UPGRADE IN PROCESS - PLEASE COME BACK AT THE END OF MAY

Property:Biography text id

From BASAbaliWiki
Showing 50 pages using this property.
A
Abu Bakar, adalah seorang dramawan dan tokoh teater, kelahiran Kediri, Tabanan, Bali, 1 Januari 1944. Ayahnya berdarah Jawa dan ibunya asli Bali. Selain teater, dia juga menekuni sastra dan fotografi. Ada banyak naskah drama yang telah dia pentaskan dan sutradarai. Dia sempat mengunjungi beberapa negara untuk urusan berkesenian, antara lain, Perancis dan Amerika Serikat. Di Amerika, Abu mementaskan hasil kolaborasinya dengan seniman Ikranegara berupa pertunjukan teater “Berani-Beraninya Menunggu Godot” (1990). Dia juga menyutradarai pementasan “Kereta Kencana” dan “Indonesia Luka” (keduanya pada 2012) dan “Malam Jahanam” (2013). Dalam bidang sastra, selain dimuat di beberapa koran, karya-karyanya juga dibukukan dalam “Tuhanku Kupu-kupu”, “Amerika di Luar Jendela” dan “Kunang-Kunang”. Ia juga menulis naskah monolog berjudul “Wanita Batu” (2006) dan drama televisi “Komedi Hitam”, “Bali Menangis (2004), dan sebagainya. Abu adalah pendiri “Teater Poliklinik” dan “Teater Bumi”.  +
Achmad Obe Marzuki lahir di Jakarta, 30 Juli 1975. Ia menetap di Bali sejak tahun 2002 dan aktif berkesenian, di antaranya bermain teater, menulis puisi, membaca puisi, fotografi, dan melukis. Ia memperdalam keterampilan menulisnya melalui kursus kewartawanan di Planet Senen Jakarta Pusat pada tahun 1995. Tergabung dalam Wadah Teater Jakarta dan Lembaga Dongeng Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan (1995-1996). Membacakan puisi-puisinya dalam mimbar bebas panggung reformasi TIM 1998. Bergabung dengan Teater AGA (Anak Gudang Air) dan mendirikan Komunitas API (Anak Pasar Induk) pada tahun 2000. Mendirikan Pelangi Art Bengkel Handicraft 2001. Bersama Sanggar Poerbatjaraka ia terlibat dalam pementasan Layon (2008) dan Hong (2008) dalam Temu Teater Mahasiswa Nusantara VI di Surabaya. Kini ia bergabung dalam komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi di Denpasar, Bali.  +
Adhy Ryadi lahir di Singaraja, 17 Januari 1960. Menyelesaikan studi Sarjana Hukum di Undiknas Denpasar. Menulis puisi sejak 1981 dan dimuat di Bali Post, Pikiran Rakyat, Berita Buana, Suara Indonesia, serta terhimpun dalam buku puisi “Hram” (1988). Dia pernah bekerja sebagai jurnalis di Bali Post. Dia meninggal pada tahun 1995.  +
Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres adalah seorang pelukis asal Belgia yang menetap di Bali dan menghibahkan rumahnya di Sanur sebagai museum. Dia lahir di Brusel, Belgia, 9 Februari 1880. Pelukis beraliran impresionis tersebut tiba di Bali tahun 1932 dan menyewa sebuah rumah di Banjar Kelandis, Denpasar. Di Kelandis pula dia berkenalan dengan Ni Nyoman Pollok, penari Legong yang berusia 15 tahun saat itu, dan kemudian menjadi model lukisan-lukisannya. Sejumlah karya Le Mayeur yang menggunakan Ni Pollok sebagai model dipamerkan di Singapura untuk pertama kalinya pada tahun 1933 dan terjual habis. Kemudian Le Mayeur membeli sebidang tanah di tepi Pantai Sanur yang dipakainya sebagai studio dan rumah. Di tempat itulah setiap hari Le Mayeur melukis dengan Ni Pollok sebagai model utamanya. Pada tahun 1935, Le Mayeur menikah dengan Ni Pollok. Tahun 1956, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bahder Djohan, berkunjung ke rumah Le Mayeur dan terpesona dengan karya-karya yang penuh kelembutan tersebut. Bahder kemudian menyarankan kepada Le Mayeur agar kelak rumahnya dipakai sebagai museum. Le Mayeur setuju dan bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kualitas dan menambah koleksi lukisannya. Pada tanggal 28 Agustus 1957, Le Mayeur menandatangani testamen yang isinya Le Mayeur mewariskan semua miliknya termasuk tanah, rumah, dan seisinya kepada Ni Pollok sebagai hadiah. Di saat yang sama, Ni Pollok kemudian memindahkan semua yang diwarisi dari suaminya kepada Pemerintah Indonesia untuk digunakan sebagai museum. Pada tahun 1958, Le Mayeur menderita kanker telinga. Ditemani Ni Pollok dia berobat di Belgia. Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 31 Mei 1958, Le Mayeur meninggal dunia dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Brusel. Ni Pollok kemudian pulang ke Bali untuk merawat rumahnya hingga kematiannya pada tanggal 18 Juli 1985 dalam usia 68 tahun. Karya-karya Le Mayeur bisa dinikmati di Museum Le Mayeur yang berlokasi di tepi Pantai Sanur, Denpasar.  
Agoes Andika dilahirkan di Banjar Baleagung, Buleleng, 5 Maret 1963. Pada tahun 1981 menetap di Mataram, Lombok. Dia banyak belajar menulis pada Putu Arya Tirtawirya dan Umbu Landu Paranggi di Bali Post. Tahun 1985 berkesempatan diundang ke Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan beberapa penyair Bali serta penyair tanah air lainnya membaca puisi. Karya puisi pernah dimuat di Bali Post, Karya Bhakti, Nusa Tenggara, Simponi, Swadesi, Nova, Berita Buana, Suara Karya, Suara Nusa, Horizon, dan beberapa buletin sastra di mataram, pontianak. Sekarang menetap di Singaraja.  +
Agung Bawantara lahir di Klungkung, 30 Januari 1968. Lulusan Fakultas Peternakan, Universitas Mataram, NTB. Menulis puisi sejak 1980-an di Bali Post, Karya Bakti, Nova, Berita Buana, Swadesi, Media Indonesia, dll. Puisinya juga terkumpul dalam buku Sahayun (1994), Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (2016). Dia adalah penggagas Denpasar Film Festival. Dia juga menulis cerpen, cerita anak, dongeng, dan novel.  +
Agung Wiyat S. Ardhi lahir di Puri Anyar Keramas Gianyar, pada 3 Februari 1946. Beliau menamatkan diri untuk gelar sarjana muda di ASTI dan sarjana Agama Hindu serta sempat menjadi guru di PR Saraswati Gianyar. Beliau juga sempat menjadi Kepala SPG Saraswati Gianyar, Kepala SMA Saraswati Gianyar, Anggota Madya Kabupaten Gianyar, Tim Penyeleksi Penerimaan Penghargaan Wija Kusuma Kabupaten Gianyar, Tim Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Gianyar, Tim Pembina Utama Dharma Gita Kabupatén Gianyar, dan Tim Pembina Nyastra Kabupatén Gianyar. Selain itu, beliau juga terkenal sebagai pemain/penari Drama Gong. Beliau mendapatkan hadiah Sastra Rancage tahun 2001 dengan karya yang berjudul “Gending Girang Sisi Pakerisan” dan atas jasanya dalam bidang sastra Bali Moderen tahun 2010. Pada tahun 2015 beliau kembali mendapatkan penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali atas karya sandiwara berbahasa Bali yang berjudul “Bogolan”.  +
Gus Teja merupakan seorang maestro alat musik tiup yaitu Suling dari sebuah desa kecil di dekat Ubud, Bali. Ia merupakan bungsu dari empat anak dari orang tuanya yaitu I Nyoman Kadjil dan Ni Wayan Darpini. Gus Teja mulai bermain suling ketika berada pada jenjang sekolah Dasar, namun ia banyak menghabiskan waktunya selama masa ini untuk berlatih gamelan (instrumen tradisional bali). Semakin tahun, ketertarikannya akan instrumen angin ini meningkat. hal ini memunculkan obsesinya untuk mempelajari semua yang berkaitan dengan instrumen udara dari seluruh dunia. Sejak masa kanak-kanak Gus Teja sangat bersemangat menjadi seorang pemain suling. Suling merupakan isntrumen dengan suara melodi yang mewakili suara kedamaian. Ia merasa bebas ketika memainkan sulit kapan saja bahkan sebagai media meditasi dalam pemujaan kepada Tuhan. Gus Teja selanjutnya menguji dirinya untuk berkarya instrumen baru sejalan dengan gairahnya terhadap suling. Mulai dari instrumen dari kayu yang dipangkas hingga suling dari bambu. Ia selalu bereksperimen dengan menciptakan kreasi musik baru dengan menggabungkannya dengan instrumen musik dari instrumen modern dengan nada tradisional. Setelah bertahun-tahun berlatih dan bersabar, Gus Teja akhirnya membentuk band musik dunia bernama Gus Teja World Music. Pekerjaan musik yang sudah diciptakan tidak hanya merepresentasikan ekspresi perasaannya dari dalam lubuk hati, namun juga mencerminkan perasaan damai, ketenangan dan ikatan kuat persaudaraan terlepas dari latar belakang budaya dari ras yang berbeda. Gus Teja mengatakan bahwa "Musik adalah universal.., bagaimanapun melalui musik mari kita bawa kedamaian dan cinta kepada dunia".  +
Agus Vrisaba adalah sastrawan kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 15 Mei 1941. Pada era 1970-an dia menetap di Bali dan bergaul dekat dengan banyak seniman Bali. Pada akhir 1980-an dia pindah ke Tawangmangu, Jawa Tengah. Dia meninggal pada 17 Februari 1992. Agus adalah penulis cerpen yang sangat produktif. Karya-karyanya diterbitkan oleh Kompas, Sinar Harapan. Belakangan juga di Suara Pembaharuan, Vista, Jawa Pos, Bali Post, Intisari, Surabaya Post, Suara Indonesia, Zaman, dan juga berbagai koran daerah lainnya. Penerbit Buku Kompas (PBK) berupaya menghadirkan kembali karya-karyanya dan menyuntingnya dalam sebuah buku kumpulan cerpen tunggalnya yang pertama berjudul “Dari Bui Sampai Nun” yang tahun 2004. Agus sendiri hingga akhir hayatnya belum sempat membukukan karya-karyanya. Hanya ada satu cerpennya yaitu “Sodom dan Gomorah” yang diikutsertakan dalam antologi “Dua Kelamin bagi Midin”, yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2003.  +
Om Swastiastu, yang terhormat para audiens yang saya hormati hadirin sekalian sebelum memulai Mari kita panjatkan puja puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karna berkat rahmat beliau kita semua bisa berkumpul dan melakukan orasi. Terkait masa masa pemilu dengan orasi ini saya ingin menyampaikan penting nya air bersih dalam mencegah stuting,ketiadaan akses air bersih ibarat anak mendapat asupan makanan bergizi dengan peralatan makan yang kotor, sehingga tidak ada penyerapan gizi di pencernaan.Ketiadaan akses air bersih juga membuat anak rentan terkena infeksi cacing. Mulanya cacing yang masuk ke dalam tubuh akan menyerap nutrisi pada tubuh anak, lalu membuat nafsu makannya menurun. Jika terus terjadi, kondisi ini akan menyebabkan anak mengalami malnutrisi dan menyebabkan pertumbuhan anak melambat, inilah yang mengakibatkan seseorang mengalami stunting , ingat prinsip kita dari rakyat untuk rakyat saya harap calon pemimpin nantinya dapat menangani stuting dengan melanjutkan program program yang ada sebelum nya dan meningkatkannya. Demikianlah orasi dari saya ,dengan ini saya tutup dengan parama santih,om santih santih santih om  +
"Ajak Wisatawan Lokal dan Nusantara, Bali Kembali Bangkit dari Pandemi Covid-19" Tak satupun masyarakat Bali (termasuk pebisnis, investor, dan pemerintah) yang menyangka akan berada pada situasi sulit pandemi covid-19. Bali yang biasanya tak henti mendatangkan pundi-pundi rupiah untuk menopang perekonomian masyarakatnya, kini sepi. Beberapa bulan setelah pandemi covid-19 mulai mereda, ramai di jagad sosial media tentang tagar #WorkFromBali. Bali, sebagai objek wisata paling populer di Indonesia, perlahan mulai bangkit dari keterpurukan pandemi covid-19. Kebanyakan masyarakat Indonesia menganggap Bali sebagai destinasi wisata elite, karena mayoritas pengunjung adalah turis mancanegara. Tidak jarang masyarakat Indonesia juga berpikir bahwa harga tiket masuk wisata dan harga makanan di tempat makannya pun tinggi (dengan standar turis mancanegara). Melihat situasi pandemi covid-19 yang masih tidak menentu, ada baiknya pemerintah Bali mulai bergerak untuk melakukan "Rebranding Bali" untuk wisatawan lokal dan nusantara. Karena wisatawan lokal dan nusantara, dirasa paling aman dan sustainable, untuk menjaga perekonomian di Bali tetap hidup dan berputar. Beberapa cara dapat pemerintah Bali lakukan untuk mengajak wisatawan lokal dan nusantara berkunjung ke Bali: 1. Memastikan bahwa Bali adalah tempat yang aman selama pandemi Covid-19, dengan memperlihatkan bahwa seluruh garda terdepan wisata Bali telah divaksin dan menjaga protokol kesehatan dengan baik; 2. Mengajak influencer untuk mengiklankan Bali. Tagar #WorkFromBali sepertinya sudah sangat baik dan powerfull untuk digaungkan kembali; 3. Melakukan penghitungan ulang harga tertinggi khusus untuk wisatawan lokal dan nusantara, seperti harga tiket masuk wisata, harga penginapan, harga makanan, dan sebagainya, dengan menyesuaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. 4. Memberikan pengertian dan pelatihan bagi garda terdepan wisata Bali, untuk memperlakukan wisatawan lokal dan nusantara dengan cara yang sama dengan memperlakukan wisatawan asing. Semoga perekonomian Bali semakin membaik.  
