytelling-nya. Sesi mendongengnya juga mencakup nyanyian dan iringan perkusi tradisional. Ia telah menulis lebih dari 30 buku tentang permainan tradisional, lagu anak-anak, dan cerita rakyat. Sebagai penerima banyak penghargaan sebagai guru, pelestari budaya, pendongeng dan penulis yang luar biasa, ia baru-baru ini dianugerahi Anugerah Kebudayaan (Medali Kebudayaan) yang bergengsi dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2009. https://sisf.bookcouncil.sg/2012/pages/storyteller-made.html Pada 2019, di usianya yang ke-80, ia menerima Lifetime Achievement Award dari Ubud Writers and Readers Festival.  +
Made Wianta adalah seorang perupa berkelas internasional yang lahir di Apuan, Tabanan, Bali, 20 Desember 1949. Dia adalah lulusan ISI Yogyakarta. Pada tahun 1976, ia belajar seni Eropa ke Brussels, Belgia, sembari mengunjungi galeri-galeri dan museum kesenian. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai negara, antara lain Amerika, Perancis, Belanda, Italia, Singapura, dan sebagainya. Karya-karyanya berjumlah ribuan, berupa sketsa, drawing, grafis, lukisan, patung, bahkan puisi-rupa. Sebagian dari karya tersebut didokumentasikan dalam beberapa buku, di antaranya adalah “Made Wianta” (1990), “Made Wianta: Universal Balinese Artist” (1999), “Made Wianta: Art and Peace” (2000), “Wild Dogs in Bali: The Art of Made Wianta” (2005). Made Wianta meninggal pada tanggal 13 November 2020.  +
Made Wiradana lahir di Denpasar, 27 Oktober 1968. Dia tamatan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sejak 1989 dia telah menggelar pameran bersama di dalam maupun luar negeri. Sedangkan pameran tunggalnya, antara lain “Imajinasi Purba” (Yogyakarta, 1999), “Bentuk-bentuk Purba” (The Chedi, Ubud, 2000), “Deklarasi Seni Akhir 2001” (ARMA Museum, Ubud, 2001), “Kanvas itu Bulat” (Mon Décor Gallery, Jakarta, 2003), “Global Convention on Peace”(Asoka Hotel, Belgia, 2004), “Art of Wiradana” (Bidadari Gallery, Ubud, 2005), “Bali is My Life” (2006), “Eksodus Binatang” (Srissasanti Gallery, Jakarta, 2009), “Enjoy” (Ambiente Gallery, Jakarta, 2010), “Sensibility Line” (Griya Santrian Gallery, Sanur, 2018).  +
di tahun 2022 ini serangan corona nampaknya sudah mulai mereda dan ini adalah tahun kebangkitan dari pari wisata bali dengan ada nya kebijakan kebijakan dari pemerintah yang membuat pariwisata bali bisa bertahan selama ini  +
Mangku Jenggo lahir di Dusun Umanyar, Desa Ababi, Kec. Abang, Karangasem, Bali, 1963. Ia tidak punya data pasti tentang hari kelahirannya. Ia adalah seniman patung yang belajar secara otodidak. Karya-karya patungnya cenderung bergaya primitif yang menampilkan kesan magis. Menggunakan alat-alat sederhana, ia memahat batu-batu lahar Gunung Agung apa adanya dengan mengikuti tekstur batu dan naluri seninya. Sejumlah karyanya dikoleksi oleh galeri, seniman, dan pencinta seni. Sebagian karyanya tersebar di halaman rumahnya yang sejuk. Selain pematung, ia juga seorang pemangku di desanya.  +
Mangku Mura (1920-1999) bernama asli I Wayan Mura, dilahirkan di Banjar Siku, Desa Kamasan, Klungkung, Bali. Ia adalah maestro seni lukis wayang Gaya Kamasan. Ia juga dikenal sebagai pemangku atau pemimpin upacara Hindu di banjarnya. Selain keterampilan melukis, ia juga ahli membuat peralatan ritual dari perak, namun tidak ia kembangkan. Ia lebih tertarik melukis. Ia belajar melukis pertama kali pada Kak Lui. Kemudian ia menimba ilmu melukis kepada seniman dari Banjar Sangging, Kamasan, di antaranya Pan Ngales, Wayan Kayun, Nyoman Dogol dan Pan Seken. Pada tahun 1971-1972, Mangku Mura bertemu dengan Profesor Anthony Forge yang melakukan penelitian tentang lukisan Bali di Desa Kamasan. Mangku Mura menjadi informan utama dan mitra dalam penelitian tersebut. Berkat penelitian itu, seni lukis Kamasan dikenal luas hingga mancanegara. Lukisan Mangku Mura banyak menghiasi bangunan-bangunan keagamaan di Banjar Siku. Selain itu juga dikoleksi oleh beberapa galeri dan museum di Indonesia dan luar negeri. Pada tahun 1960-an, ia terlibat dalam proyek renovasi Kerta Gosa di Klungkung, dibawah pimpinan Pan Seken. Pada tahun 1980-an, Mangku Mura memamerkan lukisannya di Italia. Pada tahun 1988, ia mendapat tugas dari Pemerintah Indonesia untuk melukis peta dunia berukuran besar, yang ditampilkan sebagai mural di paviliun Indonesia di World Expo di Brisbane, Australia. Luas lukisan yang dikerjakannya adalah 1.300 meter persegi. Selain adegan tradisional, lukisan itu juga memuat gambar turis Australia di Bali. Pada tahun 2011, Mangku Mura secara anumerta menerima anugerah dari Pemerintah Indonesia atas pelestarian dan pengabdiannya pada bidang seni lukis Gaya Kamasan. Bakat melukis Mangku Mura menurun kepada anaknya, yakni Nyoman Kondra dan Mangku Muriati. Bahkan, Mangku Muriati sejak dini membantu ayahnya melukis dan dididik menjadi seniman. Mangku Muriati juga menempuh pendidikan seni di Universitas Udayana, Denpasar. Selain itu, Muriati juga melanjutkan tugas ayahnya sebagai seorang pemangku.  
