- Name of Place
- Tenganan Pegringsingan
- Location
- Reference
- www.instagram.com/buana_photography
- Lontar
- Folktales
- Biographies
- Children's Books
- Books
- Holidays and Ceremonies
Information about place
In English
Rapid changes have occurred in the village since the 70's, such as the development of local communications by the central government, the opening up to tourism, the breaking of the endogamic rules. Tourists are attracted to Tenganan by its unique Bali Aga culture that still holds to the original traditions, ceremonies and rules of ancient Balinese, and its unique village layout and architecture. It is known for its Gamelan selunding music and geringsing double ikat textiles.
Many of the life-cycle rituals of the Tengananes are similar to those of the Balinese in general, but have subtle differences. Some ceremonies are unique. One of the distinguishing features is the use of geringsing. By virtue of their magical qualities geringsing are not only capable of keeping impurities and danger out of the village, but also shield and protect humans from baleful influences during rites of passage as they transition from one phase of life to the next. The Tengananese receive their first geringsing at the hair cutting ritual. His hair is cut and placed in a basket which is placed on a folded geringsing on the balé tengah, on which the Tegananese both enters and leaves the world. In the ceremony that admits a boy or girl to the youth association of the village, they are carried in a geringsing cloth on their father's right shoulder. In the concluding ceremony of teruna nyoma which is the initiation, the candidates wear a geringsing and bear a keris. for the tooth filing ceremony, an essential rite of passage for all Balinese Hindu, the participants pillow is covered by geringsing. After death the grnitals of the deceased are covered by a geringsing hip sash. These cloths may not be used again and so usually ae sold . In the purification of the soul ceremony (muhun) the dead person's presence, which is symbolizes by an inscribed palm leaf, is also arrayed in a geringsing. In the wedding ceremony the groom invites his in-laws to visit his parents home where the couple, dressed in festal geringsing clothing while relatives bring symbolic gifts which are placed on a geringsing cloth.In Balinese
In Indonesian
Desa Tenganan sendiri memiliki dua, yaitu Desa Tenganan Pegringsingan dan Dauh Tukad. Kedua desa Tenganan tersebut memiliki daya tarik yang sama, meyimpan berbagai budaya dan tradisi unik dan eksotis. Dengan tampilan arsitektur bangunan rumah-rumah yang tradisional ala budaya Bali Kuno dan dibalut dengan alam pedesaan yang kental seakan Desa Tenganan belum tersentuh kemajuan zaman. Sejumlah hal yang membuat Tenganan menjadi populer di antaranya adalah keunikan tradisi Mekare-kare (Megeret Pandan) atau biasa dikenal dengan Perang Pandan. Tradisi ini digelar setahun sekali dan menjadi salah satu atraksi wisata terpopuler bagi wisatawan di Bali. Berikutnya adalah hasil kerajinan tradisional berupa kain Gringsing yang menggunakan teknik double ikat yang sudah mulai langka. Hal yang menarik lainnya di Tenganan adalah penduduknya yang tidak merayakan Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Galungan. Warga Tenganan hanya mengenal satu hari besar, yakni Aci Sambah, seperti saat digelarnya tradisi Perang Pandan. Kalender yang digunakan Desa Tenganan juga berbeda dengan kalender yang biasa digunakan oleh umat Hindu Bali. Desa Tenganan memiliki kalender sendiri yang disebut sasih Sambah. Sasih atau bulan dari tahun Isaka tersebut dikelompokkan menjadi menjadi tiga bagian tahun, di antaranya: Tahun I Sambah Biasa (360 Hari), Tahun II Sambah Biasa (352 Hari), dan Tahun III Sambah (383 Hari). Keunikan lainnya warga Tenganan, yakni tidak mengenal warna ataupun kasta seperti desa-desa lainnya di Bali. Hal itu karena Tenganan sama sekali tidak terpengaruh budaya luar, termasuk juga saat pengaruh Majapahit saat datang ke Bali. Keduduk anak perempuan di Tenganan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki sebagai ahli waris karena warga Desa Tenganan tidak memandang gender. Berbeda halnya dengan tatanan masyarakat Bali umumnya yang patrilineal. Selain itu, warga Desa Tenganan tidak mengenal poligami maupun perceraian. Desa Tenganan juga memiliki alat musik tradisional yang disakralkan bernama Slonding. Alat musik Slonding hanya digunakan saat ada upacara keagamaan tertentu, seperti tradisi Megeret Pandan, mengiringi tari Rejeng dan tari Mabuang. Selain itu, di Desa Tenganan tidak ada upacara Ngaben yang biasa dilakukan warga Hindu lainnya di Bali ketika ada yang meninggal. Di Tenganan jika da orang meninggal maka jasadnya langsung dikubur saat itu juga. Tidak ada kremasi atau menunggu hari baik, kecuali hari sudah sore maka akan dikubur esok harinya sebelum jam 12 siang. Saat penguburan mayat, jasad dikuburkan tertelungkup dengan kepala pada bagian selatan. Tidak ada bekal kubur dari materi dunia seperti uang dan lainnya, pun tidak ada pakaian atau kain sebagai pembungkus jasad. Keburan di Desa Tenganan juga memiliki keunikan karena dibagi menjadi dua, yaitu Kangin yang diperuntukkan untuk mengubur jasad orang biasa dan Setra yang diperuntukkan untuk mengubur jasad oran suci sepeti pemangku.
Begitu menariknya Desa Tenganan dengan berbagai budaya dan tradisi unik yang masih terpelihara hingga sekarang. Desa Tenganan juga masih menerapkan sistem tradisional dalam transaksi jula beli, yaitu dengan barter. Umumya profesi masyarakat Tenganan adalah sebagai petani dan seniman. Jika ada sebuah agenda untuk berwisata ke Karangasem maka Tenganan adalah tujuan wajib yang harus dikunjungi di wilayah Bali Timur.
www.facebook.com/tengananculture
Enable comment auto-refresher