Bali, pulau kecil yang sangat terkenal akan keindahan serta kekentalan budayanya. Setiap bulan ada 500.000 wisatawan mancanegara yang datang dari jauh untuk melihat kearifan lokal budaya Bali. Tapi sekarang? Bagaimana pemuda pemudi Bai? Tidak ada yang mau melanjutkan! Sawah yang luas ditanami kantor hingga tak ada lagi subak yang indah. Lihat, saat ini seberapa banyak masyarakat bali yang meninggalkan budayanya. Lihat, seberapa banyak masyarakat bali yang tidak bisa berbahasa bali? Menyama braya digantikan dengan jasa event organizer. Sulit mencari penerus penulis lontar dan kidung suci. Apakah budaya kita akan hilang ditelan zaman? Apa yang dapat dibuat? Apa yang dapat dilakukan untuk mendobrak hal ini? Lomba sudah banyak digarap, hadiah sudah banyak dikeluarkan. Namun kenyataannya masih sangat banyak yang masih tidak tertarik meneruskan budaya Bali. Ibu pertiwi menangis melihat taksu Bali musnah. Jika hal ini terus berlanjut, nama indah Bali di dunia akan perlahan memudar. Bali yang penuh budaya dan tradisi akan hilang. Apakah itu yang kita mau? Jangan mau jadi pemuda pemudi bali yang diam! Kembalikan ajeg bali, kembalikan taksu Bali! Jika semua sudah diperjuangkan, sekarang giliran kita yang melanjutkan. Bersama pemuda Bali, mantapkan taksu Bali.  +
Kecepatan memegang peran krusial dalam keselamatan di jalan raya. Meskipun terkadang tergoda untuk mengendarai dengan kecepatan tinggi, kita harus menyadari resikonya. Kecepatan berlebih dapat memicu kecelakaan serius, merugikan nyawa dan harta benda. Kita sebagai pengemudi harus bertanggung jawab, menghormati batas kecepatan, dan memprioritaskan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Jangan biarkan hasrat untuk cepat menggoda keselamatan, karena setiap detik dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati di jalan raya.  +
Aldwin bekerja sebagai senior analyst untuk AkarAsia. Ia baru lulus dengan gelar master dalam Studi Pembangunan Internasional di Elliott School of International Affairs Universitas George Washington, yang berspesialisasi dalam pengembangan sektor swasta. Dia menerima gelar S.IP dalam Hubungan Internasional dari Universitas Colorado di Boulder, dengan fokus pada politik dan ekonomi Asia Tenggara.  +
Om Swastyastu Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuk Shalom Namo Budaya,salam kebajikan Pertama tama marilah kita panjatkan puji syukur atas kahadiran Tuhan yang Maha Esa. Disini saya ucapkan terimakasih atas kesempatan yang telah di berikan kepada saya, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Ni Kadek Feby Dhiyo Dharma Yanthi saya dari SMK Negeri 2 Seririt. Disini saya akan menyampaikan orasi tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian. Ini merupakan salah satu masalah yang harus di tangani oleh calon pemimpin Bali. Seperti yang kita tahu penduduk Bali semakin bertambah serta semakin banyaknya Wisatawan asing yang berkunjung,maka dari itu banyak lahan pertanian di alih fungsikan menjadi perumahan, hotel, restoran maupun bangunan lain yang menopang Industri Pariwisata. Oleh karena itu tidak ada petani di Bali yang memiliki lahan yang luas. Seperti yang di katakan oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, I Wayan Sunada, menjelaskan saat ini paling luas lahan petani di Bali berkisar di 75 are/0,75 ha, sangat jarang petani yang memiliki lahan di atas satu hektare. "Kelemahan petani di Bali saat ini lahannya sempit, ada yang punya 25 are, paling banyak 75 are. Itu akibat dari Alih Fungsi Lahan yang terjadi setiap tahun". Kata Sunada kepada Bisnis, Rabu (22/6/2022). Dari permasalahan tersebut Pemerintah ataupun calon Pemerintah Provinsi Bali hendaknya betul - betul memperhatikan permalasahan Alih Fungsi Lahan ini dengan cara menjamin kesejahteraan para petani contohnya: 1. Di saat musim tanam pendistribusian pupuk bersubsidi atau tidak bersubsidi harus di perhatikan agar tidak terjadi kelangkaan pupuk. 2. Di saat musim panen, Pemerintah harus membantu para petani untuk pemasaran hasil pertanian. Apa bila pemerintah betul - betul memperhatikan kesejahteraan para petani, Alih Fungsi Lahan bisa di cegah karena masyarakat dan generasi muda akan ada keinginan untuk menjadi seorang petani. Dengan demikian program ketahanan pangan nasional bisa tercapai. Demikian orasi yang dapat saya sampaikan, jika ada kalimat yang kurang berkenan saya mohon maaf yang sebesar besarnya. Saya ucapkan banyak terimakasih Om Shanti Shanti Shanti Om Wasallamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuk Shalom Namo Budaya, salam kebajikan.  
Alit S.Rini lahir dan tinggal di Denpasar dengan nama Ida Ayu Putu Alit Susrini.Menulis puisi sejak th 1980 dan dipublikasi di koran Bali Post yang kemudian menjadi tempatnya bekerja sejak 1988, kemudian dipercaya memegang desk budaya, agama, pendidikan, opini dan tahun 1998 sebagai redaktur pelaksana, lalu terakhir memegang desk opini dan pensiun 2015. “Karena Aku Perempuan Bali” (2003) adalah kumpulan puisi tunggalnya. Puisi-puisinya juga terangkum dalam buku “Cinta Disucikan Kehidupan Dirayakan”, “Bali Living In Two World” (2002), “Dendang Denpasar Nyiur Sanur” (2016), “Klungkung: Tanah Tua Tanah Cinta” (2017). September 2017 lalu sekumpulan puisinya, Inferior, terbit duet dengan Nyoman Wirata berjudul “Pernikahan Puisi”.  +
"Salah satu penulis erotika wanita pertama, Anaïs Nin mungkin paling terkenal karena buku hariannya yang menyentuh jiwa, hubungan cinta bohemiannya dengan penulis Henry Miller, dan hubungan inses dengan ayahnya atas saran psikolognya. Dia juga sangat terlibat dalam dunia psikoanalis, dan tertarik untuk mengintegrasikan dan menyelaraskan diri melalui proses menulis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia mengidealkan pulau Bali yang indah—tempat perlindungan yang tenang di mana manusia hidup selaras dengan alam semesta.... Pada tahun 1955, Anaïs pertama kali menggunakan LSD di bawah bimbingan Aldous Huxley dan menulis deskripsi indah yang menggugah tentang penglihatan dan lanskap bawah sadarnya yang mencakup gambar candi Jawa, musik Bali, gerakan tarian simbolis sebelum akhirnya diakhiri dengan kesimpulan, “Ah, saya tidak bisa tangkap rahasia hidup dengan KATA.” Dia mulai mengungkapkan apa yang diinginkan jiwanya—bagi Anaïs, utopia adalah keadaan pikiran di mana sang seniman memiliki akses ke dunia mimpi. Mungkin itu sebabnya ia jatuh cinta pada ilmu kebatinan dan seni Bali. Dalam jurnal terakhirnya (volume 7 dari buku hariannya) dia mengakhiri dengan refleksi perjalanannya ke pulau ini, lengkap dengan deskripsi magis tentang kremasi suci, taman mewah, tarian candi, wayang kulit, bungalow berbahan alami yang digunakan sebagai hotel, the musik yang menghantui, dan cara-cara masyarakat Bali yang canggih dan lembut.”  +
Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik lahir di Deventer, Belanda, 8 September 1947. Dia merupakan putri tertua dari Dr. dr. Anak Agung Made Jelantik (Dokter PBB). Dia mencintai seni tari sejak kanak-kanak. Dia adalah seorang maestro tari Legong. Selain dikenal sebagai penari, dia berprofesi sebagai dokter spesialis THT dan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Bulantrisna adalah cucu dari Anak Agung Anglurah Djelantik yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Karangasem, Bali. Kakeknya mencarikan Bulantrisna guru tari yang terkenal pada masa itu, antara lain Bagus Bongkasa dan Gusti Made Sengog. Pada usia sepuluh tahun, Bulantrisna diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Presiden di Tampaksiring, Gianyar, Bali untuk menghibur para tamu Istana. Mentor utamanya adalah Anak Agung Mandera dan Gusti Made Sengog, penari Legong generasi pertama. Selain tari Legong, Bulan juga menguasai tari lain, seperti Oleg. Menari bagi Bulan adalah pelepasan emosi, kreativitas, kegembiraan, bergerak dengan penuh penjiwaan, dan sebagai sarana berdoa. Kecintaannya pada tari tak hanya sebatas gerak saja, tetapi ia juga mendirikan sanggar tari yang diberi nama "Ayu Bulan" pada tahun 1994. Salah satu kreasi tari ciptaan yang telah dibuatnya ialah tari Legong Asmarandana. Bulantrisna meninggal pada tanggal 24 Februari 2021 di RS Siloam, Semanggi, Jakarta karena kanker pankreas yang dideritanya.  +
Anak Agung Ayu Puspa Aditya Karang alias Dita Karang, lahir di Yogyakarta, 25 Desember 1996. Ayahnya bernama Anak Agung Chandra Karang, berasal dari Karangasem, Bali. Ibunya bernama Mega Puspa Arifin, berasal dari Yogyakarta. Dita adalah seorang penyanyi yang berkarier di Korea Selatan. Ia dikenal karena menjadi anggota grup Secret Number, sekaligus sebagai perempuan Indonesia pertama yang memulai debutnya sebagai idola di industri K-pop. Ia menempati posisi sebagai penari utama dan vokalis di grup tersebut. Dita bercita-cita menjadi idola K-pop sejak masa sekolah. Setelah lulus SMA, ia menimba ilmu di Akademi Drama dan Musik Amerika di New York, Amerika Serikat. Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2017. Setelah lulus kuliah, ia mengikuti audisi K-pop dan diterima. Sebelum debut, ia menjalani masa pelatihan (trainee) di Born Star Training Center di New York. Ia juga pernah bergabung dalam komunitas menari ternama di Korea Selatan, 1MILLION Dance Studio. Dita kemudian melakukan debutnya bersama Secret Number, grup idola wanita asal Korea Selatan yang berada di bawah agensi Vine Entertainment, pada tanggal 19 Mei 2020. Album & single yang telah dirilisnya: Who Dis? (2020), Got That Boom (2020), Fire Saturday (2021), DOOMCHITA (2022), TAP (2022). Selain menyanyi dan menari, ia juga bermain film. Salah satu film yang dibintanginya adalah DJS the Movie: Biarkan Aku Menari (2022) produksi SinemArt Pictures. Pada akhir Agustus 2022, Dita dipilih oleh Duta Besar RI untuk Korea Selatan sebagai Duta Hubungan Bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan ke-50 yang dirayakan pada 2023.  +
Anak Agung Bagus Sutedja (lahir 1923 – hilang 27 Juli 1966) adalah Gubernur Bali yang pernah dua kali memimpin Bali. Ia pertama kali menjabat pada tahun 1950 sampai 1958, diangkat berdasarkan keputusan Dewan Pemerintahan Daerah sebagai pemimpin badan eksekutif Bali, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) menggantikan wewenang Paruman Agung yang terdiri dari wakil-wakil delapan kerajaan di Bali sebagai badan legislatif. Setelah diselingi oleh I Gusti Bagus Oka sebagai Pejabat Sementara Kepala Daerah Bali pada tahun 1958 sampai 1959, ia kembali terpilih pada bulan Desember 1959 sebagai Gubernur Bali. Masa jabatannya yang kedua berakhir beberapa bulan setelah terjadinya G30S/PKI tahun 1965. Selanjutnya ia digantikan oleh I Gusti Putu Martha. Ia “hilang” pada tanggal 29 Juli 1966 di Jakarta, diperkirakan menjadi korban penculikan politik yang terjadi pada masa itu.  +
Anak Agung Gde Mandera Erawan (Agung Bangli), maestro tari asal Puri Kaleran Peliatan, Ubud. Besar dengan garis darah keluarga seniman, putra dari Gung Kak Mandera, maestro tabuh pendiri Kelompok Musik dan Tari Gunung Sari dan seorang ibu yang juga penari. Gung Kak Mandera adalah salah satu dari beberapa seniman Bali yang berkeliling Eropa dan melakukan pertunjukan di Paris pada tahun 1930an. Hampir seluruh penjuru dunia sudah Gung Aji datangi untuk mempertunjukkan Tari Bali kepada dunia. Bisa dibilang seluruh hidupnya didedikasikan kepada seni tari dan musik Bali. Menjaga dan melestarikan supaya budaya ini terus ada. Beliau meneruskan peran mendiang ayahnya memimpin grup Gunung Sari Peliatan, yang setiap minggu mengadakan pertunjukan di Balerung Peliatan. Legong Nandira, yaitu Tari Legong dengan penari pria adalah salah satu sendratari ciptaannya.  +
Dr. Semadi adalah dosen aktif pada program studi Ilmu Hukum, Universitas Dwijendra, Bali Indonesia. Dengan pendidikan tertinggi adalah S3 yang diperolehnya dari Universitas Udayana pada tahun 2015, Dr. Semadi juga adalah pemerhati isu-isu sosial dan hukum di Bali serta aktif menulis di berbagai media.  +
Anak Agung Gde Rai atau biasa dipanggil Agung Rai, lahir di Peliatan, Ubud, 17 Juli 1955. Dia adalah budayawan dan tokoh seni yang berjasa besar melestarikan dan mempromosikan karya-karya seni Indonesia (khususnya Bali). Dia adalah pendiri ARMA (Agung Rai Museum of Art). Kemiskinan di masa kanak memotivasi Agung Rai untuk mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik dengan terus menerus bekerja keras. Ketika masih muda, dia pernah menjadi “pedagang acung” (pedagang asongan) benda-benda seni untuk turis yang berkunjung ke Bali. Agung Rai bercita-cita menjadi guru, namun kandas karena tidak ada biaya sekolah. Kemudian dia belajar melukis. Namun dia menyadari bakatnya tak cukup sebagai pelukis. Akhirnya dia kursus bahasa Inggris dan menjadi pemandu wisata. Dari interaksinya dengan para turis, naluri bisnisnya muncul untuk mencoba peruntungan sebagai penjual benda-benda seni yang dibikin orang-orang di kampungnya. Sejak itulah dia menjadi pedagang acung di wilayah Sanur, Kuta, hingga Padangbai. Sebagai pedagang acung, naluri bisnis dan seninya terus berkembang. Dia kemudian bergaul dengan banyak kolektor seni. Dan, pada akhirnya dia pun ikut menjadi kolektor seni karya para maestro. Dari kolektor dia menjadi kurator pameran benda-benda seni. Misalnya, tahun 1989, Agung Rai berangkat ke Jepang memboyong seratus lukisan karya lima puluh pelukis yang tergabung dalam Sanggar Seniman Agung Rai. Lukisan-lukisan itu dipamerkan di Jepang selama dua bulan. Rasa cemas dan kahwatir akan kelesatarian budaya negerinya terutama di bidang kesenian membuat Agung Rai terobsesi mendirikan museum dan galeri seni. Maka, dengan perjuangan sangat luar biasa, pada tanggal 9 Juni 1996, ARMA Museum diresmikan oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. ARMA merupakan salah satu museum dengan koleksi terlengkap di Indonesia. Mulai dari lukisan-lukisan klasik hingga kontemporer, baik karya seniman lokal maupun manca negara. Selain itu, ARMA juga secara berkali menggelar pameran seni rupa. Popularitas ARMA melejit cepat karena juga sering menghelat berbagai kegiatan seni budaya seperti pertunjukan musik, teater, menyediakan ruang baca dengan koleksi aneka buku bagi para pengunjung, menyelenggarakan seminar tentang budaya dan seni. Kegiatan-kegiatan di ARMA sebagian besar berskala internasional dan tak jarang diselenggarakan dengan berbagai pekerja seni dan budaya dari berbagai negara. Dengan berbagai rangkaian kegiatan berskla internasional tersebut, ARMA mendapat predikat sebagai museum terpopuler dan terbaik di Indonesia menurut para wisatawan sebagaimana dihimpun oleh situs traveling dunia, TripAdvisor. Berkat perjuangannya untuk melestarikan kesenian, Agung Rai dianugerahi sejumlah penghargaan. Antara lain, tahun 2000 dia dianugerahi penghargaan oleh Pemerintah Indonesia sebagai “Pelopor Memajukan Seni Rupa”. Tahun 2012 dia terpilih sebagai ketua Himusba (Himpunan Museum Bali) 2012-2017. Tahun 2016 “TripAdvisor” menobatkan ARMA sebagai museum terbaik Indonesia. Pilihan ditentukan oleh para wisatawan yang telah mengunjungi berbagai museum di Indonesia. Buku-buku tentang Agung Rai dan ARMA bisa dibaca dalam “Gung Rai, Kisah Sebuah Museum” (KPG, 2013), “Saraswati in Bali: A Temple, A Museum and A Mas” ( BAB Publishing Indonesia, 2015), “Agung Rai, Sang Mumpuni” (Lestari Kiranatama, 2017).  
Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga lahir di Denpasar, 7 Juli 1965. Ia menamatkan S-1 di Universitas Ngurah Rai, Denpasar, pada tahun 1991. Ia adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Ia menjabat dari 2014 hingga 2019. Sebelum menjadi menteri, ia pernah menjabat sebagai Wali Kota Denpasar dua periode, yakni 1999-2004 dan 2005-2010. Pada periode kedua, di tengah jalan, ia terpilih menjadi Wakil Gubernur Bali periode 2008-2013.  +
Anak Agung Gede Raka Payadnya, lahir di Abianbase, Gianyar, 14 Agustus 1944. Ia menempuh pendidikan di Konservatori Karawitan (Kokar) pada tahun 1965 dan sempat kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Seni Rupa Unud. Ia adalah perintis seni drama gong dengan mendirikan sekaa/kelompok drama gong “Wijaya Kusuma” Abianbase pada tahun 1966. Dalam pementasan drama gong ia populer dengan perannya sebagai raja muda. Atas dedikasinya di bidang seni drama gong, ia dianugerahi penghargaan Dharma Kusuma 2004 oleh Pemda Propinsi Bali. Ia meninggal pada tanggal 22 September 2022.  +
Joni Agung bernama asli Anak Agung Junni Antara adalah seorang musisi reggae kelahiran Denpasar, 1973. Kecintaannya pada musik telah tumbuh sejak remaja. Pada awalnya dia bermain musik dari kafe ke kafe di seputaran Sanur dan Kuta bersama grup band “Sunshine”. Tahun 2002 dia bertemu dengan grup band “Double T”, dan tahun 2003 menelurkan album perdana berjudul “Pocol”. Lagu berjudul “Nyoman Klepon” dan “Janjin Beline” adalah dua lagu yang sangat populer garapan Joni Agung dan Double T. Hingga kini, Joni Agung dan Double T telah menelurkan tujuh album, di antaranya “Jero Gede”, “Cinta dan Kasih Sayang”, “Semara Ratih”, “Ogoh-ogoh”. Lirik-lirik lagunya kebanyakan berbahasa Bali dengan nada humor yang menggelitik. Selain musisi, Joni Agung yang berambut gimbal ini juga dikenal sebagai pelatih yoga.  +
Anak Agung Made Cakra, lahir di Denpasar, 11 November 1928. Ia adalah seorang musisi dan pencipta lagu pop Bali yang sangat popular pada zamannya. Ia belajar seni musik secara otodidak sejak usia tujuh tahun. Tahun 1943, ketika masih SR (Sekolah Rakyat), ia ikut lomba lagu Jepang di Singaraja, dan berhasil memikat perhatian seorang pemusik Jepang yang hadir saat itu. Pemusik Jepang itu kemudian mengajarinya bermain musik yang benar. Setamat SR, ia dipekerjakan oleh Jepang dan dilatih bermain musik. Tahun 1950 ia mengumpulkan pecinta musik di Denpasar dan membentuk grup orchestra dan tahun 1953 grup itu pentas di seputar Denpasar. Ia juga bergabung dengan grup orkes keroncong Puspa Teruna pimpinan Ida Made Rai. Lalu bergabung dengan orkes keroncong Melati Kusuma pimpinan Merta Suteja, grup orkes keroncong Merta Kota dan orkes keroncong Cendrawasih. Ia juga terlibat kegiatan rutin bermusik di RRI Stasiun Denpasar. Kemudian ia membentuk dan memimpin grup orkes keroncong Fajar Baru. Selain bermusik, Gung Cakra juga menciptakan lagu dan komposisi musik. Salah satu lagunya yang paling terkenal berjudul “Kusir Dokar”. Pada 1963, lagu itu sering dimainkan oleh grup band Putra Dewata yang didirikan Gung Cakra dan rekannya. Alat-alat musik grup band itu dibuat sendiri oleh Gung Cakra dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan. Tahun 1976, Gung Cakra mulai masuk dapur rekaman lewat Bali Record. Selain “Kusir Dokar”, lagu ciptaaannya yang popular hingga kini adalah “Bungan Sandat” dan “Ada Kene Ada Keto”.  +
1919-2007: Seorang pangeran dari Karangasam yang belajar di Belanda selama Perang Dunia Kedua sebelum kembali ke Indonesia sebagai dokter. Setelah kembali ke Indonesia, ia dikirim ke berbagai daerah di Indonesia Timur, yang seringkali terlalu jauh untuk membantu masyarakatnya. Dia dan istrinya terjangkit malaria selama tinggal di sana, tetapi dia juga menjadi dokter yang menangani malaria. Dr. Djelantik bekerja untuk Organisasi Kesehatan Dunia, yang mengirimnya ke Irak, Somalia, dan Afghanistan, dan ini terbukti sangat bermanfaat. Setelah itu, ia menjabat sebagai kepala perguruan tinggi utama Bali di Sanglah dan membantu mendirikan Fakultas Kedokteran di Universitas Udayan di Denpasar. Dr Djelantik bermain biola saat masih kecil. (foto: Bulantrisna Djelantik) Dr Djelantik adalah seorang tokoh Renaisans yang juga aktif di bidang kebudayaan Bali, baik mempelajari maupun mempromosikannya. Dia adalah ketua Walter Spies Society dengan Festival Walter Spies yang berfokus pada musik dan tari. Bersama Fredrik de Boer, Hildred Geertz, dan Heidi Hinzler ia mendirikan Perhimpunan Studi Bali atau Lembaga Penkajian Kebudayaan Bali pada tahun 1985. Lembaga ini mengadakan konferensi tahunan di Bali dan juga di luar negeri dan menurut Adrian Vickers Dr Djelantik adalah pemimpin alami organisasi tersebut. . Melalui organisasi tersebut ia mempromosikan budaya Bali dan juga kajiannya. Dr Djelantik menulis makalah tentang budaya Bali dan buku tentang lukisan Bali yang mencakup sejarah seni Bali serta estetika Bali. Kemudian mengajar Estetika di Akademi Seni Rupa Bali atau Akademi Seni Bali. Ia juga menulis otobiografi berjudul “Tanda Lahir, Memoar Seorang Pangeran Bali”.  +
Anak Agung Pandji Tisna (11 Februari 1908 - 2 Juni 1978), juga dikenal sebagai Anak Agung Nyoman Pandji Tisna, I Gusti Nyoman Pandji Tisna, atau hanya Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti Pandji Sakti Buleleng, Singaraja, yang merupakan di bagian utara Bali, Indonesia. Ia menggantikan ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pada tahun 1944. Pada halaman terakhir buku Pandji Tisna, I Made Widiadi, yang ditulis pada tahun 1955, ia menulis kisah hidupnya dalam urutan kronologis. Dia adalah seorang penulis dan novelis. Dia menolak menjadi raja Buleleng, tetapi sebagai putra tertua, pasukan penjajah Jepang memaksanya untuk menjadi "syucho" setelah kematian ayahnya pada tahun 1944. Selama masa pemerintahannya, ia menjadi pemimpin Dewan Raja di seluruh Bali dari tahun 1946 hingga 1947 (Paruman Agung) dan Bupati Buleleng. Pada tahun 1947, karena kepercayaan Kristennya yang unik tidak cocok dengan agama Hindu yang dominan, Pandji Tisna menyerahkan tahta kepada adiknya, Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik, juga dikenal sebagai Meester Djelantik, hingga 1949. Dia meninggal 2 Juni 1978 dan dimakamkan di kuburan di sisi timur tanahnya dekat kapel yang dibangunnya bertahun-tahun sebelumnya. Ada sebuah museum di Lovina yang didedikasikan untuk AA Pandji Tisna dan keluarganya: https://www.facebook.com/pg/The-Little-Museum-Anak-Agung-Panji-Tanji-Tisna-KM-0-Lovina-Bali-1402058299856241/tentang/  +
Anthok Sudarwanto lahir di Denpasar, 18 April. Dia menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Sejak 1996 dia rajin menggelar pameran bersama. Di antaranya adalah pameran Pameran Festival Kesenian Indonesia di Jogjakarta (1999), Kelompok HitamPutih di Museum Bali (2000), The Name of Identity di Tanah Tho Gallery, Ubud (2011), "Retrospektif" bersama Kelompok Galang Kangin di Bentara Bundaya Bali (2018). Tahun 2010 dia menggelar pameran tunggal “Transformation” di Hitam-Putih Artspace, Sangeh, Bali. Dia juga terlibat dalam Kelompok Militanarts. Karya-karyanya cenderung realis dengan tema-tema sosial dan kehidupan.  +
Antonio Blanco lahir pada tanggal 15 September 1911 di Manila, ibu kota Filipina. Kedua orangtuanya berasal dari spanyol, oleh karena itu Blanco meyakini bahwa ia terhubung secara geografis dan spiritual pada Miro and Salvador Dali. Ayahnya menetap di Manila selama perang Spanyol - Amerika, bertugas sebagai dokter. Blanco sekolah di American Central School di Manila. Semasa sekolahnya ia sangat senang kelas-kelas kesenian, literatur dan bahasa tapi kesulitan mengukuti kelas sains. Tidak heran beliau dapat berbicara enam bahasa - Spanyol, Perancis, Ingris, Tagalog, Indonesia, dan sedikit Bahasa Bali. Selulus SMA di Manila, Blanco melanjutkan pendidikannya di National Academy of Art di New York, dibawah Sidney Dickinson. Pada masa-masa awal pembentukannya tersebut, Blanco berkonsentrasi pada bentuk tubuh manusia, terutama pada bentuk tubuh wanita. Sebagai kelanjutan pendidikannya, sekaligus memenihu hasrat berkelananya, ia menjelajah keliling dunia hingga akhirnya menginjakkan kaki di Bali pada tahun 1952. Raja Ubud memberi sepetak tanah kepada Blanco untuk mendirikan rumah dan studionya di Campuan, Ubud, pada pertemuan dua sungai suci. Blanco dan istrinya, seorang penari Bali terkenal bernama Ni Ronji, tinggal di rumah tersebut. Setelah perjalanan singkatnya ke Amerika, dimana Blanco mendapat banyak kontak kolektor baru, ia dan istrinya tidak pernah meninggalkan Bali lagi. Hidup di rumah asri dengan pemandangan indah bersama empat anak mereka, Tjempaka, Mario, Orchid dan Maha Devi, Bali menjadi inti dari Blanco. Ia amat mengagumi pulau ini dan terperangkap oleh kharismanya. Blanco hidup dan berkarya di rumah atas bukitnya hingga ia meninggal pada tahun 1999, menuangkan berbagai lukisan fantasi wanita cantik pada kanvas. Dikelilingi kebun bersemi, sawah dan pohon beringin merindangi pura keluarganya, Antonia blanco menciptakan realita baru untuk dirinya. Tuangan artistiknya didalam lingkungannya yang terisolir tersebut membuahkan karya-karya yang sangat dicari dan dihargai oleh pecinta seni, kolektor, dan promotor. Dalam waktu beberapa tahun, Blanco menjadi artis asing paling terkenal yang bertempat tinggal di Bali. Ia dikenal tidak hanya di Indonesia tapi juga seluruh dunia, mendapat berbagai pernghargaan, dan lukisannya dibeli dengan harga tinggi pada lelang-lelang internasional. Mendekati akhir hidupnya, Blanco mulai mendirikan museum lukisan di studio seninya di Campuan. Kematiannya dramatis tidak lama sebelum pembukaan museumnya. Upacara kremasi ngaben yang cukup besar menandai kepergian beliau. Anak Blanco, Mario, memenuhi mimpi Blanco membuka museum dan melajutkan darah pelukisnya melanjutkan jejak kaki Sang Maestro. Museum Renaissance Blanco kini dibuka untuk umum, menampilkan karya-karya Sang Maestro dan Mario.  