Mangku Muriati lahir di Klungkung, Bali, 1967. Dia adalah seniman perempuan Bali yang melukis dengan gaya tradisional klasik Kamasan. Gaya Kamasan adalah bentuk estetik dari lukisan yang menggunakan cerita pewayangan seperti wayang kulit, kebanyakan dari epos Mahabrata dan Ramayana. Mangku Muriati adalah anak perempuan Mangku Mura (1920-1999), salah satu tokoh pelukis Kamasan. Sejak kecil ia mengikuti ayahnya melukis dengan mewarnai lukisan khas wayang di Desa Kamasan, Klungkung. Kemudian dia kuliah di Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD), Universitas Udayana Denpasar, Bali dan setelah lulus kembali melukis gaya Kamasan di rumahnya. Jumlah seniman perempuan yang menekuni lukisan gaya Kamasan tak sebanyak laki-laki. Pada 1990 saat berusia 32 tahun, Muriati menjadi pemimpin ritual atau Pemangku di pura, tempat suci di tempat tinggalnya, Banjar Siku, Kamasan. Kamasan adalah satu-satunya desa di Bali di mana bentuk seni tradisional ini belum digantikan oleh gaya baru. Walau setia dengan tradisi seni rupa klasik Kamasan, dalam karyanya ia juga menyinggung perkembangan sosial dan politik di Bali. Murniati memilih tinggal di rumahnya di Banjar Siku, bukan Banjar Sangging yang menjadi tempat berkarya pelukis Kamasan pada umumnya. Ia dinilai sudah membuktikan bisa menggerakkan banjarnya karena karyanya dipesan dan dikoleksi banyak pihak dari dalam dan luar negeri.  +
Manila Ayupijaya adalah staf pemerintah di bidang sumber daya manusia yang saat ini sedang bertugas di Dinas Ketenagkerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali.  +
Lihat komentar dari fitur What'sUp kami di tautan ini: https://dictionary.basabali.org/Question_Many_foreign_tourists_have_violated_Nyepi_regulations_in_Bali._What_should_we_do%3F  +
Maria Matildis Banda lahir di Bajawa, Ngada, NTT, 29 Januari 1960. Ia adalah seorang sastrawan dan dosen Sastra di Universitas Udayana. Menyelesaikan pendidikan S3 Bidang Kajian Budaya di Universitas Udayana tahun 2015. Ia menerima berbagai penghargaan lomba cipta sastra, antara lain cerpen, novel, dan naskah drama. Menerbitkan novel “Bugenvil di Tengah Karang” (Grasindo Jakarta, 2001), “Rabies” (Care Internasional, 2002/2003), “Surat-Surat dari Dili” (Nusa Indah Ende 2005), “Suara Samudra” (Kanisius, 2017), dan “Bulan Patah” (Kanisius, 2022), dan lain-lain. Ia pernah mengikuti Sandwich Like Program KTLV dan Universitas Leiden, Leiden, Belanda (2011). Ia juga menjadi narasumber Lota Script in Ende Flores dalam International Workshop on Endangered Scripts of Island Southeast Asia pada Februari – Maret 2014 di Tokyo University, Jepang. Selain novel, ia juga menulis cerpen, drama radio drama panggung, puisi, cerita anak, dan dongeng. Sejak tahun 2001 ia dikenal sebagai kolumnis Parodi Situasi di Pos Kupang, terbit berkala telah mencapai 750 judul. Ia menerima penghargaan dari Wanita Penulis Indonesia (WPI) atas dedikasi dan perhatiannya terhadap perkembangan sastra di NTT (2010).  +
Master Muda kami Mario Blanco, anak kedua dari pelukis terkenal Antonio Blanco, lahir di Ubud - Bali pada tanggal 4 Juli 1962. Ia tumbuh dikelilingi seni dan lukisan sejak kecil. Waktu Mario kecil, ayahnya mengajak ke studionya di Campuan, mengenalkan hasrat seni padanya. Mario menggambar lukisan minyak pertamanya ketika ia hanya berumur lima tahun hingga pada saat menjelang dewasa ia memilih untuk belajar seni di Universitas Udayana hingga tamat belajar. Inspirasi seni Mario ditakdirkan berasal dari dua sumber. Ayahnya yang dari spanyol mengenalkan teknik seni eropa, dan bakat seni tradisionalnya yang diturunkan dari ibunya Ni Ronji, seorang penari Bali terkenal. Mario mengembangkan kedua hal tersebut secara intensif melalui lukisannya yang memperlihatkan secara jelas preferensinya pada gaya impresionistik romantis. Sebagai seorang anak dari "Blanco yang tersohor", Mario harus menghadapi tantangan berat, sejalan dengan meluruhnya pengaruh seni sang ayah, bakatnya mulai tampak pada lanskap luas dimana visi pribadinya mengenai kebudayaan Bali makin berkembang.  +
