I Gede Robi Supriyanto

Dari BASAbaliWiki
Lompat ke:navigasi, cari
Robi1.jpg
Nama lengkap
I Gede Robi Supriyanto
Nama Pena
Robi
Photograph by
Link to Photograph
Website for biography
Tempat
Related Music
Related Books
Related Scholars Articles


Tambahkan komentar
BASAbaliWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

Biodata


In English

I Gede Robi Supriyanto is a musician and singer born in Palu, Central Sulawesi, April 7, 1979. He is one of the founders of the band Navicula. Robi is also known as a social and environmental activist. He is one of the supporters of the movement to reject the reclamation of Benoa Bay. He also fills his time by pursuing organic farming. Robi represented Indonesia in the Asia 21 Young Leaders organized by the Asia Society in 2016 to discuss his activities in the field of organic agriculture. Albums of songs that have been born with the band Navicula, among others, Self Portrait (1999), Alchemist (2005), Beautiful Rebel (2007), Love Bomb (2013), Face to face (2015).

In Balinese

In Indonesian

I Gede Robi Supriyanto adalah seorang musisi dan penyanyi kelahiran Palu, Sulawesi Tengah, 7 April 1979. Dia adalah salah satu pendiri grup band Navicula. Selain penyanyi dan musisi, Robi juga dikenal sebagai aktivis sosial dan lingkungan. Dia adalah salah satu pendukung gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Dia juga mengisi waktunya dengan menekuni pertanian organik. Robi mewakili Indonesia dalam Asia 21 Young Leader yang diselenggarakan Asia Society pada tahun 2016 untuk membahas aktivitasnya di bidang pertanian organik. Album-album lagu yang telah lahir bersama grup band Navicula, antara lain Self Potrait (1999), Alkemis (2005), Beautiful Rebel (2007), Love Bomb (2013), Tatap Muka (2015).

Contoh karya

Berani.jpg
Bali saat ini turut berjuang menahan laju penyebaran virus Covid19. Ada banyak sekali pelajaran yang kita bisa ambil dari kebijakan lokal dan pengetahuan setempat untuk membantu perjuangan ini.

Salah satunya adalah belajar dari Hari Nyepi. Hari dimana seluruh pulau, selama 24 jam, di lockdown; diminta untuk melakukan Tapa Catur Brata Penyepian: Amati Geni: Hemat energi Amati Karya: Tidak bekerja mencari nafkah (Cuti) Amati Lelungan: Tidak bepergian (#dirumahaja) Amati Lelanguan: Tidak berpesta/berfoya-foya/menghibur diri secara berlebihan

Bali, lewat Nyepi, telah ada pengalaman bertahun-tahun melakukan ini. Maka, anjuran untuk gerakan #dirumahaja sudah seharusnya bukan hal yang asing bagi warga Bali, karena hal ini sudah ada di gen dan darah warga Bali yang sudah melakukan ini setiap tahun. Meski biasanya hanya sehari, dalam situasi darurat ini, perlu ditingkatkan ‘level’nya menjadi beberapa hari (atau minggu), hingga situasi benar-benar pulih.

Sama seperti solusi bagi banyak permasalahan di Bali dan Indonesia, Pandemic Corona tidak bisa ditanggulangi oleh sekelompok kecil individu yang sadar, pemerintah saja, ataupun segilintir tenaga medis berikut infrastrukturnya yang pas-pasan yang dimiliki oleh pulau ini, tapi membutuhkan kesadaran kolektif semua lapisan masyarakat, baik itu masyarakat adat, pemerintah, pengusaha, media, akademisi, tokoh spiritual, dan seniman/budayawan. Semuanya mesti bahu-membahu berkontribusi di bidangnya, dan satu elemen mendukung elemen yang lain.

Di sinilah social resilience (ketahanan sosial) kita diuji. Kalau kita semua sanggup melewati bencana ini, maka kita patut bersyukur dan bolehlah berbangga diri. Tapi isu Corona bukan isu sepele, sekali dia lepas kontrol, harga kerusakan yang ditimbulkannya akan terlalu besar.

Kita punya pengetahuan tentang Nyepi, dan akan sangat disayangkan kalau hal ini hanya kita rayakan sebagai ritual belaka. Kita harus memaknai manfaatnya, etika-nya, tujuannya, sehingga bisa kita implementasikan sebagai solusi atau cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah yang riil. Upacara tidak akan bermanfaat jika dia hanya ditempatkan sebagai simbol. Simbol hanyalah simbol, untuk mengingatkan saja… hanya akan lebih berfaedah jika itu bisa ditransfer dalam bentuk kesadaran, gagasan, dan aksi. Kita bangga punya “rasa” yang kuat…. sekarang tajamkan juga “logika", karena yang ideal adalah keseimbangan dari keduanya.

Berat memang. Baru beberapa hari diam di rumah dan pengurangan nafkah yang drastis akibat sejumlah konser dibatalkan, Kami, sepertimu, juga rindu situasi pulih; berkumpul, bekerja bersama, bernyanyi bersama, mencium keringat tubuhmu, bersetubuh denganmu, seperti adegan dalam video klip kami ini. Kami mengabadikan momen-momen itu agar kita mengingat bahwa kita makhluk sosial, dan solusi dari masalah berat ini adalah apabila kita menjaga kemanusiaan dan kepedulian kita pada sesama. Sekarang, dalam situasi darurat ini, social distancing (menjaga jarak) adalah bentuk kepedulian kita kepada sesama. For a greater good. Untuk sementara saja.

Agar nanti tiba masanya dalam waktu dekat kita akan berkumpul kembali, dan bernyanyi bersama…. “Saat Semua Semakin Cepat, Bali Berani Berhenti!” Dumogi rahayu,

Gede Robi
Percaya Kita Bisa