Apa kabar semeton? Sudah sempat liburan kemana saja, pergi bekerja, atau pulang ke kampung halaman untuk menyambut hari raya? Bagaimana perjalanannya, apakah aman semulus salju atau membuat kepala pusing? Beberapa yang mengatakan bahwa jalan di Bali sudah baik dan aman digunakan, namun tidak sedikit pula yang mengatakan banyak jalan di Bali masih rusak dan tidak aman untuk dilewati. Denpasar sebagai ibukota Bali saja masih sering ditemukan beberapa jalan yang rusak dan sulit untuk dilewati. Lantas bagaimana dengan jalan yang terletak di desa-desa yang ada di beberapa kabupaten di Bali. Banyak beberapa wilayah di perdesaan yang jalannya ambruk, berlubang, bahkan tidak jarang yang jebol. Pemeliharaan dan perbaikan jalan memang sudah dilakukan namun harus lebih merata agar tidak cenderung melakukan perbaikan di beberapa jalan utama saja. Banyak daerah terpencil yang rusak dan sulit untuk dilewati hingga bertahun-tahun namun belum mendapatkan bala bantuan. Beberapa artikel dan media sosial sering mengabarkan kemacetan, kecelakaan, pengiriman barang yang terhambat, namun jarang diketahui salah faktor utama penyebabnya adalah kerusakan jalan. Jalan yang rusak cenderung akan membuat masyarakat tidak bisa melewatinya sehingga beberapa pekerjaan, pengiriman barang dan aktivitas perdagangan sekitar jalan tersebut akan terganggu yang tentu akan mengganggu ekonomi dari masyarakat. Dengan pemilu 2024 ini tentu saja menjadi harapan masyarakat agar terjadi revitalisasi pemerintah yang baru dalam perbaikan dan pengembangan masyarakat yang dapat dimulai dari masalah utama yaitu jalan. Pemerintah harus dapat mengalokasikan dana yang ada sebaik-baiknya untuk pembangunan jalan yang merata di seluruh Bali, karena walaupun memiliki dana yang sangat banyak namun tidak dialokasikan dengan benar hasilnya akan percuma dan tidak akan terjadi pemerataan yang total. Jalan menjadi sisi penting dalam setiap kegiatan yang kita lakukan, terlebih lagi Bali sebagai destinasi wisata yang dikunjungi banyak wisatawan luar. Oleh karena itu, mari lakukan perbaikan awal dengan memulai perbaikan jalan.  
Arie Smit (Adianus Wilhelmus Smit) lahir di Zaandam, Belanda pada tanggal 15 April 1916. Meninggal 23 Maret 2016 di Ubud. Dia pertama kali belajar melukis pada sebuah akademi seni di Amsterdam. Tahun 1938 di datang ke Batavia (Jakarta) sebagai seorang tentara dan bekerja pada landscape divisi. Dia memperoleh kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1951. Tahun 1956 dia berkunjung ke Bali untuk pertama kalinya, dan akhirnya menetap di Bali. Dia mendirikan aliran Young artist di Penestanan, Ubud , Bali sekitar tahun 1960 an. Sampai umurnya 80 tahun yaitu tahun 1996, dia telah pindah tempat lebih dari 30 kali dari satu tempat ke tempat yang lain di Bali. Arie Smit merupakan sosok seniman yang selalu mencari ketenangan dan kejernihan dalam hidup, dan ia menyukai tempat yang sunyi. Sikap personal ini sangat bertolak belakang dengan karya-karyanya yang hampir semuanya kaya dengan warna yang terang dan cerah. Tema dari karya-karyanya mengikuti alur jalan. Orang Bali menyebutnya "dari kaja ke Kelod" (dari Gunung menuju laut). Atas jasa-jasanya bagi perkembangan seni di Bali, Arie Smit menerima penghargaan Dharma kusuma dari Gubernur Propinsi Bali pada tahun 1992.  +
Arif Bagus Prasetyo dilahirkan pada 30 September 1971, tinggal di Denpasar sejak 1997. Dikenal sebagai penyair, kritikus sastra, kurator seni rupa, dan penerjemah buku. Alumnus International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Menerima sejumlah penghargaan bidang penulisan, antara lain: Hadiah Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Hadiah Kritik Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta, dan Anugerah Widya Pataka Pemerintah Provinsi Bali. Bukunya: Saksi Kata: 18 Esai Sastra (segera terbit), Memento: Poems (2015), Memento: Buku Puisi (2009), Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (2005), Stephan Spicher: Eternal Line on Paper (2005), Melampaui Rupa: Sebingkai Wajah Seni Lukis Indonesia Mutakhir (2001), Mangu Putra: Nature, Culture, Tension (2000), dan Mahasukka: Buku Puisi (2000).  +
Ida Bagus Arya Lawa Manuaba adalah penulis buku Alien Menurut Hindu (2018) yang menjadi buku fenomenal di sepanjang tahun 2018-2019. Novel pertamanya berjudul Putih Biru (2019), mengisahkan tentang petualangan remaja desa di Bali dan mendapatkan peringkat delapan besar novel pilihan dalam UNNES International Novel Writing Contest 2017 di Semarang. Novel keduanya berjudul Haricatra dengan tiga sekuel dan sedang dalam proses penerbitan. Selain buku nonfiksi dan novel, dia menulis banyak cerpen dan artikel. Salah satu cerpennya berjudul Barong Brutuk (2019) yang mengisahkan tentang mistikisme Desa Terunyan. Gus Arya, sapaan akrabnya, dikenal lewat tulisan-tulisannya. Orang yang mengenalnya selalu mengaitkannya dengan tulisan, imajinasi dan bahkan alien. Lahir di Denpasar, 24 Desember 1988, dia menyukai dunia tulis-menulis sejak kecil. Sewaktu kelas empat sekolah dasar, dia menulis cerita bersambung yang dibacakannya setiap hari kepada teman-temannya. Sepulang sekolah, dia menulis cerita horor dalam sebuah buku tulis lalu dibagikannya kepada kawan-kawannya di sekolah. Sewaktu SMP, dia beberapa kali menjuarai lomba menulis artikel dan cerpen. Semasa SMA, namanya selalu muncul di enam besar cerpen terbaik Sayembara cerpen tahunan Balai Bahasa Provinsi Bali. Di antara semua cerpen yang pernah ditulisnya, cerpen berjudul Orang-Orang Berbaju Hitam (2011) adalah yang paling berarti. Dengan cerpen itu dia menolong sahabatnya karena tidak bisa membayar uang sekolah selama satu tahun. Kini Gus Arya bertugas sebagai dosen di ITP Markandeya Bali dalam bidang prosa. Dia juga mengelola penerbitan dan layanan penulis mandiri, serta aktif dalam pelestarian bahasa dan sastra Bali di BASAbali Wiki. Hobinya jalan-jalan di desa yang sepi dan pergi ke museum.  +
BABAD ARYA DALEM BENCULUK TEGEHKORI Om Hyang Widhi semoga tiada halangan Tersebutlah pada masa silam seorang raja, Arya Dalem Bansuluk Tegehkori nama beliau, Suluk artinya kenceng. Beliau adalah putra Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan di Gelgel Klungkung. Beliau memerintah wilayah Badeng. Badeng artinya sama dengan Badung. Inilah kisah perjalanan hidup beliau. Ida Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan beristana di Puri Linggarsapura di Samprangan daerah Gianyar. Puri itu adalah bekas posko perjuangan Mahapatih Gajahmada menundukkan Prabu Bedahulu. Pada suatu hari saat Purnama Kapat, Ida Dalem Shriaji Kresna Kepakisan, bertempat di balairung kerajaan dihadap oleh para menteri dan patih kerajaan. Diantaranya yang terkemuka adalah Arya Kenceng putra Arya Damar yang dijadikan penguasa di Tabanan, Arya Sentong di Pacung, Arya Beleteng di Pinatih, Arya Kutawaringin di Kapal, Arya Binculu di Tangkas, Arya Pakisan di Abiansemal, Arya Belog di Kaba-kaba, dan tiga orang prajurit bernama Tan Kober, Tan Kawur dan Tan Mundur. Ida Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan dinobatkan menjadi Raja Bali tahun 1352 M oleh Ratu Majapahit Tribhuana Tunggadewi. Beliau memerintah hingga tahun 1380 M. Ketika itu Arya Kenceng memakai bunga cempaka ijo. Amatlah terperanjat hati Ida Dalem saat mengetahui Arya Kenceng bersunting bunga cempaka ijo. Seketika itu bangkit amarah beliau, akibat fitnah yang dilancarkan oleh Arya Pengalasan Jelantik. Dikatakan bahwa Arya Kenceng memasang guna-guna terhadap raja, agar supaya raja sayang dan tunduk kepadanya. Seketika itu juga Shri Raja menghukum Patih Arya Kenceng dengan kewajiban setiap hari membersihkan balairung. Geger di Balairung Puri Dalem Samprangan itu diperkirakan terjadi tahun 1360. Mulai saat itu pula Arya Kenceng merasakan kesedihan yang amat mendalam dan sering menangis jika teringat akan putra kesayangannya bernama Ngurah Tabanan. Adapun putra itu diberi nama Ngurah Tabanan, lantaran Arya Kenceng ikut menundukkan (naban) negeri Bali ini setelah berperang mengalahkan Si Pasung Giri patih Raja Bedahulu. Shri Prabu Astasura Ratna Bumi Banten adalah nama Raja Bedahulu. Beliau juga disebut Dalem Bedahulu atau Shri Tapolung. Setelah cukup lama tibalah saatnya Arya Kenceng menerima kemurahan Tuhan. Tersebutlah Ida Dalem mempunyai seorang putra laki-laki baru bisa merangkak berumur sebelas bulan. Putra itu cepat sekali merangkak. Pengemban-nya bernama Ni Dasa Dasih. Putra Dalem juga semakin akrab dengan Arya Kenceng karena kerap kali diembannya. Hingga pada suatu ketika muncul niat sira Arya untuk membuat daya upaya agar dirinya bebas dari hukuman. Suatu saat ketika Ida Dalem sedang duduk bersidang dihadap oleh para patih, tiba-tiba putra tersebut dilepaskan dari arah belakang Raja. Merangkaklah dengan tangkasnya lantas menggapai bahu Ida Dalem. Kemudian dihampiri oleh Arya Kenceng seraya mengangkat putra itu lebih tinggi dari punggung Ida Dalem sembari mohon maaf dari belakang Raja. Begitu Shri Raja menoleh, dilihatnya tinggian yang dibelakang. Marah besar Ida Dalem, lantas bersabda : “Pintar sekali kamu membuat siasat, Nah sekarang oleh karena anakku telah melakukan suatu kesalahan menggapai bahuku, sebagaimana tersebut dalam rontal Raja Nitisaloka Sang Mabiksu, ketika raja sudah berpakaian kebesaran selaku pemimpin negeri, tiada boleh si anak menyentuh bahu raja, anak terkena kualat namanya itu. Nah, adik Arya Kenceng ambillah anakku ini, jadikanlah anak angkatmu, upacarakanlah dengan api unggun di atasnya diisi kepala kerbau, saudarakanlah ia dengan anakmu I Ngurah Tabanan. Sekarang aku beri nama padanya Arya Dalem Baansuluk Tegehkuri. Lagi pula segala Upacara Raja Putra boleh dia memakai”. Seketika itu tiada terkira senang hatinya sira Arya Kenceng mendapat pemberian putra yang tampan bagus rupanya serta amat pintar tak ada tandingannya. Lantas dengan penuh hormat mohon diri membawa putra Dalem untuk diajak pulang. dipersaudarakan dengan Ngurah Tabanan. Demikianlah tersebut dalam Rontal Prasasti Babad Dalem Tabanan Tegehkori. Arya Kenceng kemudian melaksanakan upacara sesuai amanat Ida Dalem, demikian disuratkan. Darah yang mengalir dalam diri Arya Dalem Bansuluk Tegehkori seturun-tumurun tetap darah Ida Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan, Kini lebih enam abad telah berlalu, seluruh keturunan genetis Beliau kembali ingat untuk senantiasa datang menghaturkan sembah bakti ke hadapan Ida Bhatara Kawitan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan di Pedharman Besakih dan Nunas Ica Kajang Kawitan di Puri Agung Klungkung ketika menggelar pitra yadnya. Sesudah cukup lama dipersaudarakan dengan Ngurah Tabanan, timbullah kesalah-pahaman diantara keduanya. Arya Tabanan memiliki istri, beliau cemburu dikira istrinya senang terhadap Arya Dalem Baansuluk. Merasa tidak enak hati, Arya Dalem lantas pergi menyingkirkan diri ke Gunung Batur melakukan pertapaan. Setelah beberapa lama bertapa di sana, didapatlah aranugerah dari Ida Batara di Gunung Batur berupa tempat kapur sirih. Kesaktian wadah kapur sirih tersebut jika Arya Dalem hendak memasukkan dirinya ke dalamnya, maka tubuh beliau bisa mengecil. Bilamana keluar dari selepa itu bisa kembali menjadi seperti sediakala. Demikianlah kesaktian wadah kapur sirih anugerah Ida Bhatara Hyang Tolangkir, lantas beginilah sabda Beliau kepada Arya Dalem Baansuluk: “Nah, inilah anugeruh-ku berupa selepa sakti, ke sanalah engkau ke Desa Tonjayu - Tanah Badeng. I Bendesa bersama saudara-saudaranya menghuni daerah itu, seperti I Pasek Bendesa, Pasek Kubayan, Dangka, Ngukuhin, Tangkas dan lagi pula mereka belum memiliki seorang raja. Kebetulan I Bendesa itu sedang punya kerja upacara di merajannya, ke sanalah engkau pergi. Sudah tentu engkau akan diangkat menjadi raja di Daerah Badeng atau Badung. Menjadilah seorang penguasa, selamat berbahagia “. Oleh karena sedemikian sabda Ida Batara Dewi Danu, lalu Arya Dalem Baansuluk berangkat menuju daerah Badeng atau Badung. Siapa pun yang hendak naik takhta menjadi pemimpin di Bali dan Nusantara, terlebih dahulu harus mendapat restu dari Ida Bhatara Dewi Danu Batur serta mendapat dukungan dari rakyat selaku pengemban taksu jagat. Bhatara Kawitan Arya Dalem Bunculuk Tegehkuri telah memahami hal itu. Namun mengapa mulai pada Dinasti IV mesti terjadi prahara?. Sesampainya di daerah Badung ternyata hari sudah malam, lantas beliau masuk ke sanggahnya I Bendesa di Tonja. Disana Beliau memusatkan daya bathin dan memuja agar bisa masuk ke dalam wadah kapur sirih yang telah Beliau letakkan di atas pintu gerbang. Terkabullah permohonan Beliau bisa memasuki wadah kapur sirih tersebut dengan sempurna. Keesokan harinya saat terbit matahari terlihatlah oleh I Bendesa ada