Mas Ruscitadewi, lahir di Kesiman, Denpasar. Lulusan sarjana Sastra Jurusan Arkeologi dan Magister Filsafat Hindu. Sejak sekolah dasar aktif menulis puisi, cerpen dan drama. Karya sastranya terkumpul dalam buku “Hana Bira”, cerpennya terkumpul dalam buku “Penari Sanghyang” (Bahasa Indonesia), “Luh Jalir” (Bahasa Bali), naskah dramanya dalam buku “Rumah Bunga” dan “Nyanyian Hitam” (monolog), serta terkumpul dalam beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen bersama Mas Ruscitadewi mempelajari Arkelogi, Filsafat, dan Keagamaan di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Ia juga mengajar anak-anak penderita virus HIV/AIDS di Yayasan Kerti Praja, dan seorang Kurator untuk Gelar Seni Bali Mandara Nawanatya, sebuah rangkaian acara seni sepanjang tahun. Selain menulis puisi, lagu, dan cerita pendek, Ruscitadewi mengajar filsafat dalam bentuk teater kepada narapidana yang telah dijatuhi hukuman mati di Penjara Kerobokan.  +
Om Swastyastu, Pertama-tama mari kita semua berdoa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena kita bisa berkumpul untuk membahas tentang "Pemilu 2024: Apa masalah yang paling mendesak untuk ditangani para calon pemimpin Bali" Para Sameton Sinamian yang saya hormati, Pemilu 2024 sudah dekat, dan Pulau Dewata Bali mengepalkan kalender yang harus diperhatikan oleh yang akan menjadi pemimpin. Saat ini para wisatawan, orang asing dan warga Bali banyak yang melanggar aturan, meskipun terkenal sebagai destinasi wisata yang indah, Bali memiliki aturan dan sanksi yang bisa tetap kurang baik untuk lingkungan, & warga Bali dan warga asing. Contohnya adalah korupsi, investasi lahan oleh orang luar, wisatawan yang tidak menghormati budaya bali, tidak ada prosedur yang tepat untuk membuang sampah di bali, dan tidak ada sanksi bagi orang-orang yang melanggar. Saya berharap agar Anda yang akan menjabat sebagai pemimpin bisa mengembangkan dan menangani masalah-masalah ini dengan baik. Mari kita semua memberikan kesempatan yang lebih baik bagi masa depan Bali.  +
Om Swastiastu Om Awighman Astu Nama shidam Bapak Ibu yang terhormat, dan Saudara-saudara yang terkasih, Saya ingin menyampaikan kepada Bapak Presiden, Oleh karena itu dari hati yang tulus saya ingin menyampaikan informasi tentang Pemilu 2024. saya mengajak masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi dalam pemilu kita, Pemilu 24 Februari 2024. Karena pemilu bukan hanya tentang menggantikan pemimpin, tetapi pemilu juga merupakan upaya kita semua untuk tidak ada orang yang menjadi buron. Pemilu ini adalah tempat kita untuk mengevaluasi pemerintahan ini. Saya akan menjelaskan tentang masalah yang paling penting yang harus diperhatikan oleh para calon pemimpin Bali. Masalah yang paling utama adalah pengendalian harga kebutuhan pokok, yang dipilih oleh 36,9% dari semua responden. Lebih lanjut tentang pengangguran, kemiskinan dan pemberantasan korupsi, Indikator Politik menulis dalam laporannya. Peserta adalah semua warga negara Indonesia yang berhak memilih dalam pemilihan umum, yaitu peserta yang berusia 17 tahun ke atas, atau sudah menikah pada saat survei dilakukan. Sampling dilakukan dengan menggunakan metode multistage random sampling. Jadi saya bisa menyimpulkan, kita harus memilih pemimpin yang tegas, jujur, dan bertanggung jawab terhadap pulau Bali. Terima kasih, semoga kita semua memiliki kedamaian dan kebijaksanaan dalam memilih pemimpin yang tepat. Selamat datang di Bali, nusa tercinta Om Shanti, Shanti, Shanti Om  +