Ida Ketut Djelantik

Dari BASAbaliWiki
Lompat ke:navigasi, cari
20220715T041215681Z595856.jpg
Nama lengkap
Ida Ketut Djelantik
Nama Pena
Photograph by
Link to Photograph
Website for biography
Tempat
Geria Tegeha Banjar, Desa Tegeha, Kecamatan Banjar, Singaraja
The place does not exists yet in wiki, click to create it
Related Music
Related Books
Related Scholars Articles


Tambahkan komentar
BASAbaliWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

Biodata


In English

He is Ida Ketut Djelantik, a writer from Buleleng who is located in Geria Tegeha Banjar, Tegeha Village, Banjar District. He was born in 1905 in Tegeha Village and is a descendant of the couple Ida Ketut Manggis and Ida Ayu Putu Tangi.

As a child he was raised in the Gria environment where his daily life tends to be busy with social activities, he has a desire to study religion and philosophy as well as moral encouragement for the village environment where he grew up.

His education level was only up to SR or Sekolah Rakyat (People's School) and it was not finished, with his desire to explore tattwa, ethics and philosophy he studied it self-taught until he got recognition from local residents and the Dutch Government at that time.

Because of his high achievements and abilities, in 1938 he was appointed to work in the Religious Staff at the Religious Office of the Lesser Sunda Province at that time in Singaraja.

He was also assigned by the Governor-General of the Netherlands to Bogor to translate Sanskrit books and manuscripts into Indonesian and Kawi of his literary abilities.

In 1950 he worked at the Kodam Raksa Buana which is now known as Kodam 11 Udayana as the Hindu Rohdam, he also participated in compiling the emblem of the Pataka Kodam Udayana.

Then, he passed away in 1961 to be exact on the 18th of November

In Balinese

In Indonesian

Beliau adalah Ida Ketut Jelantik, sastrawan asal buleleng yang tepatnya di Geria Tegeha Banjar, Desa Tegeha, Kecamatan Banjar. Beliau lahir pada tahun 1905 di Desa Tegeha dan merupakan keturunan dari pasangan Ida Ketut Manggis dan Ida Ayu Putu Tangi.

Semasa kecil beliau dibesarkan di lingkungan Gria yang kesehariannya cenderung disibukkan dengan kegiatan sosial, beliau memiliki keinginan untuk mendalami ajaran agama dan filsafat serta dorongan moral untuk lingkungan desa tempat beliau dibesarkan

Jenjang pendidikan beliau hanya sampai SR atau Sekolah Rakyat dan itu tidak sampai tamat, dengan keinginan beliau itu mendalami tattwa, etika dan filsafat beliau mempelajari itu secara otodidak sampai mendapatkan pengakuan dari warga setempat dan pemerintahan belanda pada saat itu.

Karena prestasi dan kemampuannya yang tinggi, pada tahun 1938 beliau diangkat bekerja di Staff Agama di Kantor Agama Provinsi Sunda Kecil pada saat itu di Singaraja.

Beliau juga ditugaskan oleh Gubernur Jendral Belanda ke Bogor untuk menerjemahkan buku dan lontar Bahasa Sansekerta ke Bahasa Indonesia dan Bahasa Kawi atas kemampuan sastra yang beliau miliki.

Pada tahun 1950 beliau bekerja di Kodam Raksa Buana yang sekarang dikenal Kodam 11 Udayana sebagai Rohdam Hindu, beliau juga ikut serta dalam menyusun lambang Pataka Kodam Udayana.

Kemudian, beliau meninggal pada tahun 1961 tepatnya pada tanggal 18 bulan November

Contoh karya

Geguritan Sucita-Subudi
Data.jpeg
Geguritan Sucita-Subudi merupakan salah satu karya beliau yang dikenal banyak orang, mengapa begitu? Dikarenakan geguritan ini mengandung konsep budaya Bali seperti Dharma, Tri Hita Karana, Desa Kala Patra, Rwa Bhineda, dan Karmaphala.

Dharma merupakan salah satu konsep penting dalam agama Hindhu. Dharma sering disamakan artinya dengan kebenaran, kebajikan atau kewajiban dan hukum. Dharma diibaratkan sebagai jalan yang halus dan sangat sejuk yang dapat melindungi dan menolong orang yang mengikuti jalan itu dari bencana. Seorang yang melaksanakan dharma disebut dharmika. Orang yang menjalankan dharma hanya menginginkan satu hal yaitu kebahagiaan yang kekal dan abadi bukan kebahagiaan palsu yang ditimbulkan hal-hal keduniawian.

Tri Hita Karana adalah konsep tentang keselarasan hubungan yang dapat mendatangkan kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi tiga hal yaitu keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, keselarasan hubungan manusia dengan sesama manusia dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Dalam Geguritan Sucita-Subudi, konsep keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan disebut hubungan tidak nyata atau rohani sedangkan konsep keselarasan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitar.

Rwa bhineka adalah konsep dualistis yang merefleksikan dua kategori yang berlawanan dalam hidup ini, semisal baik dan buruk atau positif dan negatif. Di dalam Geguritan Sucita-Subudi, konsep ini dijelaskan secara implisit atau secara tidak langsung dalam ungkapan di dalam sesuatu yang disebutkan byakta atau seusatu yang ada selalu terkandung dua hal yang menyatu. Konsep ini menyiratkan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna selain Tuhan. Segala sesuatu itu pasti memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan.

Karmaphala merupakan salah satu dari lima sistem keyakinan dalam agama Hindhu yang disebut Panca Sradha. Karmaphala berasal dari kata karma ‘perbuatan’ dan phala ‘buah’ yang diartikan sebagai hasil dari perbuatan seseorang. Inti dari pengertian karmaphala adalah bahwa sesuatu sebab akan menghasilkan suatu akibat.

Geguritan Sucita-Subudi terdiri atas 1841 bait. Dari sekian banyak bait itu dibentuk oleh 11 macam pupuh. Adapun kesebelas macam pupuh tersebut adalah Sinom, Pangkur, Durma, Ginanda, Ginanti, Kumambang, Warga-sari, Pucung, Smaradana, dan Sadpada Ngisep Sekar. Di antarapupuh tersebut yang paling sering digunakan adalah pupuh Sinom yaitu sebanyak 15 kali. Penggunaan pupuh-pupuh itu dalam Geguritan Sucita-Subudi dipilih dan disesuaikan antara tugas atau watak dari masing-masing pupuh.


https://id.wikipedia.org/wiki/Geguritan_Sucita_Subudhi

Geguritan Lokika
Tutur Aji Sangkya
Geguritan Gornita
Satua Men Tingkes
Bhagawagita