selepa di atas pintu gerbangnya. Lantas diambil seraya dibuka tutupnya. Terlihatlah anak kecil di dalam wadah kapur sirih itu. Amat heran pikiran I Bendesa melihat kejadian yang aneh dan ajaib itu. Segera I Bendesa menyembah dan berkata : “Bhataraku yang mulia”. Baru habis berujar demikian, segeralah anak kecil yang ada dalam selepa itu keluar. Kembali dalam wujud aslinya seperti semula. Kelihatan bagus rupawan dan berwibawa. Semakin lama dipandang kian takjub perasaan I Bendesa, menyembah-nyembah dengan hidmat-nya kepada sira Arya, lantas I Bendesa bertanya siapa Beliau sebenarnya, Ida Dalem Baansuluk kemudian memperkenalkan diri. Beliau menjelaskan bahwa dirinya adalah putra Ida Dalem Kresna Kepakisan di Gelgel Swecapura. Beliau dipersaudarakan dengan Arya Tabanan di negara Tambangan (Tabanan). Diterangkan pula dengan jelas bagaimana riwayat yang Beliau alami dari awal hingga akhir. Amatlah pilu rasa hati I Bapa Bendesa mendengar kata-kata sira Arya. Baiklah, oleh karena demikian riwayatnya, maka I Bapa Bendesa membuatkan pesanggrahan. Anugerah Dewata yang Beliau terima adalah berupa Selepa, bukan dalam bentuk senjata. Anugerah itu mengandung makna yang amat luas dan mendalam. Semua keturunan Beliau hendaknya dengan cerdas memaknai anugerah itu. Simbolis bentuk selepa itu telah terukir di puncak salah satu bangunan utama di dalam Pura Dalem Benculuk. Seusai I Bendesa melaksanakan upacara piodalan, segera ia mengadakan perembugan dengan saudara-saudaranya, seperti Pasek Gaduh, Kebayan, Dangka, Ngukuhin, Tangkas, tentang perlunya membuatkan Beliau istana serta mepersiapkan penobatan Beliau menjadi raja sebagai penguasa di wilayah Badeng atau Badung, serta melaporkan ke hadapan Raja Bali Shriaji Kresna Kepakisan di Gelgel Swecapura. Raja di Gelgel pun amat menyetujui. Di usia balita Beliau terbuang dari keluarga. Di usia muda atas restu Ida Bhatara Ulun Danu Batur dan berkat persetujuan Raja Bali yang juga ayahda Beliau serta atas dukungan rakyat, Beliau naik tahta menjadi Raja Badung I. Agar supaya benar-benar Beliau menjadi seorang raja yang mulia di Negeri Badung, kembali I Bendesa mengadakan musyawarah akan mendirikan istana yang pantas untuk Beliau. Istana pun dibangun di hulu desa atau di arah Utara. Sesudahnya istana itu selesai dibangun, di sanalah Ida Arya Dalem Bansuluk bersemayam. Suluk mengandung makna bahwa sebagai putra Dalem kemudian pernah diangkat anak oleh Arya Kenceng. (suluk= kenceng) Berselang beberapa lamanya menjadi raja, didirikanlah dua buah tempat suci. Tempat memuja Bhatara Gunung Agung dibangun di sebelah timur istana. Tempat memuja Bhatara Dewi Danu Batur dibuat di sebelah barat istana bernama Pura Batursari. Sari berarti puncak, yaitu puncak gunung. Setelah berlalu beberapa lama Ida Arya Dalem pun melaksanakan perkawinan. Kemudian Beliau (Dinasti II) membangun sebuah istana lagi, juga masih di daerah Badung, berhubung semakin banyak penduduk bermukim di daerah Badung serta keadaan tanahnya yang subur. Setelah istana kedua terbangun, diberi nama Puri Satria, sebagai ciri bahwa beliau adalah keturunan Ksatria sehingga istananya itu diberi nama Puri Satria. Sedangkan istana Tegehkuri (Dinasti I) di Tonja diberi nama Puri Dalem Benculuk. Di puri yang baru selesai itu dibangun pula sepasang pintu gerbang istana yang amat tinggi, tak ada yang menyamai di seluruh Bali. Kerugiannya jika patah agak sulit memperbaikinya, kiranya demikian keinginan Beliau membikin gerbang amat tinggi di Puri Satria, agar sesuai dengan nama Beliau yang berpuri di Tegehkori. Baiklah. setelah sedemikian lamanya beristana di Satria, Beliau (Tegehkori VII) memiliki dua orang anak yaitu satu putri dan satu putra. Putri yang sulung diberi nama Ayu Genjot, yang ketika itu baru berusia 15 tahun, romannya sungguh cantik dan rupawan. Sedangkan yang bungsu Ngurah Raden berumur 13 tahun. Sangatlah sukacita dan bahagia Ida Dalem mengemban tahta di Negeri Badung. Kebijaksanaan raja di Puri Satria amat tekenal. Demikian keadaannya I Gusti Tegehkori. Dinasti Arya Tegehkori memerin-tah Badung sebanyak 5 generasi. Raja V adalah I Gusti Tegeh Tegal Kutha. Kini tersebutlah Arya Tabanan bertahta dan memerintah di Negeri Tambangan (Tabanan) memiliki putra mahkota bernama Ngurah Rangong. Oleh karena ayahnya yaitu Ngurah Tabanan terserang penyakit berat, lalu berpindah tinggal di pedusunan Kebon Tingguh. Niat si Ngurah Rangong tiada lain menunggu naik tahta menjadi Raja Tambangan. Cukup lama Arya Tabanan bermukim di Kebon Tingguh, diladeni oleh seorang perempuan bernama Luh Bendesa dari Desa Buahan. Dalam peladenan itu Luh Bendesa dijamah oleh Arya Tabanan dan kemudian menjadi hamil. Dari hubungan itu lantas Luh Bendesa menurunkan putra laki-laki diberi nama I Gusti Pucangan. Pucang ialah jambe, jambe ialah buah, karena ibunya berasal dari Desa Buahan. Masgul hati sang pelayan, karena putra mahkota sudah naik tahta di Tambangan. Suatu ketika mangkatlah Arya Tabanan, kematiannya meninggalkan kulit yang tipis mengering (kules), sehingga setelah mangkatnya beliau dikenal dengan sebutan Mur Makules. Setelah Arya Tabanan mangkat, Ngurah Rangong amat gelisah memikirkan adiknya yaitu I Pucangan, hendaknya janganlah ia menjadi raja di Tambangan. Ngurah Rangong berdaya upaya agar I Pucangan segera menemui kematiannya. Di luar istana Tambangan, ada pohon beringin yang sangat keramat. Raja Ngurah Rangong lantas menyuruh adiknya yaitu I Pucangan menebang ranting-ranting pohon itu. Namun amatlah herannya sang kakak, ternyata sang adik tetap selamat. Sejak itulah I Gusti Pucangan dinamai I Gusti Bagus Alit Notor Wandira. Semakin lama kian prihatin I Gusti Pucangan, karena selalu dicari-cari kesalahannya. Penderitaan bukan akhir dari segalanya. Bahkan jika cerdas, akan selalu ada hikmahnya. Kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional jika diasah dengan bijak bersamaan dengan kecerdasan berpikir akan menjadi modal yang amat berharga. Jika mau pasti bisa, dan langkah awal adalah penentu berhasil tidaknya langkah selanjutnya. Karena tidak tahan, ia lalu minggat dari Puri Tambangan menuju Panerajon. Dari Panerajon menuju Gunung Batur. Di tepi Danau Batur muncul Ida Bhatari Tolangkir yang bersabda demikian : “Hai Pucangan, apakah yang engkau cari kemari sendirian?”. I Gusti Pucangan menjawab : “Ya ampun Bhatari, hamba ini terlampau kesusahan. Hamba memiliki saudara tiri yang dijadikan raja oleh ayah hamba. Lagi pula hamba dimusuhi oleh kakak hamba I Gusti Rangong”. Ida Batari kembali bersabda : “Jika engkau bakti kepadaku, junjung-lah aku liwatkan air danau, bawalah aku ke Gunung Batur “. I Gusti Bagus Alit menjawab : “terbenamlah rasanya diri hamba”. Keputusannya, dijunjunglah Ida Bhatari dan dengan selamat berjalan melintasi danau sampai di Gunung Batur. Ida Bhatari bersabda : “Wahai Pucangan, sungguh-sungguh kamu bakti kepadaku, nah sekarang aku menganugerahkan sebuah cemeti dan sebuah tulup. Pergilah kamu ke Gelgel dan bunuhlah musuh Ida Dalem berupa gagak, karena sering merusak santapan Shri Raja. Pecut dan tulup inilah yang kamu pakai untuk membunuh si gagak yang jahat itu. Setelahnya berhasil, kelak engkau Pucangan akan mejadi raja di Tanah Badeng atau Badung”. Peristiwa ini terjadi ketika Kerajaan Bali yang berpusat di Klungkuug dipimpin oleh Dalem Anom Sagening (1580-1665) yang beristana di Puri Swecapura. Sedangkan Raja Badung ketika itu adalah I Gusti Tegehkori V (I Gst Tegeh Tegal Kutha). Restu dari Ida Bhatara dan persetujuan dari Raja Bali adalah modal utama yang didapat Kiyayi Pucangan (Merik) dalam menggapai keberhasilan meraih kekuasaan. Sekejap kemudian lenyaplah Ida Bhatari, lantas I Gusti Pucangan meneruskan perjalanannya, disertai seorang pengikut bernama I Tambiak dari Gunung Batur menuju Istana Swecapura di Gelgel. Tersebutlah Ida Dalem tengah berada di balairung dihadap oleh para patih. I Gusti Pucangan kemudian menghadap dan menyatakan sanggup membunuh si burung gagak yang sering merusak santapan raja. Ida Dalem terkejut, lantas bertanya : “Ini engkau anak dari mana dan siapa pula namamu?”. Pucangan menjawab : “Tuanku, hamba ini bernama I Pucangan dari Desa Buahan, anak dari Arya Tabanan Mur Makules. Hamba baru datang dari Gunung Batur”, Selanjutnya beliau menerangkan riwat dirinya dari awal hingga sekarang. Seketika itu juga teringatlah Ida Dalem tentang riwayat-riwayat yang telah lampau dan beliau merasa amat senang atas kedatangan orang yang akan menolong untuk membinasakan si burung gagak Keesokan harinya para patih sudah berkumpul menghadap Ida Dalem. Siang harinya datanglah si burung gagak yang akan merusak santapan Shri Raja. I Gusti Pucangan dengan cepat meluncurkan anak tulupnya, tepat mengenai pangkal sayap burung itu hingga patah. Setelah terkena dan jatuh, Shri Raja memerintahkan memukul dengan cemetinya, sehingga burung gagak itu menemui ajalnya seketika itu juga. Burung gagak kerap dijadikan simbol kegelapan, angkara murka dan kematian. Setelah itu, bukan main senang hati Shri Raja. “Nah, sekarang oleh karena demikian besar baktimu Pucangan kepadaku” lantas dihadiahkanlah seperangkat pakaian. Lanjut beliau bersabda : “apakah lagi yang engkau minta?”. Teringatlah I Pucangan dengan sabda Ida Bhatari Tolangkir tatkala bersua di Gunung Batur yang akan menganugerahkan wilayah di Badung. Itulah sebabnya I Gusti Pucangan meminta agar diberikan tempat di daerah Badung. Dengan senang hati Sri Raja mengabulkan, lalu bersabda : “Benar sekali permohonanmu itu Pucangan, lagi pula di situ di Tanah Badung pamanmu Arya Tegehkori di Istana Satria memerintah. Sebaiknya engkau ke sana, berangkatlah”. Sembari menghaturkan sembah I Pucangan mohon diri menuju daerah Badung tepatnya di rumah I Kaki Bendesa Lemintang di Desa Lemintang. Hambatan adalah tantangan, tantangan adalah ujian, ujian adalah pintu keberhasilan. Ketabahan (cerdas emosional) dan ketenangan (cerdas spiritual) keduanya itu disenyawakan dengan cerdas berfikir (intelegensi), hasilnya adalah keberhasilan. Selanjutnya I Kaki Bendesa Lemintang memberitahukan kepada raja tentang kedatangan I Gusti Pucangan. Amat senang hati I Gusti Tegehkori (Dinasti IV) menerima kedatangan kemenakannya itu, I Gusti Pucangan diberi hadiah rakyat sebanyak 250 orang untuk membangunkan istana di sebelah barat daya Puri Satria. Istana yang baru itu diberi nama Puri Jambe, oleh karena I Gusti Pucangan dimukimkan di sana. Arti kata pucangan sama dengan jambe yaitu buah, karena ibunya berasal dari Desa Buahan. Setelah sekian lamanya I Gusti Pucangan dijadikan Punggawa di bawah pemerintahan Tegehkori, maka putri raja yang bernama Ratu Ayu Genjot dipinang oleh (putra) I Gusti Pucangan. Sekarang tersebutlah Raja Mangui juga meminang Ratu Ayu Genjot putri Arya Dalem Tegehkori (IV) di Puri Satria (Tegal). Namun oleh karena merasa amat tidak enak hati terhadap Raja Mangui mengingat kemasyhuran Kerajaan Mangui, lantas kepada Raja Mengwi putrinya itu hendak dijodohkan. Pada waktu Raja Mengui membawa sarana upacara pinangan, lantas didengar oleh I Gusti Pucangan. Seketika itu juga ia menghimpun pasukan untuk menggempur Puri Satria. Pihak Arya Pangalasan Mangui berkehendak membela, namun pihak Puri Satria pilih meninggalkan istananya. Dengan amat tergesa-gesa penguasa di Tegehkori V menyingkir lantaran tiada tahan atas amukan prajurit I Gusti Pucangan (Merik). Hanya berlima pada malam yang gelap itu Arya Dalem Tegehkori V (I Gusti Tegeh Tegal Kutha) meloloskan diri bersama permaisuri dan kedua putranya serta seorang iparnya bernama si Munang. Kepergian beliau tiada membawa barang, hanya sekotak prasasti yang merupakan pusaka dari Puri Satria yang beliau usung. Dengan bijak Raja Badung memilih mengalah, tanpa harus terjadi pertumpahan darah. Dengan cerdas Beliau meninggalkan istana, melepas keagungan, membaur di tengah-tengah rakyat, menanggal-kan sebutan pregusti. Hanya satu Beliau bawa : Identitas!. Berikut adalah kisah Dinasti VII yang menyingkir ke Denbukit (Buleleng) hingga menjadi Punggawa Pengastulan I. Selama lima hari Beliau menyingkir di hutan pegunungan, putra beliau hampir mati karena tiada makan apa-apa. Tibalah rombongan keluarga Raja Badung itu di Desa Mambal dan langsung menuju rumah seorang pemimpin desa bernama I Pengkoh. Sangatlah hormatnya I Kelian Pengkoh sekeluarga menjamu tamu kehormatan itu. Selama dua puluh hari rombongan Raja menginap di rumah penghulu Desa Mambal. Suatu kebetulah saat itu tengah musim kemarau, hingga dalam tempo singkat persediaan padi di lumbung habis. Yang tersisa hanya berupa kotoran tikus bercampur kulit gabah, istri I Kelian Pengkoh hanya menemukan itu. I Kelian Pengkoh menyiapkan periuk di dapur untuk menanak nasi. Hingga air di periuk sudah mendidih, namun tidak sebiji beras pun didapat oleh istrinya. Itu lah yang menyebabkan bangkitnya kemarahan I Pengkoh, lantas menuangkan air panas itu dan bertengkar dengan istrinya. Kejadian yang sangat tidak mengenakkan itu disaksikan langsung oleh Raja, hingga membuat beliau merasa amat malu. Demikian besar kesusahan dirasakan oleh I Gusti Tegehkori (VII) sejak meninggalkan keagungan diPuri Satria. Setelah berembug bersama iparnya yaitu I Munang, berangkatlah mantan Raja bersama iparnya mencari beras ke gunung. Sementara itu istri dan kedua putranya ditinggal di rumah I Kelian Mambal. Sepeninggal Arya Tegehkori (VII) ke gunung, timbul pikiran jahat I Kelian Pengkoh. Kedua putra Beliau dimohon pada ibunya, dengan alasan keduanya diajak mencari beras. Ibunya mengijinkan, lantas mereka berangkat. Di tengah perjalanan kedua putra Dalem itu diperdaya hingga perjalanan mereka tembus ke wilayah Denbukit (kelak bernama Buleleng). Sesampai di Desa Kalianget kedua putra Beliau dijual oleh I Kelian Pengkoh kepada Ngurah Kalianget dengan uang sebanyak 150 kepeng belong ditambah dengan sejumlah kain. Sesudah 10 hari lamanya sang ayah bersama iparnya ke gunung, sekembalinya ditanyalah keberadan putra Beliau kepada istrinya. Diterangkan bahwa putra tuanku dibawa pergi ke gunung oleh I Kelian Mambal. Sudah 10 hari lamanya belum juga kembali. Begitu I Gusti Tegehkori VII (I Gst Made Tegeh) mendengar jawaban istrinya demikian, terkejutlah Beliau dan sadar akan kesengsaran yang tengah mereka alami. Sembari mencucurkan air mata, lalu bersabda kepada istrinya dan I Munang agar keduanya mencari putranya sampai di Karangasem. Beliau sendiri mencari ke Denbukit. Dari situ berpisahlah Beliau, ada yang ke Karangasem dan ada ke Denbukit. Setelah melintasi tanah Denbukit, tibalah Beliau di Dusun Ambengan. Dari dusun itu perjalanan menuju Desa Sangket. Dari sana Beliau menyamar untuk menyelidiki keberadaan putranya yang tiada kabar beritanya. Tersebut I Gusti Panji Sakti (I Gusti Panji Made) sebagai Raja Denbukit (yang kedua) beristana di Puri Sukasada. Ke sanalah Beliau menuju. Suatu kebetulan Raja Denbukit sedang menyaksikan pelatihan tari Gambuh. Tidak diceritakan bagaimana awal perkenalan kedua tokoh itu. Setelah sama mengenal, didaulatlah Beliau untuk ikut melatih Gambuh. Sulit mencari bandingan atas kehebatan I Gusti Tegehkori (VII) dalam hal berkesenian Gambuh. Siang malam bersukaria mementaskan Gambuh, itulah sebabnya istana raja diberi nama Puri Sukasada. Ki Barak lahir di Puri Gelgel tahun 1555 naik takhta menjadi Anglurah (Raja) Denbukit di usia 12 tahun mabiseka I Gusti Panji Sakti berpuri di Pamereman Panji. Pindah ke Puri Sukasada tahun 1584. Selama 10 tahun (1590-1600) sebanyak tiga kali melakukan ekspedisi menundukkan Kerajaan Blambangan. Setelah berlalu cukup lama dalam penyamaran yang cerdas, Arya Dalem Benculuk I Gusti Tegehkori (VII) amatlah disayang dan menjadi orang kepercayaan Raja Denbukit. Beliau dihadiahi pengikut sebanyak dua ratus orang, termasuk empat puluh orang diantaranya berusia remaja. Tidak ada yang menyamai kebijaksanaan raja Denbukit, hingga disegani oleh siapa saja, berwibawa sebagai keturunan satria raja dewa. Tidak ada yang berani menentang titah Beliau. Boleh dikatakan demikian sejahteranya kerajaan yang berpusat di Istana Sukasada. Sekarang diceritakan Ngurah Sindhuwedang (Kalianget) yang menyembunyikan putra putri Beliau. Ngurah Raden dan Ayu Genjot. Raja Kalianget memiliki rakyat 1.450 orang. Ngurah Kalianget yang berhati angkara dan sangat iri hati terhadap Raja Panji Sakti memutuskan akan memerangi kerajaan Sukasada. Namun lekasan didengar oleh Raja Panji Sakti, dan memerintahkan kepada Arya Dalem Bansuluk Tegehkuri (VII) supaya mendahului memukul Ngurah Kalianget, sebelum sempat ia mengumpulkan kekuatan-nya. Dengan secepatnya Sira Arya membawa perajurit 200 orang, berjalan menuju Desa Kalianget. Kali-anget (Sindhu-wedang) menurut sumber lain disebut Tebusalah dan penguasa di wailayah itu (Denbukit Barat) bernama Kiyayi Sasangka Adri. Penguasa di Denbukit Tengah Tengah bernama Kiyayi Pungakan Gendis, di Denbukit Timur bernama Kiyayi Alit Mandala. Tidak disebutkan selama perjalanan, sesampainya laskar Sukasada di Desa Kalianget, prajurit Ngurah Kalianget juga sudah bersiap-siap akan berangkat menyerang Sukasada. Laskar Arya Dalem Bansuluk sebanyak 200 pasukan langsung melakukan penyerangan. Serangan yang dilakukan secara tiba-tiba itu membikin rakyat Ngurah Kalianget kaget dan prajuritnya tidak bisa berkutik, bagaikan kedatangan ribuan musuh disertai makhluk halus, Prajurit Ngurah Kalianget kalah dan menyerah. Ngurah Kalianget berhasil ditawan, seluruh isi rumah bersama para penghuninya tua muda dirampas dan dibawa ke Puri Sukasada. Atas perintah raja, Ngurah Kalianget dihukum mati, tiada lain yang melaksanakan perintah itu adalah Arya Dalem Banculuk Tegehkuri (VII). Kesetiaan terhadap Raja Panji Sakti dalam ekspedisi menunduk-kan Blambangan adalah bukti persaudaraan satu genetis (trah tunggal) Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. Kekalahan dan kematian yang dialami oleh Ngurah Kalianget serta dirampasnya seluruh harta bendanya, baik itu berupa emas permata beserta seluruh orang-orangnya, antara lain para pelayan, pengikut tua muda lain perempuan besar kecil sampai bayi yang masih menyusui dijadikan tawanan di Puri Sukasada. Semua tawanan bercampur baur termasuk kedua putra Beliau yang sempat dijual dan disembunyikan di Kalianget. Hingga berakhirnya peristiwa penyerangan ke Kalianget itu pun Beliau tidak mengetahui keberadaan kedua putra dan putrinya. Tibalah saatnya pada suatu malam, ketika itu sudah ramai orang berkumpul di Puri Sukasada untuk menyaksikan pementasan Gambuh. Tatkala baru berlangsung sebanyak tiga tarian, tiba-tiba putra Beliau yang tengah berada di arena pertunjukan menangis sedih menyayat hati sembari melontarkan kata-kata memilukan. memanggil-manggil ayah dan ibunya : “Wahai Satria Dalem Bansuluk Tegehkori, lihatlah hamba, sudah sedemikian lamanya hingga kini belum juga kami bertemu ayah dan ibu, moga-moga Ida Sang Hyang Widhi mempertemukan selekasnya”. Oleh karena ratapan anak itu cukup menarik perhatian, didengarlah oleh Beliau dan langsung mendekati kedua anak itu. Benarlah, yang tengah menangis itu ternyata putra Beliau yaitu Ayu Genjot dan Ngurah Raden. Tersebutlah istri dan ipar Beliau yang telah cukup lama berkelana mencari putra putrinya di daerah Karangasem, kemudian mendengar kabar tentang Arya Dalem Bansuluk Tegehkuri (VII) sudah berkumpul dengan putra putri Beliau di tempat pegungsiannya di Puri Sukasada. Dengan bergegas mereka datang ke Denbukit dan menuju Istana Sukasada dan di situ mereka bertemu lain berkumpul, amatlah senang hati Beliau. Sesudah semuanya berkumpul, terbit keinginan mulia Arya Dalem hendak mengembalikan keberadaan putranya ke Kerajaan Badung. Ingat akan kelak di kemudian hari ada keturunan Beliau yang tetap melanjutkan kehidupan secara turun temurun di Negeri Badung. Putra Beliau yaitu Ngurah Raden bersama pamannya I Munang diperintahkan agar kembali ke Badung. Orang yang WasKiTa (Waspada Kinasih Tapa) tidak mengenal dendam. Sesampainya di Badung, berhubung istana di Satria sudah diduduki oleh I Gusti Pucangan alias Jambe Pule yang kemudian naik tahta menjadi Raja Badung Dinasti I (mabiseka Prabhu Bendana), menghadaplah Ngurah Raden ke Puri, menyatakan diri disuruh kembali oleh sang ayah Arya Dalem Bansuluk Tegehkori (VII). Oleh karena merasa diri bertemu kembali dengan saudara sepupu, maka dengan senang hati I Gusti Pucangan menghadiahkan rakyat sebanyak 200 orang dan sawah 40 petak kepada Ngurah Raden. Atas perintah raja, dibuatlah istana di sebelah barat sungai pada sebidang tanah hutan. Setelah selesai istana itu diberi nama Jro Kuta, untuk mengingatkan sebagai putra Satria Tegehkuri yang berasal-mula dari Bansuluk Tegehkuri. Itulah sebabnya dari sejak dulu tidak ada yang berani melupakan bersembah-bakti ke Bansuluk. Kendati pun sudah berada di Satria, oleh karena dari sana (Bansuluk) dimulainya keberadaan leluhur yang mulia, janganlah sampai lupa wahai seluruh keturunanku, semua yang ingat (datang bersembah-bakti) akan menemukan kebahagiaannya. Tersebutlah I Gusti Jambe Pule (Pucangan) menjadi raja di Negara Badung, berputra 2 orang semuanya laki-laki. Yang lebih tua diberi tempat tinggal di timur sungai serta diberikan senjata pusaka tulup. Kelak kemudian hari istana itu di disebut Puri Denpasar (karena berada di utara pasar). Sedangkan adiknya dibuat kan tempat tinggal di barat sungai serta diberi senjata pusaka pecut, karenanya istana itu kelak disebut Puri Pamecutan. Setelah cukup lama I Gusti Pucangan memerintah di Kerajaan Badung wafatlah Beliau, kemudian digantikan oleh kedua orang putranya yang sama-sama bersaing ingin menjadi raja menggantikan ayah mereka menjadi raja di Negara Badung. I Gusti Pucangan adalah generasi ke enam Arya Kenceng. Puri Jambe Denpasar & Puri Pemecutan adalah generasi ke tujuhnya yang mewarisi dua senjata anugerah Dewata, tulup dan pecut (cemeti). Kebesaran puri ini berakhir ketika perang Puputan Badung melawan agresi Belanda dengan gugurnya Raja Tjokorda Made Agung (Tjokorda Mantuk Ring Rana). Tidak diceritakan bagaimana riwayatnya selama lima tahun berselang, sekarang tersebutlah ada seorang warga puri pernama Agung Rai yang berdiam di bagian selatan puri, melarikan diri ke Negara Sasak (Lombok). Sekembalinya dari Sasak ke Badung, ia meminta tolong kepada Brahmana di Sanur, supaya Brahmana itu minta bantuan ke Gianyar guna menyerang istana di Satria. Entah bagaimana ceritanya, setelah berhasil melakukan penyerangan, di bawah pohon cempaka di Puri Jro Kuta ditemukan korban tewas. Semua orang, anjing dan ayam yang ada di istana Satria semuanya terbunuh. Begitu pula setelah Raja Badung di Satria mengalami kekalahan, pintu gerbang yang tinggi itu dirobohkan dan puncaknya dilenyapkan orang. Sehabis peperangan itu Desa Batubulan diambil oleh Raja Gianyar sebagai hadiahnya, dan semenjak itu menjadi awal permusuhan antara Raja Badung dan Raja Gianyar. Jika perang dijadikau cara uutuk mencapai tujuan, maka peradaban manusia akan terus bernoda darah dendam nafsu angkara murka. Cukup lama Arya Dalem Bansuluk Tegehkuri (VII) tinggal di sekitar Istana Sukasada Denbukit. Beliau sangat giat membantu raja memakmurkan negeri, sehingga amat dikasihi oleh raja I Gusti Panji Sakti. Putri Beliau Ayu Genjot juga jadi penari dan kemudian diperistri oleh seorang bangsawan dari Desa Patandakan. Tersebut pula sekarang I Gusti Agung Gede Mangui berkenginan ke Denbukit untuk mengunjungi Raja Panji Sakti, berhubung Beliau adalah merupakan anak menantu dari Raja Mangui. Mengingat Raja Mangui telah amat tersohor kepandaian dan kesaktianya, timbul maksud I Gusti Panji Sakti (II) untuk mencoba apa benar sebagaimana kabar tersebut. Tiada lain yang ditunjuk untuk membuktikan kesaktian Beliau itu adalah Arya Dalem Bansuluk. Dengan kawalan sebanyak 40 orang prajurit, bergeraklah Beliau bersama pasukan yang kesemuanya pemberani dan kuat-kuat, menghadang di bawah pohon kepuh di pekuburan Banyuning. Raja Mangui (Mengwi) saat itu adalah I Gusti Made Agung. Beliau juga dinamai I Gusti Agung Gede Mangui atau Dalem Mengwi. Beliau amat terkenal kebijaksanaan, kesaktian dan kecerdikannya mengalahkan Ki Balian Batur. Tibalah kemudian saat yang ditunggu-tunggunya, Raja Mengwi I Gusti Agung Gede datang, Beliau diusung dan diiring 200 orang rakyatnya. Ketika telah dekat lantas Raja Mangui yang tengah diusung dengan tandu itu dihadang dan ditombak bertubu-tubi oleh Arya Dalem Bansuluk. Namun sedikit-pun tiada terluka karena demikian kebalnya tubuh Beliau. Bersabdalah Raja Mengwi kepada para pengiringnya : “turunkanlah aku wahai prajurit”. Lantas turunlah Beliau dari tandu dan langsung mengambil sikap meditasi. Sekejap kemudian berubahlah wujud Beliau, beralih rupa menyerupai Bhuta Sungsang, bermata enam, bertangan enam, berkaki enam dan berkepala enam. Sepertinya tidak ada seorang pun yang akan mampu menandingi kesaktian Beliau di jagat ini. Di sana pasukan yang dibawa Arya Dalem merasakan ketakutan dan semuanya lari tunggang langgang. Sedangkan Arya Dalem sendiri mundur dan menyembunyikan diri cukup jauh ke arah barat di hutan bukit Pedawa. Untuk mengelabuhi kejaran pasukan Mangui dan Sukasada, lantas Beliau bersembunyi di bawah pohon jawa (jawawut). Ketika dalam persembunyian di bawah pohon jawa yang dihinggapi burung perkutut itulah Arya Dalem berkaul kepada pohon jawa dan kepada burung titiran. Bilamana tiada diketahui oleh para pengejarnya, beliau sanggup supaya saturun-temurun tiada makan biji jawawut dan daging perkutut. Kembali pada I Gusti Agung Gede Mengwi, percobaan pembunuhan yang baru saja Beliau alami tidak menyurutkan langkahnya menuju Istana Sukasada. Setibanya di Puri Sukasada dengan tertawa terbahak-bahak Beliau menerima sambutan hangat Raja Denbukit. I Gusti Panji Sakti (II) lantas berujar mohon dimaafkan. I Gusti Agung Gede Mangui bersabda : “Baiklah anakda, tidak perlu hal itu diperpanjang karena Bapa sudah tahu bahwa anakda hanya ingin mencoba Bapa. Sekarang Bapa hanya minta agar anakda memerintahkan untuk mencari sampai dapat orang yang anakda suruh menyerung Bapak. Bapak amat heran atas keberanian orang itu dan pula kesetiaannya terhadap anakda amatlah menakjubkan. Belum pernah Bapak bertemu dengan orang seperti itu, tentu dia itu adalah seorang keturunan kesatria yang mahautama”. Lantas I Gusti Panji Sakti (II) menitahkan 20 orang pilihannya mencahari Arya Dalem. Namun walau telah berhari-hari ditelusuri jejak Beliau tetap tidak jua dapat dijumpai. Konon pengejaran telah dilakukan hingga kawasan hutan dan kebun jawawut tempat Arya Dalem bersembunyi. Mereka juga paham jika ada orang di sekitar pohon jawawut, niscaya tidak seekor burung kutut pun yang sudi hinggap dan bersuara di sana. Kembalilah mereka dengan tangan hampa dan melaporkan kepada sang junjungan. Hingga sampai 7 hari lamanya Beliau berdiam diri di sana. Dengan tubuh yang lesu, kurus kering dan amat kotor, lantas Beliau berjalan pelan meninggalkan ladang jawawut itu menuju ke arah barat, mengungsi di Desa Patemon. Keadaan ketika sampai di desa itu menunjukkan hari sudah beranjak petang. Beliau menuju rumah dagang nasi, istri Dalang Patemon. Amatlah kasihan mereka melihat kondisi Beliau yang amat letih dan kurus, lantas Beliau diajak ke rumah mereka dan disuguhi makanan. Rasa simpati keluarga dalang terhadap Arya Dalem, adalah lantaran Beliau telah menceritakan dirinya tengah dikejar-kejar prajurit kerajaan. Keluarga dalang sibuk membuatkan lubang sumur untuk tempat Beliau berlindung. Saban siang Beliau menyembunyikan diri di lubang perlindungan yang ditutup dengan gedek. Jika malam tiba, Beliau dibawa keluar dari tempat perlindungan. Sudah selama 15 hari lamanya Beliau menyingkir di rumah keluarga dalang, amatlah tidak enaknya hati Beliau lama tinggal di sana. Beliau mohon diri kepada I Dalang dan lantas menyingkir di Desa Bunbunan. Di desa itu tiada kurang pula Beliau meperoleh pengikut yang bersimpati dan ikut menyembunyikan. Selama sekitar sebulan lamanya di Desa Bunbunan, bertambah gelisahlah pikiran Arya Dalem. Di kala itulah timbul keinginan Beliau untuk mengumpulkan sejumlah pengikut untuk diajak menghadap Raja Panji Sakti (II) di Puri Sukasada beserta Raja Mangui I Gusti Agung Gede, berhubung Beliau masih berada di Denbukit. Setelah diutarakan maksud dan tujuannya, maka ada sebanyak 10 orang pengikut yang benar-benar diyakini keberanian, keikhlasan dan kesanggupannya mengantar Arya Dalem Bansuluk Tegehkuri. Mereka telah bertekad bulat, hidup atau pun mati akan tetap setia mengikuti. Oleh karena sudah mantap persiapannya, maka serempaklah mereka berganti pakaian dengan busana serba putih. Ke sepuluh orang yang serba memutih itu siap mengiringkan Arya Dalem Bansuluk Tegehkori VII berjalan menuju Istana Sukasada. Maksudnya tiada lain adalah untuk menyerahkan diri dengan ikhlas kepada raja dan bersedia dengan ikhlas menerima hukuman, termasuk hukuman mati. Tidak diceritakan bagaimana perjalanan cukup jauh dari Desa Bubunan (Bangsingkayu/Bunbunan) menuju istana Raja Denbukit. Sesampainya di Puri Sukasada bertepatan saat kedua raja itu sedang duduk bersukaria di istana dihadap oleh para abdi kerajaan. Terkejutlah beliau melihat kedatangan orang-orang yang baru datang dengan berbusana serba putih. Warna putih adalah suatu ciri atau pertanda bahwa mereka akan rela mati jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Maka Arya Dalem beserta kesepuluh pengikutnya menghaturkan pangastungkara seraya memohon ampun ke hadapan kedua raja itu jika dinilai telah melakukan suatu kesalahan. Raja Mengwi lalu bersabda : “Wahai Arya, menurut pendapatku, perbuatanmu itu terhadapku sama sekali tiada kesalahannya. Aku berpikir, Arya hanya melaksanakan dharma kesetiaanmu terhadap putraku ini Panji Sakti (II), yaitu melaksanakan perintah untuk menyerang. Nah anakda Panji Sakti (II), mulai saat ini janganlah Sekali-kali anakda melupakan kesetiaan dan ketulusan pengorbanan yang telah diberikan oleh Arya untuk selama-lamanya”. Seusai bersabda demikian I Gusti Agung Gede Mengwi memanggil seorang hamba sahajanya yang masih muda, dititah mengambil sebilah keris dan sebilah tombak di tempat peraduan beliau. Baru sampai disitu sabda Raja I Gusti Made Agung Mangui, maka seluruh pengikut Beliau sebanyak 10 orang itu seketika mengalami kegelisahan dan ketakutan yang amat sangat. Tentu mereka mengira bahwa kinilah saatnya bahaya itu benar-benar mengancam jiwa mereka. Ternyata dugaan mereka akan terjadinya pembunuhan atas diri mereka meleset. Dalam Babad Mengwi nama Raja Mengwi disebut I Gusti Made Agung, Beliau pernah mengalahkan Ki Balian Batur yang sakti mandraguna. Hamba sahaja itu menyerahkan sebilah keris dan sebilah tombak, lantas diterima oleh Raja Mengwi sambil bersabda demikian : “Wahai Arya Dalem, inilah hadiahku berupa sebilah keris dan sebilah tombak. Keris ini bernama Carita Belebang, khasiatnya untuk menjaga keselamatan dan tak berani musuh melihatnya. Tombak ini namanya Lelemon, khasiatnya besar kewibawaan. Inilah sebagai buktinya agar mulai dari sekarang sampai ke turun temurun, dari hidup sampai mati janganlah engkau melupakan anakda Panji Sakti, dan pula anakda Panji Sakti (II) jangan sekali-kali melupakan Sira Arya selama-lamanyu sampai turun temurun memasang candi pemujaan agar tetap sama ingat, barang siapa yang lupa dengan amanatku ini supaya menemukan sengsara susah hati, tiada menemukan sesuatu yang diperlukan”. Demikian lagi sabda Raja Mengwi: “Dan sekarang wahai Arya tanah mana yang diminta”. Mendengar sabda Raja Mangui yang amat menyenangkan hati Arya Dalem Bansuluk, lantas Beliau berkata : “Jika sekiranya diperkenankan, Desa Bubunan yang hamba mohon, oleh karena mereka ini amat setia kepada hamba sewaktu hamba menemukan kesusahan”. Demikianlah, maka Desa Bubunan, Sulanyah, Tanguwisia dihadiahkan kepada Arya Dalem Bensuluk Tegehkori VII. Selain itu raja menghadiahkan pula seorang dara bangsawan dari Desa Padangbulia untuk menjadi istri Arya Dalem, oleh karena istri yang dari Badung sudah beranjak tua. Arya diperkenankan kembali bersama pengikutnya ke Desa Bubunan. Selama sekitar 3 tahun beliau bertempat tinggal di Desa Bunbunan, oleh karena tanah di situ kurang rata. dari sana Beliau berpindah tempat ke Desa Muntis (Pengastulan). Di Pengastulan I Gusti Tegehkori (VII) menjadi Punggawa. Tepat di sebelah barat jeroannya Beliau membangun pura pemujaan leluhur yang diberi nama Pura Badung sebagai peringatan bahwa Beliau adalah Raja Badung. Di pura itu dibikin pelinggih Dalem Duwure untuk pemujaan Raja Panji Sakti.  
Aryadimas Ngurah Hendratno lahir di Denpasar, 13 September 1975. Menulis puisi sejak remaja, pernah bergabung dalam Teater Angin (SMAN 1 Denpasar), dan bersentuhan dengan Sanggar Minum Kopi. Sejumlah puisinya dimuat di Bali Post dan buku antologi Ensiklopedi Pejalan Sunyi (2015), Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (2016). Dia adalah “lurah” Jatijagat Kampung Puisi, mengajar sastra dan teater di Teater Tahkta SMK Saraswati 1 Denpasar, serta mengelola Rumah Belajar Seni di Denpasar.  +
"Aturan Lalu Lintas wantah Angin Lalu" Anak muda kini juga suka berkendara sembarangan, padahal belum memiliki SIM. Hal tersebut tentu saja berbahaya untuk diri sendiri dan orang lain. Sebagai anak muda, Saya yakin Kalian semua pasti ingin tahu rasanya mengendarai motor. Memang berkendara pasti terasa menyenangkan, namun ada peraturan utama yang perlu ditaati jika ingin berkendara, yaitu memiliki SIM. Jika kalian tidak memiliki SIM, maka sebaiknya tahan diri dan jangan berkendara dulu, karena berkendara tanpa SIM dapat disebut dengan berkendara sembarangan yang hanya menyebabkan kecelakaan. Tentu saja kalian tidak ingin mengalami kecelakaan di usia muda, apalagi adanya berita seperti sekarang yaitu melakukan speeding dijalan raya yang dimana itu sangat" merugikan orang lain Dan untuk pemimpin kedepannya untuk lebih memperketat peraturan yang ada agar tidak memakan korban yang dimana korbannya masi dibilang remaja dan merugikan pengendara lainnya yang sudah mematuhi peraturan. Jadi, ayooo kita patuhi peraturan lalu lintas dan jangan melakukan perbuatan nakal dengan cara berkendara sembarangan tanpa SIM atau speeding sembarangan dijalan raya dan sangat merugikan orang lain, sayangi lah nyawa kaliann  +
Augusta de Wit (25 November 1864 – 9 Februari 1939) adalah seorang penulis Belanda, lahir di Hindia Belanda dan terkenal karena menulis tentang Jawa dan Bali.  +
Ayu Diah Cempaka lahir di Gianyar, 18 Juli 1993. Ia lulusan Sastra Perancis, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Selain menulis sastra (puisi), ia adalah penulis & programmer festival film. Menjadi programmer di Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta (2015-2019) dan Balinale – Bali Internasional Film Festival (2022). Sempat menjadi Asian short film selection committee (2022) dan juri komunitas (2017) pada Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF), tim juri pada Festival Film Indonesia (FFI) 2018, serta Pengajar tamu ‘Estetika Film’ Jurusan Film & Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar 2021. Ulasan filmnya dimuat di beberapa media seperti Cinema Poetica, Film Criticism Collective – Yamagata Internasional Film Festival, Goethe Institut Indonesien, Jurnal Ruang, Bali Post, dan Balebengong. Pada 2016 – sekarang menjadi Cultural & communication officer di Alliance Francaise Bali.  +
Co-Founder dan Kepala Koki, Pengalaman Rasa "Sebagai penduduk asli Bali Utara, pelatihan memasak Ayu dimulai sejak kecil di dapur keluarganya - belajar seni memasak tradisional sambil mengasah indranya dalam menyempurnakan rasa, tekstur, dan penampilan berbagai hidangan otentik. Menggabungkan resep keluarga yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan produk lokal berkualitas tinggi pilihan, Ayu bersemangat untuk melestarikan masakan Bali Utara dan memperkenalkannya kepada dunia." diterjemahkan dari https://www.pengalamanrasa.com/  +
Ayu Putu Feny Abrina Putri, lahir di Penestanan Kelod, Ubud, 5 Oktober 1992. Dia menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain “Ekspresi Indonesiaku” di Museum Nasional Indonesia (2014), “Brutal Art Work“ di Studio Rudolf Bonnet Tjampuhan Ubud (2016), Merdeka dalam Ekspresi di Taman Budaya Bali (2019).  +
Ayu Weda bernama lengkap I Gusti Ayu Made Wedayanti. Lahir di Singaraja, 1 September 1963. Dia adalah alumnus Universitas Airlangga, Surabaya. Pada era 1980-an, dia dikenal sebagai penyanyi lady rocker. Prestasinya di bidang tarik suara dan panggung, antara lain, tahun 1981 dia menyabet gelar Juara III dalam pemilihan Bintang Radio dan Televisi (BRTV) tingkat nasional. Dia sekaligus menggondol penghargaan sebagai Penampil Terbaik dalam kategori grup bersama dua adiknya dalam Trio Ayu Sisters, yakni I Gusti Ayu Partiwi dan I Gusti Ayu Laksmi. Tahun itu pula, Ayu Weda mewakili Bali menjadi finalis dalam ajang pemilihan Puteri Remaja Indonesia yang diselenggarakan oleh Majalah Gadis. Tahun 1982, dia berhasil merilis album musik ‘Rindu Teman Sehati’ garapan musisi nasional Adriadie. Sementara pada 1987, merilis album ‘Memetik Bintang’ garapan musisi Deddy Dores. Selain menyanyi, dia juga suka menulis. Buku kumpulan cerpennya ‘Badriyah’ diterbitkan oleh Penerbit Gambang pada tahun 2016. Buku tersebut banyak berkisah tentang kehidupan perempuan dalam berbagai suka dan dukanya.  +
B
“OM SWASTYASTU” “OM AWIGHNAM ASTU NAMO SIDHAM” “OM ANO BADRAH KRATAWO YANTU WISWATAH” Terimakasih saya sampaikan kepada pembawa acara, atas waktu yang telah diberikan kepada saya, yang terhormat bapak/ibu dewan juri dan calon anggota DPD Provinsi Bali, demikian juga teman-teman peserta yang saya banggakan. Sebelum itu, marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat beliaulah, kami dapat berkumpul disini dengan rasa bahagia dalam acara Wikithon Partisipasi Publik Bali berorasi, yang mengusung tema, Pemilu 2024: apa masalah yang paling mendesak untuk ditangani oleh para calon pemimpin Bali? Semoga acara seperti ini bisa sering dilaksankan untuk membangun Bali yang bermartabat. Hadirin yang berbahagia, seperti yang kita ketahui bahwasanya Bali terkenal dengan sebutan pulau seribu pura dengan lingkungannya yang sangat indah, yang sering dituju oleh wisatawan mancanegara, karena Bali merupakan salah satu fokus pariwisata yang ada di Indonesia. Hal inilah yang mendasari banyak wisatawan asing datang ke Bali. Walaupun Bali sebagai tujuan destinasi wisata hal ini bukan menjadi topik pembicaraan utama, tetapi bagaimana masalah-masalah yang berdampak signifikan di Bali. Seperti yang kita ketahui bahwasanya yang dibilang zaman kehancuran ini, jika berbicara terkait dengan masalah-masalah yang ada di Bali yang akan membuat Bali menjadi runtuh. Sayangnya masalah yang ada di Bali belum mendapat penanganan yang memang berguna bagi pulau Bali. Hadirin yang berbahagia, jika dilihat kehidupan sekarang tentu sudah berbeda dengan kehidupan terdahulu, terlebih lagi dengan masalah-masalahnya, permasalahan yang paling utama adalah berkaitan dengan lingkungan dan lahan pulau Bali yang habis dibangun dan dijadikan tempat obyek wisata, hal ini yang akan membuat pulau bali dari segi lahan dan lingkungannya akan semakin menyempit, jika semua lahan dan lingkungan yang ada di Bali dijadikan obyek wisata, dimana kita (manusia), hewan dan yang lainnya akan tinggal dan menjalankan kehidupan sehari-hari? Selanjutnya berbicara tentang lingkungan lahan yang di ubah menjadi tempat wisata pastinya banyak kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat menghasilkan sampah plastik, hal inilah yang akan menjadi permasalahan Bali selanjutnya. Keberadaan sampah di Bali sangat miris dan mendapat perhatian yang sangat sedikit, hal ini yang membuat bahaya besar, contohnya: banjir, sakit DBD dan yang lainnya. Terlebih lagi seperti yang baru-baru ini hangat terkait dengan tempat sampah atau tempat pembuangan akhir suwung ang ada di Bali sudah sangat penuh dan menyebabkan kebakaran sehingga menimbulkan asap polusi yang menyebabkan penyakit. Apakah kita semua rela hidup dan berkegiatan di tempat yang kotor? Sudah tentu banyak dari saudara sekalian yang enggan tinggal di tempat yang kotor. Hadirin yang berbahagia, jika saya simpulkan terkat dengan permasalahan yang ada di Bali, agar pemimpin Bali bisa memberikan solusi-solusi yang solutif terkait dengan permasalahan: pengalihan lahan atau lingkungan menjadi obyek wisata dan maraknya sampah yang belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Berdasarkan permasalahan tersebut jika tidak dari sekarang kita Bersama-sama menjadi garda terdepan, sudah tentu lambat laun pulau Bali akan runtuh. Pulau Bali yang mendapat julukan seribu pura akan kehilangan kesuciannya, berdasarkan permasalahan tersebut, harapan saya kepada pemimpin Bali 2024 yang terpilih agar bisa mencarikan jalan keluar yang solutif sehingga masyarakat Bali bisa menjalankan nilai luhur yang ada di Bali yakni TRI HITA KARANA, karena permasalahan tersebut berkaitan dengan nilai TRI HITA KARANA, sehingga Bali bisa kembali seperti sedia kala. Hadirin yang berbahagia demikianlah orasi yang dapat saya sampaikan, semoga saudara-saudara sekalian sadar akan kondisi Bali yang sekarang. “OM SANTHI, SANTHI, SANTHI OM”  
BALI KEMBALI Bali memiliki daya tarik tersendiri yang membuat orang-orang suka berkunjung ke Bali. Semenjak adanya pandemi covid-19 pariwisata Bali semakin terancam. Ini yang membuat pemerintah dan masyarakat Bali harus memiliki cara yang dapat digunakan untuk maningkatkan kembali Bali yang merupakan pulau wisata. Pada kemajuan jaman saat ini yang sudah menggunakan teknologi seperti Aplikasi Tiktok, kita bisa membuat konten-konten wisata kreatif, ini yang bisa dijadikan sebagai media untuk meningkatkan pariwisata Bali Membuat perlombaan konten kreatif pariwisata Bali ini juga merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk membuat pariwisata Bali dikenal kembali. Dan juga pada tempat wisata tersebut harus menjalankan 4M seperti peraturan yang sudah diterapkan.  +
Siapa yang tidak tahu tentang Pulau Bali? Pulau yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Pariwisata di Bali sebagai sumber perekonomian yang menghidupi sebagian besar masyarakat Bali. Namun seperti saat ini, pariwisata Bali meredup semenjak adanya virus Covid-19 yang mewabah di dunia. Sudah dua tahun lamanya virus Covid-19 menyerang bumi yang kita cintai ini. Beberapa kebijakan sudah dijalankan. Namun, pariwisata Bali belum bisa kembali seperti sedia kala. Kita sebagai warga khususnya sebagai pemuda Bali sudah seharusnya memberikan dan melaksanakan usaha-usaha kreatif yang bisa membangkitkan pariwisata di Bali. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, semua sudah serba digital dan canggih. Perkembangan teknologi yang sudah canggih ini bisa kita pergunakan sebagai alat agar bisa membangkitkan pariwisata di Bali. Salah satu usaha kreati yang bisa membangkitkan pariwisata di Bali seperti aplikasi yang bernama BALI MELALI. Aplikasi ini menggunakan teknologi berupa VR atau Virtual Reality. Pada aplikasi BALI MELALI ini menampilkan destinasi pariwisata yang ada di Bali. Jika menggunakan teknologi VR ini, para wisatawan atau siapa pun yang sudah mengunduh aplikasi BALI MELALI bisa melihat tempat-tempat pariwisata yang kita inginkan. Menggunakan VR ini destinasi pariwisata di Bali bisa dilihat secara nyata (real) sekali, ini bisa menumbuhkan rasa rindu ke Bali dan menyebabkan para wisatawan agar mau datang lagi ke Bali. Pada aplikasi BALI MELALI tidak hanya menampilkan desinasi pariwisata yang sudah terkenal saja, namun seharusnya juga menampilkan tempat-tempat yang belum banyak diketahui. Di Bali sebenarnya banyak sekali destinasi wisata yang belum terkenal. Jika hanya menampilkan tempat seperti Pantai Kuta, Pantai Pandawa saja, para wisatawan pasti sudah banyak yang tahu. Itula sebabnya pada alikasi ini sangat bagus jika menampillkan tempat yang belum diketahui oleh banyak orang. Tidak hanya itu, pada aplikasi BALI MELALI tidak hanya menampillkan virtual atau gambar saja, namun boleh diisi dengan suara-suara yang ada di tempat tersebut. Contohnya di Candikuning Waterfall, jika kita berwisata ke air terjun sudah pasti ada suara-suara seperti suara gemericikan air, suara pepohonan yang dihembuskan angin, suara burung-burung dan lain sebagainya. Adanya gambar dan suara pada aplikasi BALI MELALI ibi pasti bisa menimbulkan kerinduan dari para wisatawan dan berwisata ke Bali. Semoga usaha berupa aplikasi BALI MELALI bisa membantu pariwisata Bali agar kembali seperti sedia kala. Semoga pariwisata Bali segera bangkit.  
Sejak tahun 2020, pariwisata Bali mengalami penurunan bahkan hampir padam, karena adanya pandemi Covid-19. Hal ini menyebabkan perekonomian di Bali semakin menurun dan banyak warga yang kehilangan pekerjaan, bahkan hal ini juga yang menyebabkan terjadinya perubahan tata cara dalam tradisi Bali. Menjalani kehidupan new normal saat ini, tentu saja kita semua menginginkan pariwisata Bali kembali bersinar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kita dapat mewujudkannya dengan mengangkat tema “Pariwisata Bali Metangi”. Dengan tema tersebut langkah kreatif yang perlu dilakukan pemerintah adalah dengan melihat kepada tradisi dan melakukan modernisasi pada tempat wisata tanpa menghilangkan ciri khas Bali. Tentunya dalam pelaksanannya pemerintah harus menggerakan peran NUNI (Truna Ttruni) utamanya para influencer, sebagai generasi muda Bali yang cakap akan teknologi dan arti penting sebuah tradisi. Penggunaan teknologi ini tentunya mengacu pada modernisasi yang sangat diperlukan. Modernisasi tidak hanya melalui sikap, tetapi bagaimana cara pemerintah untuk membuat tatanan tempat wisata di Bali menjadi lebih nyaman dengan penyediaan protokol kesehatan dan melakukan penyegaran. Sehingga, suasana baru ini akan menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin berkunjung, tanpa rasa khawatir. Disini lah para Nuni harus bergerak untuk mempromosikan pariwisata Bali melalui media sosial dengan menunjukkan keindahan dan kenyamanan yang Bali berikan kepada semua orang, yang ditambah dengan pengenalan tradisi Bali yang kini mulai bangkit. Terutama peran Nuni sebagai influencer yang memiliki jangkauan lebih luas dalam menggalakkan aksi “Pariwisata Bali Metangi”. Melalui hal tersebut, pemerintah diharapkan dapat bekerja sama dengan influencer Bali yang kini menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan warga dunia. Itu saja yang dapat saya sampaikan mengenai ide kreatif yang sebaiknya dilaksanakan oleh pemerintah demi bangkitnya pariwisata Bali. Semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat dan dapat mewakili suara generasi muda untuk pariwisata Bali kedepannya menjadi lebih baik dan ekonomi Bali pulih kembali. Bersama generasi muda membangun Bali Bangkit, Bali Kembali, Bali Harmoni.  
Om Swastyastu. Terima kasih kepada yang terhormat, dewan juri dan seluruh pembaca atas kesempatannya. Dari tema orasi kali ini, topik mendesak yang kami angkat adalah mengenai langkah pemerintah Bali dalam mengatasi lonjakan sampah di Pulau Dewata ini, yang dapat menyebabkan berbagai permasalahan dalam kehidupan. Untuk itu, judul orasi yang kami angkat adalah "Bali Asri, Tanpa Tumpukan Gunung Sampah" atau “Bali Resik, Bali Tan Katiben Gunung Leluu”. Pulau Bali, dengan julukan surga pariwisata dunia. Namun dibalik kalimat itu, Pulau Bali tengah menghadapi krisis mendesak akibat tumpukan sampah. Hal tersebut kian merumit dan diperjelas setelah terjadinya kebakaran pada sejumlah titik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bali akhir-akhir ini. Bagaimana perasaan kita jika setiap hari kita harus hidup di tengah-tengah tumpukan sampah, diikuti dengan polusi pembakarannya seperti ini? Sebagai daerah pariwisata manca negara, urgensi masalah ini harus segera diatasi karena berpotensi menimbulkan permasalahan lain yang dapat merugikan masyarakat Bali. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah sebagai pionir yang memimpin masyarakat menjadi sangat vital dalam menanggapi urgensi ini. Calon pemimpin sudah sepatutnya memiliki tanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah penanggulangan kegawatan ini. Kita memerlukan investasi signifikan pada infrastruktur pengelolaan sampah dengan teknologi modern ramah lingkungan. Kita juga membutuhkan rancangan kebijakan yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam program pemilahan sampah maupun daur ulang. Selain itu, kami mendorong bapak/ibu calon pemimpin bali untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan organisasi lingkungan guna menciptakan solusi kolaboratif untuk permasalahan sampah ini. Jika mengintegrasikan ide dan sumber daya dari berbagai sektor, kita dapat mencapai progres yang lebih besar dalam menjaga keberlanjutan daerah Bali. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk beraksi bersama dan memastikan bahwa Bali tetap indah dan lestari bagi generasi mendatang. Terima kasih, bapak/ibu calon pemimpin bali pada PEMILU tahun 2024 atas perhatian dan komitmen dalam menghadapi tantangan mendesak ini. Mari bersama-sama kita wujudkan Bali yang bersih, hijau, dan berkelanjutan tanpa gunung sampah. Om Santih, Santih, Santih, Om.  
Seperti yang kita ketahui, saat ini pariwisata Bali sedang berada di titik terendah sejak adanya covid-19. Banyak hotel dan tempat wisata yang tutup karena adanya anjuran pemerintah untuk mencegah terjadinya penularan covid 19. Untuk membangkitkan pariwisata agar tetap berjalan seperti dahulu pemerintah harus mengeluarkan berbagai upaya. Menurut saya, langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk membangkitkan pariwisata bali saat ini dan nanti ialah: 1. Berani untuk membuka tempat wisata di Bali untuk masyarakat umum dengan syarat harus tetap mematuhi protokol kesehatan saat memasuki area wisata serta wajib menunjukkan bukti vaksin 2. Adanya subsidi test swab/rapid antigen gratis dari pemerintah untuk masyarakat yang ingin datang ke Bali 3. Berani memberikan harga promo kepada masyarakat yang ingin berkunjung ke tempat wisata guna memancing daya tarik wisatawan untuk berkunjung serta melancarkan pemasukan bagi tempat wisata tersebut.  +
Paragraf 1 Nama :Ida Bagus Putu Darma Sidi No :12 Kelas :TKR 1 Alamat Rumah : Br. Blungbang, Penarungan, mengwi, badung, bali Paragraf 2 Permasalahan Masalah yang terjadi di lingkungan saya adalah adanya bau tidak sedap di selokan/got dengan adanya pembuangan limbah rumah tangga ke selokan, masyarakat sekitar pun tidak ada peduli dengan kondisi selokan tersebut, cara mengatasinya memindahkan saluran pembuangan rumah tangga ke septik tank dan mengurangi penggunaan air yg berlebih agar septik tank tidak cepat penuh. Paragraf 3 Solusi Untuk pemerintah Solusinya adalah dengan cara Bergotong royong untuk membersihkan area selokan dan membuat peraturan agar masyarakat tidak lagi membuang limbah rumah tangga.  +